Tas yang dibawa Ica dan Ratih makin gemuk berbeda dengan dompetnya yang makin kurus. Aku tak ikut berbelanja kosmetik seperti mereka karena stok di kos masih bisa bertahan sampai bulan depan. Sayang apabila tak terpakai, terlebih hasilnya bagus di kulitku.
Toko buku menjadi penutup penjelajahan kami di The Big Plaza. Harum buku menyambut kehadiranku, banyak judul dan nama penulis baru yang kukenal. Banyak sinopsis buku membisikan sedikit kisah dari si tokoh utama. Di setiap rak akan selalu ada mereka yang hanyut dalam buaian kata, begitu hening dan tenang. Yang tentunya kebahagiaan itu tak bisa dirasakan oleh Ratih dan Ica. Baginya buku adalah kisah tanpa akhir. Melihat kata yang ribuan jumlahnya selalu berhasil memberi efek kantuk atau pusing. Membaca adalah kegiatan berat di negeri rendah literasi.
Justru ini menjadi tantangan besar untukku. Aku memang suka membaca buku tetapi membeli buku adalah perkara yang berbeda. Bagiku yang berurusan dengan rupiah adalah perkara pelik. Sama seperti alat menggambar, tak ada yang murah. Hanya ada dua jenis buku yang duduk manis di rak bukuku yaitu buku bekas dan buku pemberian. Aku belum pernah membeli buku.
Perlengkapan menggambar juga seringkali memiliki harga yang menurutku fantastis. Semua alat yang kumiliki dulu juga seadanya. Hanya buku gambar dan pensil warna anak sekolah telah menjadi saksi bagaimana aku begitu mencintai menggambar. Ketika aku beranjak dewasa, aku mengerti menggambar hanyalah penghibur, bukan sesuatu yang bisa kukejar sebagai karir. Prospeknya kecil dan tidak menjanjikan. Pada akhirnya gambar-gambar itu tertimbun rapi di dalam lemari.
Ica mendengus, ia kesal lantaran satu jam menantiku berkeliling di toko buku nyatanya pulang dengan tangan kosong. Aku sendiri terkejut melihat harga buku sekarang, seharusnya aku minta di antar ke toko buku bekas. Waktunya pulang, tapi Ratih memiliki rencana lain, “Gimana kalo kita pergi karaoke?”
“Karaoke? Lagian aku ga bisa nyanyi,” keluh Ica.
“Ga perlu bisa nyanyi, toh ga ada jurinya penting nyanyi aja. Kayaknya ga deh Ra, karaoke tuh mahal,” ganti aku yang mengeluh.
Ratih tersenyum licik ia mengeluarkan ponselnya, beberapa kali mengetuk layar lantas membuatku dan Ica terbelalak, “Ayo berangkat!” ucap Ica dan karena kalah suara, aku terpaksa mengikuti alur.
Karena Covid tempat hiburan seringkali memberikan promo gila demi bertahan. Promo yang sering terdengar tidak masuk akal, karena belum pernah ada sebelumnya. Salah satu manusia yang tergoda dengan promonya adalah Ica dan Ratih, kuakui membayar 100 ribu rupiah untuk karaoke 3 jam di salah satu tempat karaoke terkenal sangat menggiurkan. Sudah lama aku tak pergi untuk karaoke. Saat itu aku baru menyadarinya lantas mengerti mengapa bisnis ini masih saja tumbuh subur. Nyatanya, tempat karaoke tidak hanya untuk bernyanyi melainkan berperan sebagai wadah berekspresi. Mereka yang suka bernyanyi tetapi tahu suaranya tak lebih merdu dari tokek, bisa bernyanyi dengan leluasa tanpa peduli telinga temannya yang bisa pekak. Orang-orang itu justru paling bersemangat bernyanyi dibanding mereka yang dianugerahi suara merdu. Mereka merasa bebas, gerik dan bicaranya tak dibatasi aturan dengan begitu mereka bisa melepas stres dan penat setelah menjadi warga Indonesia yang beradab.
Ica yang kali pertama datang ke karaoke, dalam sekejap merasa sombong karena merasa telah mencicipi hiburan orang kaya. Memang, tempat karaoke keluarga yang kami kunjungi jauh lebih baik daripada yang pernah kusambangi dulu. Ica mencoba terlihat cool duduk di sofa. Ruang karaoke menjadi panggung pentas seni khayalanku.
“Permisi, Miss Ica seperti biasa para penonton tidak sabar menantikan penampilan anda,” ucapku yang berperan sebagai asisten, Ica menangkap maksudku.
“Mau bagaimana lagi, mereka tak akan pernah menemukan seorang Diva layaknya diriku di negeri ini,” seru Ica dengan wajar meremehkan. Ia telah terbawa suasana.
“Lalu siapakah gadis ini? Aku belum pernah melihatnya, apakah kau seorang penyanyi? Yah, walaupun aku ragu suaranya jauh lebih baik dariku,” lanjut Ica menunjuk Ratih.
“Kalau begitu bagaimana bila kita beradu siapa yang akan menyandang gelar sebagai Diva di negeri ini,” Ratih menantang tak mau kalah.
“Baik, siapa takut. Tapi sebagai pemanasan biar asistenku yang mulai bernyanyi terlebih dahulu,” Ica menunjuk ke arahku. Aku yang memulai tapi justru aku termakan dalam permainanku, ya sudah toh tak ada salahnya lagipula aku juga ikut membayar karaoke hari ini.
Aku meraih mic, mengetuk layar beberapa kali, memilih What Makes You Beautiful - One Direction. Aku pun mulai bernyanyi, dua penontonku sabar mendengarku bernyanyi yang nadanya berlarian kesana kemari.
“Ratih, ini lagu apa?” tanya Ica.
“Ini lagunya One Direction - What Makes You Beautiful.”
“Oh, lagu lama ya? Pantes aku ga tau. Ternyata Mba Nay uda setua itu.” Jawab Ica polos, Ratih sekuat tenaga menahan tawa.