Sampai di kos aku membongkar barang yang kubeli. Aku merenungkan berapa rupiah yang kuhabiskan untuk barang yang belum tentu berguna. Entah, apa yang merasuki. Semir rambut warna hitam? Padahal rambutku memang warna hitam.
Ica paling senang melihatku menghabiskan uang meski hasil buruanku tidak penting, baginya selama itu barang yang kuinginkan dia tak banyak berkomentar. Tapi tak sesenang ketika facial wash yang sangat diinginkannya berada di kamar mandi. Ia langsung mencobanya.
“Mba Nay, gimana mukaku?” tanya Ica membuatku mengernyit.
“Mukamu basah?”
“Ya, bukanlah liat yang bener,” ia mendekat, mataku menyipit sampai bisa melihat pori-pori wajahnya.
“Liat yang bener?” Ica cemberut tak mendapat jawaban dariku.
“Berarti iklannya bohong ya, katanya ini bisa bikin wajah jadi lebih putih,” lanjut Ica dengan nada sedih. Aku memiringkan kepala tergelak tertawa mendengar jawaban polosnya.
“Hah, kau pikir bisa putih dari sabun muka hah? Mana ada apalagi dari sekali pake ya ga bisa langsung cerah butuh proseslah,” aku tertawa berguling di kasur, Ica ganas memukulku dengan bantal tanpa ampun saking malunya wajahnya sampai semerah buah delima. Tapi tak berlangsung lama karena kami harus mengemasi barang bawain kami besok.