“Ca, gimana kalo ga usah berangkat,” ucapku ragu, Ica menjadi geram.
“Uda ayo, lagian uda dandan segala macem masa ga jadi? Kesana juga aku yang nyetir. Ratih juga uda nungguin kita!” Ica mencoba menyeretku.
“Tapi Ca, The Plaza Mall tuh di Surabaya. Jauh lagian kita sebenernya ga tau mau beli apa. Gimana kalo kita cuma beli barang aneh-aneh,” kilahku, bertahan.
“Mau beli, mau ga pokoknya kita tetep berangkat titik,” tubuhku terseret Ica yang sedang marah berubah menjadi Hulk.
Butuh satu jam untuk mencapai The Plaza Mall. Aku dan Ica yang cantik jelita nampak kusut seperti orang habis kerja rodi.
“Kenapa sih Surabaya harus sepanas ini?” keluh Ica.
“Padahal dulu aku kerja di sini tapi ga pernah terbiasa sama panasnya,” aku dan Ica sibuk membenahi riasan yang kami sebut clean face looks yang kalau dilihat ibu kami mereka pasti bilang ‘kok ga pake make up?
Ponsel Ica berdering, pasti itu Ratih. Setelah lama tak bertemu Ratih kami bertiga saling berpelukan setelah sekian lama. Rasanya sedih, dulu teman satu toko di Gresik, di mutasi satu-persatu, sampai lockdown Covid.
Pemberhentian pertama adalah toko baju thrifting. Ini kali pertama Ica dan Ratih pergi ke toko baju thrifting. Awalnya mereka menganggap baju bekas jorok dan tak layak. Sampai aku ceritakan saudaraku ada yang menjual baju thrifting. Beruntung ia dengan baik hati memberi beberapa potong baju padaku yang masih awet hingga hari ini. Sampai di toko yang kumaksud, di sinilah Ica dan Ratih mulai liar menyusuri rak demi rak melihat baju yang mereka anggap cocok.
“Mba Nay, ini serius harganya segini?” tanya Ica percaya.
“Iya, itu emang harganya. Bagus tuh bahannya kamu coba dulu di fitting room.”
Aku juga ikut menjelajahi berbagai macam outer dan dress. Ica yang terbuai oleh harga murah tangannya tangkas mengambil beberapa potong baju. Ratih tak mau kalah, ia selalu mengatakan sudah tak memiliki stok baju siap menumpahkan seluruh isi dompetnya. Mencari baju adalah tugas berat bagi wanita, karena otaknya mendadak menjadi imajinatif. Ketika membeli baju mereka akan membuat skema liburan, harmonisasi warna, seperti apa ketika di abadikan dalam foto, apakah baju di rumahnya bisa di pakai dengan baju barunya begitu. Penilaian macam itulah yang menjadi tolak ukur ketika membeli baju. Ia harus memastikan setiap rupiah yang ia keluarkan tak sia-sia. Itu sebabnya bila seorang wanita berbelanja beri dia waktu lebih, kalau lama jangan pula mengeluh.
Ica sudah mencoba-coba baju terlebih dahulu. Sedang Ratih masih bingung memilih celana. Sebuah dress hitam selutut telah mencuri perhatianku. Perlahan kusentuh kainnya, membayangkan bagaimana ia terlihat di tubuhku. Ukurannya juga pas dengan tubuhku yang kurus.
“Yah, Mba Nay curang,” pekik Ratih.
“Aku tadi juga lihat itu tapi ga cukup. Coba kalo badanku kayak Mba Nay.” Aku tertawa tak mengerti memangnya apa yang bagus dari bentuk tubuhku.
“Aku kalo bisa pengen kayak kamu Ra, aku ini kekurusan. Kebetulan aja, nih baju size-nya kecil.”
“Ih, Mba bagus tau coba deh di fitting room,” tambahnya, ada satu fitting room yang kosong. Aku ragu masuk, kulirik lagi dress ditanganku bisa jadi lain kali aku tak akan menemukan dress yang sama. Aku mulai masuk ke fitting room mulai mencobanya. Sesuai dugaanku bajunya pas, aku berputar-putar melihat diriku yang baru. Harganya terbilang sangat murah untuk jenis kainnya. Apa tak apa aku membelinya?
“Mba Nay, kata Ratih lagi coba baju ya, liat dong,” Panggil Ica. Aku menelan ludah keluar dari fitting room.
“Nah ya gitu, katanya ga bakal ada yang cocok tuh buktinya,” Ica menyilangkan tangan di dada, sembari menyengir. Ia merasa bak dewan juri dengan baju kuning bergambar Mickey Mouse yang ia pilih.
“Pokoknya kita semua harus punya baju yang di beli iya kan Ca.” Imbuh Ratih, rasanya cepat sekali mereka berdua menjadi komplotan tengik.