Sampai pada akhir bulan Juni, kematian melonjak drastis di bawah bayangan Covid varian Delta. Varian baru dengan versi lebih kuat. Ia seperti kartu AS yang dimainkan pada di putaran terakhir sebagai penutupan. Sebelumnya aku dirundung oleh berita PHK sekarang aku harus menerima berita kematian tiada akhir. Ambulan menjerit-jerit di jalanan tanpa henti. Kematian menjadi pemandangan yang lumrah, kuburan menjadi tempat paling ramai. Kesedihan dan duka mewarnai dunia. Kematian bukan hal yang bisa kau tawar.
Aku yang sudah disuntik vaksin masih merasa was-was. Tubuhku ternyata lebih kuat dari dugaanku, tidak dengan keluargaku. Bude jatuh sakit, ia tak mau makan, meracau dan tak bisa berdiri. Selanjutnya keadaan diperburuk dengan Mama dan Papa yang akhirnya terpapar. Nara, adikku terpaksa merawat tiga orang dewasa sendiri. Tidak hanya itu, kondisi bude yang memburuk membuatnya harus dirujuk ke rumah sakit.
Karena chaos-nya situasi saat ini tokoku terpaksa ditutup. Aku dan Ica nekat pulang. Ia mengantarku ke terminal. Kami saling berpelukan erat, menguatkan satu sama lain. Kepulangan kali ini menjadi cobaan besar kami. Ica sempat bercerita ibunya juga positif Covid. Ia menatapku lekat.
“Ica, semua pasti pulih. Nanti kita sama-sama bawa kabar baik ya pas pulang,” ucapku gemetar.
“Hati-hati dijalan, sampaikan salamku untuk keluargamu. Semoga sehat selalu.” Ica mengangguk, mengusap air matanya yang meleleh lalu pergi.
***
Suara Nara terkejut di seberang sana. Ia senang tak kepalang mendegarku sedang dalam perjalanan menuju Pasuruan.
“Kamu kok bisa pulang Mba?”
“Tokoku harus tutup sementara. Aku sendiri sempet ragu bisa pulang apa ga. Ternyata di terminal semuanya lancar, untungnya aku juga habis vaksin, Bude gimana?”
“Bude, masih di ICU. Disini ga cuma bude ada banyak banget pasiennya setiap hari ada aja yang ga tertolong. Bude juga masih belum bisa diajak komunikasi kadang ngelantur ato cuma bengong,” jemariku meremas ujung baju.
“Bude pasti sembuh, Papa Mama juga.”
“Iya, Mba dah sampe mana?”
“Bentar lagi sampe di Gempol.”
“Yaudah, aku siap-siap berangkat kalo gitu.”
Film mungkin saja mengambil alih, skenario jahatnya memutar film dimana orang-orang yang kusayangi tak mampu bertahan. Gambarannya seperti Pak Arif saat ia kehilangan ibunya. Setelah lima hari dirawat, tubuhnya menyerah. Pak Arif menerima kabar buruk itu tak lama saat sampai di toko ketika satu shift bersamaku. Tubuhnya bergetar menangis sesegukan. Setangguh apapun Pak Arif, pada akhirnya ia hanyalah seorang anak yang meraung-raung kehilangan ibunya. Aku sendiri mematung disana teringat keluargaku. Apa sanggup aku menerima berita duka?
Nara menjemputku, Nara yang belum mendapatkan vaksin sempat terpapar Covid. Syukurlah daya tahan tubuhnya baik, ia bisa pulih.
“Cari makan dulu buat Papa Mama ya Mba,” aku mengangguk.
Setiap kali aku pulang selalu ada Mama dan Bude yang menyambut. Sekarang hanya ada Oci yang muncul dari dapur, mengeong. Aku ke kamar mama melihatku, ia menangis ingin memelukku tapi takut aku tertular. Ia hanya berbaring lemas disana, Papa yang ada di kamar satunya mendengar suaraku perlahan membuka pintu dari kasur terkejut aku berhasil pulang ke rumah.
“Nay, kamu bener gapapa kesini?” ujar Mama cemas.