“Mba Nay, gimana waktu pulang kemaren?” tanya Ica. Saking senangnya aku sampai tersedak nasi goreng dimulutku mendengar pertanyaannya. Aku segera menegak es teh yang kupesan.
“Nara seneng banget waktu tahu hadiahnya. Ponselnya aku taruh di dalem kresek jadi dia pikir ya cuma oleh-oleh biasa. By the way, ternyata bocah bongsor itu bisa nangis,” celotehku dengan semangat.
“Lagian uda lama aku pengen beliin dia ponsel baru, aku pernah liat dia pas lagi kumpul sama temen-temennya yang lagi main game. Dia cuma ngeliatin doang. Eh, untungnya aku malah ketiban rejeki. Padahal awalnya aku sempet ga mau berangkat,” lanjutku seraya tertawa.
Ica tersenyum karena ia jarang melihatku bersemangat, “Terus tehnya gimana? Enak?”
“Anjir kata mama rasanya sama aja sama yang biasa mama beli harga 10 ribuan. Hadeh…, mana aku beli 80 ribu Ca. Bisa buat minum teh sampe tahun depan tuh. Apes tenan diri ini. Untung aku juga beli pie susu, mereka suka banget,” Kami berdua tertawa.
“Kalo orangtuamu gimana Ca?”
“Ibu sama ayah seneng pie susunya Mba. Aku sempet diomelin ibu takutnya aku kehabisan duit,” aku mengangguk, melanjutkan makan nasi gorengku.
“Terus yang kamu kasih ke Dika gimana?” cetusku, Ica terlihat menyendok nasi gorengnya dengan suapan sebelum lanjut bicara. Tanpa aku sangka aku justru menyulut api.
“Masa Mba, Mas Dika kan tak bilangin kalo pie susunya buat orangtuanya. Lah pie itu malah di taruh ruang tamu terus temen-temennya dateng kan. Malah dihabisin bukannya di kasih ke orangtuanya, ya muntablah aku. Di pikir tuh pie susu beli di toko sebelah hah? Beli di Bali itu, aku nyisihin uang khusus buat belinya malah dia kasih ke temen-temennya, emang goblok tuh orang,” mendengar Ica yang sedang menumpahkan kemarahannya membuat beberapa pembeli menoleh takut. Tak sepertiku yang tertawa terpingkal mendengar cerita Ica. Tetapi karma lantas menjemputku, tadi tersedak nasi sekarang aku tersedang cabai hijaunya. Tak henti terbatuk-batuk. Ica di sebelahku mendekat menunjukkan ke keprihatinannya padaku ia berkata, “Kapok.”
Di perjalanan pulang aku sudah tak berani mengusik Ica. Aku hanya diam diboncengnya seperti bocah yang baru di damprat ibunya.
Soal menerawang mood aku sudah ahli karena Dinda. Seketika melihat Ica yang sudah mulai membaik aku justru menyulut api.
“Eh, Ca aku kepikiran buat beli gitar,” ungkapku tak ada angin tak ada hujan. Ica yang sebelumnya sedang sibuk dengan ponselnya mendadak berhenti, kepalanya menoleh perlahan padaku.
“Mba, bilang apa?”
“Aku bilang pengen beli gitar.”
“Katamu pengeluaranmu masih banyak, cicilan motor sama ponsel belum selese, sekarang beli gitar hah? Mba nyanyi aja fals bikin sakit telinga.” Aku berdecak.