Dari Naya Untuk Naya

Zsa Zsa Eki Liztyasari
Chapter #18

BAB 18 SALING MENGERTI


Aku dan Ica kembali ke Gresik pukul 8. Terlihat Ratih seperti seorang ibu yang sedang melepas anaknya merantau. Kudengar ia tak terlalu akrab dengan teman di tokonya, beruntung ada Harsa pacarnya yang senantiasa ada untuknya.


Di perjalanan Ica tak banyak bicara seperti biasanya. Sesampainya di kos ia hanya tidur sampai jam berangkat. Ia sudah menjadi pendiam sejak kejadian semalam.


“Ca, nanti malem makan penyetan yuk” ajakku.


“Aku ada meeting,” Ica, berangkat meninggalkanku.


Esoknya juga begitu Ica terus menghindariku. Aku tak punya waktu untuk bicara dengannya. Kamar kos terasa sepi. Teringat pada kata-kata Ratih aku menjadi terdorong untuk lebih menyelami hobiku. Jangan pernah mendahului nasib, begitu kata Arai dalam buku Sang Pemimpi oleh Andrea Hirata. Aku sudah terlalu dangkal, mengubur potensiku yang masih bisa bertumbuh. Bisa jadi suatu saat yang kusebut hobi bisa menjadi mata pencaharianku. Mungkin inilah arti mimpi bagiku, cita-cita yang kulantunkan dalam doaku semasa kecil. Aku ingin menjadi seorang ilustrator. Aku belum memiliki perlengkapan yang mendukung untuk menjadi pekerja digital. Semuanya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Aku ingin memulainya dari skill menggambarku terlebih dahulu sembari mengumpulkan uang untuk membeli perlengkapan yang lebih canggih.


Karena sudah mencatat barang-barang yang kubutuhkan, aku tak memerlukan waktu lama untuk membeli. Harga di sini sangat berbanding jauh dengan toko buku di The Big Plaza. Syukurlah aku menahan diri untuk tak berbelanja di sana.


Di perjalanan pulang ke kos, aku melihat banner minimarket. Ada promo es krim favorit Ica. Tanpa pikir panjang es krimnya sudah berada di kantong belanjaan ku, aku yakin Ica pasti senang.


Masih lama sampai jam pulang Ica karena ia masuk shift siang. Aku sudah sibuk menggambar, sudah kuduga setelah sekian lama tangaku menjadi kaku. Guratan pensilku juga terlalu dalam sehingga terlihat jelek. Sampai akhirnya tanpa terasa Ica sampai di kos.


“Eh, Ca. Maap ya agak berantakan, aku beresin dulu. Oh, tadi aku beliin es krim kesukaan kamu lumayan lagi promo,” cetusku, Ica membeku di setelah membuka pintu.


“Bentar biar aku ambil dulu,” lanjutku seraya berdiri karena tak ada jawaban dari Ica.


“Mba ga percaya sama aku?” kata Ica dengan nada yang sangat pelan.


“Apa Ca?”


“Kenapa Mba ga bilang aku kalo mau beli perlengkapan alat gambar?”


“Awalnya aku mau ajak kamu, tapi kamu kayak buru-buru jadi aku beli sendiri.”


“Seharusnya Mba bilang aku, apa Mba Nay ga nyaman sama aku?” pipi Ica telah basah oleh air matanya. Ia berkilah.

Lihat selengkapnya