Papa menunggu di tempat biasa, aku baru saja gajian seketika merasa tanggal gajian berikutnya lama sekali. Sepanjang perjalanan aku hanya melamun sampai tiba-tiba saja ctash! Ban meletus! Motor oleng, Papa berhasil mengendalikannya. Kami berhenti di pinggir jalan, beberapa bapak-bapak yang berkumpul di warkop ikut mendekat. Semua ribut menanyakan kondisi kami. Aku melihat ban belakang yang sudah aus dengan robekan menganga.
Malam itu aku terpaksa membelikan ban motor baru. Pengeluaran yang sudah kuhitung sedemikian rupa agar aku bisa bertahan sampai bulan depan berantakan. Aku lemas melihat harga ban.
“Pa, sebelum aku pulang ke Gresik, aku uda titipin uang buat beli ban ke Nara. Kenapa ga dibeliin?” tanyaku.
“Loh Papa ga tahu Nay.”
“Terus ke-,” belum selesai aku bicara, tukang ban mengatakan kalau bannya sudah diganti. Aku menelan ludah mengeluarkan uang.
Di rumah Mama menyambutku tak kuhiraukan. Kepalaku sudah sangat pening. Aku terus saja masuk ke kamar, melihat tingkahku Mama mengikutiku.
“Kamu kenapa Nay? Ada apa?”
“Tadi bannya meletus di jalan.”
“Terus gimana?”
“Kok gimana? Mau ga mau aku harus beliin, padahal aku udah titipin uang ban ke Nara. Kemana dia sekarang?”
“Nara nginep di rumah temennya. Nay, maaf kemaren uangnya kepake buat kebutuhan rumah.”
“Kenapa selalu kayak gitu? Kenapa ga tanya aku dulu, Mama kira aku ini punya uang berlebih? Mama kira aku hidup enak di Gresik? Mama bebani aku segala macem gimana aku bisa hidup tenang disana?”
“Ya terus solusinya gimana Nay, Mama juga bingung. Mama cuma punya kamu.”
“TERUS AKU MINTA TOLONG SIAPA MA? Aku sendirian di sana, kalo masalah uang Mama selalu minta ke aku. Terus gimana Papa yang ga kerja bertahun-tahun? Ga Mama mintain? Aku ga bisa ngapa-ngapain Ma. Kemarin covid aku juga uda habis banyak, ga cuma uangku tapi juga uang sumbangan dari saudara. Barangku banyak yang kemalingan di toko dan harus ganti rugi bulan depan, apa aku minta tolong Papa Mama? Ga, semua aku tanggung sendiri. Dulu waktu aku masih SD tiap kali ada yang nagih hutang, Papa Mama selalu suruh aku buat bilang ga ada orang di rumah, aku udah bilang takut tapi kalian ga peduli. Kalian terlalu egois, harga dirinya terlalu tinggi. Sekali aja, sekali jangan lihat aku sebagai kantong uang tapi lihat aku sebagai anak.” Kataku, dengan tangis sesegukan. Aku marah, aku sedih, aku ingin dipeluk, aku ingin dipahami.