Kabut hitam telah menelanku, ia mendekapku lekat. Semakin jauh, semakin dalam aku terjatuh pada semesta yang tak kukenal. Berputar tanpa arah dalam keputusaan. Jemariku mencoba meraba, minyibak kabut dingin yang membekukan hatiku. Hingga sinar itu datang. Indah laksana harapan tapi aku tahu dibaliknya tak kurang dan tak lebih dari penderitaan tiada akhir. Kenangan yang tak lekang oleh waktu. Kenangan yang mengerdilkan diriku.
Bel tanda pelajaran dimulai. Pak Raharja guru bahasa Indonesia sewaktu aku SMA memanggil kami satu persatu-satu. Kalian tahu apa yang lebih menyeramkan dibanding ulangan matematika? Kerja kelompok adalah bentuk penghinaan di depan forum. Tidak bagi semua murid. Ini masalah orang tertentu. Aku contohnya, termangu sendiri karena tidak ada seseorang yang bisa kupanggil teman untuk belajar kelompok. Ruang kelas lenggang tak bersisa. Satu-satunya yang menyelamatkanku dari kesulitan ini adalah rasa simpatik. Iya, rasa kasihan adalah penyelamatku.
Kami mulai kerja kelompok sampai seorang teman laki-laki yang ternyata memiliki selera musik yang bagus menjadi teman mengobrolku. Ia memutar playlist-nya dan mengizinkanku mendengarkan dari headset-nya. Tapi tak bertahan lama, karena aku tahu dia teman yang baik. Yang ia lakukan hanyalah karena dorongan rasa simpatik. Sedangkan aku adalah hidangan utama dari ejekan. Sorak-sorai itu membumbung menutupi setiap celah kelas.
“Bangsat, kamu suka Naya? Pake pinjemin headset segala jijik banget,” kata seorang anak lelaki yang duduk di atas meja.
“Mana ada yang kayak gitu,” sahut seorang teman yang kuanggap baik.
Yang bisa kulakukan ketika mendengar obrolan itu hanyalah menjauh. Dia teman yang baik dan itu sudah cukup. Selama sekolah aku tak pernah memiliki teman laki-laki. Karena aku tahu bahwa aku jelek dan aneh.
***