“Hai, gadis-gadisku apakah Bali sepanas diriku?” sambut Dani, seraya menyender di tembok. Dinda mengacuhkannya. Aku hanya memberi gelengan lelah.
“Wuih, apakah Bali sepanas itu sampe kalian kelelahan?” Dani meringis.
“Kacau, semua bencana,” sahut Dinda mendengkus jengkel karena mood-nya hancur lebur. Kami baru tiba di Gresik pukul 10 pagi, sekarang harus masuk shift siang. Tanah Lot telah menjadi pengalaman buruk bagi Dinda. Ia sangat mendambakan sunset di sana tapi ia tak mendapat apapun. Ingat, Dinda adalah si gadis kucing, namun hari ini ia adalah siang betina yang kurang tidur dan lapar. Nasib kami di ujung tanduk sekali saja berbuat salah ia akan mengejar menghabisi kami.
Dani menelan ludah berbalik padaku, “Nay, hoki kali kau ya pulang-pulang bawa ponsel baru,” Dani mencoba mencari topik lain.
“Alhamdulillah rejeki anak sholeh.”
“Hei, seburuk apa kemaren?” bisik Dani memulai investigasi.
“Sama kayak kata Dinda, bencana. Pembagian kamar ruwet, di GWK cuma sebentar, Melasti cantik tapi ga ada apa-apanya terakhir Tanah Lot, ga dapet sunset, hikmah juga ga. Kita cuma makan mie cup di sana,” Dani tertawa memegangi perut, tanpa ia tahu singa betina di belakangnya siap menghajarnya dengan kardus.