Setelah satu bulan aku tinggal sekamar bersama Ica, kompromi adalah kata baru yang kukenal dalam hidupku. Aku tak mengira bahwa hal yang sebenarnya cukup sepele bisa menjadi tantangan bagi kami. Misalnya seperti lampu, aku hanya bisa tidur jika lampu dimatikan sedangkan Ica harus menyalakan lampu. Lalu apa solusinya? Kami mematikan lampu utama dan membiarkan lampu kamar mandi menyala lalu membuka sedikit pintunya agar cahayanya bisa keluar. Aku menyukai makanan pedas sedangkan Ica yang memiliki lidah kucing tak sanggup mentoleransi rasa pedas. Lalu apa solusinya? Aku akan mencari menu yang bisa pisah sambal agar kami berdua bisa menikmati makanan dengan cara kami masing-masing.
Kami menyadari perbedaan satu sama lain, lantas tak memaksakan untuk menjadi sama tapi justru mencari opsi yang bisa saling diterima. Maka beruntunglah aku, mungkin ini semua memang berkat Ica. Bila kami berada dalam shift berbeda Ica akan dengan senang hati menungguku pulang sebelum makan malam. Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tak perlu menungguku pulang untuk makan bila kami berada dalam shift berbeda tapi ia bersikeras. Dan kau tahu apa alasannya ketika kutanya mengapa? Ia menjawab lebih enak kalau makan bersama. Sejurus kemudian kalimatnya mampu menyihirku. Kuakui rasanya menyenangkan semenjak ada seseorang yang menantiku pulang. Terlebih yang ia nantikan adalah kehadiranku. Ia tak meminta apapun, tidak pula menuntut ini itu, selama ada yang menemani semuanya terasa mudah. Itu membuat diriku merasa berarti.
Aku harap pertemananku dengan Ica bisa berubah menjadi persahabatan.
“Ayok Caaa, bangun,” kataku yang sudah mandi tapi masih mengantuk.
“Emangnya ini jam berapa?” Ica menggeliat di kasur sembari menguap. Saking lebarnya aku takut mulutnya kemasukan lalat.
“Jam 6.45.”
Mata Ica memicing, tangannya gesit meraih ponselnya.
“Alarmku kok ga bunyi?”
“Aku matiin soalnya kamu ga bangun, malah aku yang bangun.”
“Kok aku ga dibangunin?” Aku mulai gemas mendengar jawaban Ica.