Papa sudah menunggu di tempat biasanya. Untuk kesekian kalinya aku tak diperbolehkan naik bis. Alasannya selalu sama Papa bilang banyak orang jahat di bis. Sepertinya aku yang sudah berumur 23 tahun, masih seperti anak kecil yang tak tahu dunia di matanya.
Motor yang cicilannya selesai bulan depan melaju melintasi kota. Jalanan padat dipenuhi karyawan yang baru pulang kerja. Asap sepeda motor dan mobil mengepul di udara. Bumi memang sedang berduka selama Covid berbeda dengan langit yang bersuka cita. Berkurangnya aktivitas masyarakat membuat udara bersih. Langit biru bukan lagi pemandangan yang dirindukan. Ia hadir tatkala kita membuka jendela di pagi hari.
Sinar paginya tak lagi sia-sia lantaran orang-orang menikmatinya dengan segelas teh di teras rumah. Langit ikut merawat bumi, dan sekarang birunya tak lagi kelihatan. Polusi kembali melukis kelabu di langit perkotaan.
Tidak seperti di Pasuruan, terlebih rumahku yang berada di pedesaan. Udara bersih nan langit yang jernih adalah hal yang biasa disajikan alam pada kami. Itu sebabnya tak ada perubahan signifikan selama terjadi Covid di sini. Angin malam mencium kulitku ketika baru tiba di Pasuruan. Hawa dingin menyeruak ketika kami semakin naik ke gunung. Tiba di rumah aku kedinginan, tubuhku butuh beradaptasi.
Hanya ada Mama, Nara dan Oci yang menyambut kedatanganku. Kalau dipikir sudah lama sekali aku tak pulang. Terakhir pulang karena toko terpaksa tutup sementara dan kebetulan Papa Mama sedang sakit. Meski saat itu aku berada di rumah selama dua minggu, obrolan kami hanya seputar obat dan vitamin. Papa Mama harus menjaga jarak, takut aku ikut terinfeksi.
Karena sekarang semua sudah dalam kondisi sehat, meja makan menjadi tempat melepas rindu. Banyak yang terjadi, cerita-cerita bergulir seperti bola salju di lereng gunung. Jam demi jam berlalu, aku mulai mengantuk.
“Besok gimana kalo kita pergi ke Pasar Malem? Aku kan uda janji bakal ajak jalan-jalan kalo Papa Mama uda sembuh.”
“Beneran Nay?” Mama menoleh padaku.
“Iya, tapi ya uangku terbatas jadi kita makannya tetep di rumah ya.”
“Iya… Nay besok malem ya! Pa, besok kita jalan-jalan. Wes ayo tidur dah jam 2 loh ini.” Papa Mama terlihat senang sekali, ini adalah jalan-jalan keluarga pertama sejak 6 tahun lalu. Dulu sewaktu usaha ternak Papa masih ada, aku sama seperti anak pada umumnya yang tak sabar menghitung tanggal di kalender. Tanggal merah merupakan hari favoritku. Tanggal merah berarti libur sekolah dan jalan-jalan. Kadang ke tempat wisata atau pulang ke rumah Eyang. Sekarang semuanya hanya memori yang terkubur dalam-dalam. Nara yang sudah berada di kamar masih belum tidur.
“Gimana rasanya sekolah lagi?”