“Mba Nay piye Iki?” ucap Ica yang menyadarkanku dari lamunan.
“Emange kenapa?”
“Aku ga punya baju floral.”
“Yo wes to, emange kenapa,” Ica tak tahan melihat reaksi santaiku, ia melotot seakan ingin melumatku bulat-bulat padahal ini ekspresi hilang akal milikku.
“Piye to, kata Mba Sisil dress code kita pas di Jimbaran pake baju floral Mba, kemaren uda bayar 400rb sekarang harus cari baju juga,” oh Tuhan, aku tak bereaksi, tak bergerak juga tak bernafas dalam sekian detik. Sel-sel di otakku bekerja keras menelaah setiap kata yang diucapkan oleh Ica. Kesimpulannya adalah mati aku.
“Ca, aku ga punya duit buat beli baju baru? Piye Iki,” Ica menggeleng kami berdua memiliki kondisi ekonomi yang hampir sama. Sekarang terkapar di kamar tak ada yang mampu menjawab kesulitan yang kami hadapi.
“Eh, apa aku minta Mas Dika aja ya? Coba aku tanya,” disini aku merasa kalah. Setidaknya Ica masih memiliki orangtua atau pacar yang peduli padanya seperti Mas Dika. Aku tak bisa meminta uang pada mama, seingatku semenjak bekerja mama jadi bergantung semuanya padaku.
Ica sudah sibuk dengan ponselnya, aku menarik buku untuk mengecek catatan pengeluaranku tiap bulan. Ica yang melirik mendekat karena penasaran.
“Ini buku apa Mba?”
“Buku buat catet pengeluaranku tiap bulan, biar aku ga bingung buat bagi uang gajian,” ucapku sambil mematut-matut angka di buku.
“Itu uang apa?” Ica menunjuk deretan angka paling bawah.”
“Ini uang yang kupake makan sehari-hari.”
“Cukup?” dahi Ica mengernyit, matanya bergantian menatapku dan buku catatan.
“Harus cukup,” Ica memundurkan tubuhnya perlahan, menatapku lamat-lamat.
“Mungkin bisa minta bantu orangtuanya Mba,” aku hanya tersenyum menggeleng. Ica berhenti bicara ia terlihat tidak enak.
“Aku gapapa Ca, tinggal atur angka-angka ini lagi pasti semuanya aman,” dalihku, agar Ica lega. Ia menautkan jemarinya masih memandangiku. Aku memalingkan wajah sudah hafal dengan tatapan iba orang-orang sekitarku. Meski tanpa bantuan, atau bahkan sampai menangis semalaman aku pasti bisa menemukan jalan keluarnya sendiri.
“Boleh pinjem bukunya Mba?”
“Boleh tapi buat apa?” kini aku yang dibuat bingung dari pertanyaan yang meluncur dari mulut Ica. Ica langsung mengambil bukuku. Mengambil pulpen dan menorehkan angka-angka di lembar kosong.
“Aku pengen bisa atur keuanganku kayak Mba Ica,” aku terkesiap. Sepertinya aku telah membuat pilihan yang benar, karena kali ini aku memiliki teman yang bisa menghargaiku.
***
“APA!?” ekspresi Dinda ternyata lebih histeris dibanding diriku. Sekejap ia mencair seperti es krim. Tatapannya kosong, tenang dia bukan kesurupan ini hanyalah masalah finansial sektoral.