PPKM masih diperpanjang selama seminggu. Aku mengajak semuanya untuk berziarah ke makam Bude. Mama di kamar melamun, ia yang tak hadir kala Bude dikebumikan, sedang campur aduk perasaannya.
“Mama belum keluar Mba?” tanya Nara, aku menggeleng duduk di sebelah Nara.
“Gapapa tunggu aja, Mama uda ga punya orangtua juga satu-satunya saudaranya uda ga ada. Papa masih mending walaupun orangtuanya Papa Uda ga ada tapi saudaranya Papa masih lengkap,” Papa angkat bicara.
Mama keluar dari kamar, kaki berangkat melayat. Tanah di pusara Bude masih basah, tinta di nisannya masih sangat jelas. Mama duduk di dekat nisan Bude. Mengusap-usap nisan dengan nama Bude. Air mata membasahi pipinya juga tanah pusara Bude. Papa memegang tangan Mama, mengajaknya untuk berdoa. Selesainya, Mama menabur bunga sembari seperti mengajak Bude bicara. Tangisnya berbeda dari sebelumnya, air mata kali ini adalah tanda kelapangan hatinya.
***
Tokoku akan buka kembali, tapi kami masih melayani full online. Waktuku di rumah dinilai sangat cepat oleh Mama. Sudah lama baginya tak melihatku di rumah selama berhari-hari semenjak aku bekerja. Selama ini aku belum pernah mendapatkan pekerjaan yang dekat dengan rumah. Nara juga sedih dengan keberangkatanku karena dengan begitu sistem jatah lauk kembali diterapkan.
Papa yang sudah pulih total nekat mengantarku ke Gresik. Sesudah kuberi uang bensin pria paruh baya itu pergi hingga bayangnya menghilang di ujung jalan. Aku dengan enggan berjalan menuju kamar kos, sudah di depan pintu aku mendengar pintu utama di buka. Suara motor yang kukenal, aku berpaling, motor itu dengan cepat masuk. Pengendaranya tersenyum lebar lantas berteriak, “Mba Naya.”
“Ica!” seruku senang tak kepalang. Kami berpelukan seperti Teletubbies, reuni kami setelah tiga Minggu terpisah. Kamar yang kutinggal dengan Ica tak berubah. Nyaman tapi panas. Mau tak mau aku harus berkawan lagi dengan kipas angin. Ica tidak terlihat keberatan dengan hawa panas Gresik karena di rumahnya sama saja.
“Mba Nay aku turut berduka cita soal kematian Budenya Mba,” sahut Ica prihatin.
“Iya makasih Ca, ibu kamu sekarang gimana kondisinya? Gapapa kamu tinggal kerja gini?”
“Alhamdulillah uda mendingan banget. Untung ibu kuat, sekarang ayah yang jaga ibu jadi aku bisa kerja. Mana cicilan motorku masih panjang, kalo Mba gimana?” Ica menghela napas memejam mata membayangkan butuh berapa bulan lagi agar cicilannya lunas.
“Mama Papa uda sehat. Tapi mama masih ada sesaknya sedikit, ini lagi cari-cari info obat. Papa malah uda fresh sampe bisa nganterin aku kesini. Coba kalo cicilan kita lunas padahal uda happy orangtua sembuh, eh sekarang malah kepikiran cicilan jadi pusing lagi,” aku ikut berbaring di samping Ica.
“Untung kita bisa sama-sama balik kesini bawa kabar baik ya Mba. Tapi capek juga ya, sekarang aku ngantuk.” Ica menguap.
“Iya Ca, syukur.” tak lama kami terlelap lagi di kamar yang menjadi tempat kami berbagi kisah.
Besoknya, aku masuk shift siang bersama Pak Arif. Pak Dana dan Angga menyambut kedatanganku.
“Nduk, apa kabar? Gimana kondisi orantuamu uda baikan semua?” tanya Pak Dana.
“Alhamdulillah sehat, Papa Mama juga cepet pulihnya.” Pak Dana tersenyum lega, ia dan Pak Arif yang pertama tahu kondisi orangtuaku sewaktu tak sengaja mendengar percakapanku dengan Mama melalui telepon. Mereka khawatir melihat kondisiku yang linglung dan gelisah namun tak bisa berbuat banyak.
Pak Arif datang, ia menepuk pundakku. Kami berdua kehilangan keluarga karena Covid, hanya mampu belajar untuk berlapang dada. Terkadang aku masih sulit percaya dengan situasi yang sudah kulalui. Begitu banyak hal yang terjadi secara tiba-tiba bak hujan di musim kemarau. Aku tertatih-tatih menerima kenyataan pahit yang harus kuterima. Aku bersyukur dengan langkah yang sudah kuambil dan aku cukup beruntung karena masih sanggup berdiri dengan mengangkat kepalaku.
***
Hari gajian menjadi momen mendebarkan. Toko sudah tutup dalam waktu lama, ada kemungkinan gaji kami di potong. Pagi-pagi entah berapa kali aku harus berurusan dengan sakit perut lantara gugup melihat saldo m-banking. Ica tak tahan melihatku, ia membuka info saldo seraya memejamkan mata. Aku yang selesai dari kamar mandi melirik ponselnya. Keajaiban terjadi, gaji kami tak di potong. Kami berdua bersorak-sorak di atas kasur.
Gaji kami sudah normal sejak beberapa bulan lalu. Masa gajian dipotong merupakan titik terendah anak kos. Kau mau tau rasa semua mie yang ada di dunia ini? Jangan khawatir, aku sudah memiliki knowledge tentang mie secara profesional.