Di sudut kamar yang temaram ada seorang gadis sedang memeluk lututnya. Tatapan matanya kosong, lalu hitam disisi lain gadis yang sama sedang tersedu sedan di toilet sekolah, ada juga ketika ia sedang memeluk sapu. Sampailah kepada dimana ia menjulurkan tangan. Ada beberapa rupiah di tangan, namun senyumnya getir.
Oh, aku kenal siapa gadis itu. Ia selalu di kasihani sepanjang hidupnya. Lantas hiduplah ia dengan membalas budi. Ia harus bekerja lebih keras dari siapapun agar mereka yang mengasihani tak merasa percuma memberi pertolongan. Ia miskin, sangat miskin sampai habis tubuhnya, sampai hilang dirinya.
Dia adalah aku. Aku yang selalu di pecut ekspektasi. Karan di tolong berarti aku bisa disuruh, karena ditolong aku bisa menjadi contoh perbandingan hidup, karena aku ditolong aku tak boleh mengeluh.
Semenjak aku bekerja, aku berusaha keras untuk mandiri. Semua aku usahakan sendiri, kebaikan bukanlah hal yang di dapat dengan percuma. Harus ada imbal balik. Aku muak dengan kepalsuan di balik topeng palsu mereka. Aku berpikir ketulusan macam itu hanyalah angan-angan kaum bawah. Sekedar hiburan untuk melupakan perut yang kosong.
Aku tumbuh dengan pupuk kecurigaan. Tapi sungguh Tuhan sudah berbaik hati padaku. Ia tunjukkan ketulusan dari mereka yang baru kukenal, mereka mengulurkan tangannya padaku. Memberikan senyumnya tanpa meminta lebih. Mereka ada, mereka menggenggam tanganku, aku sudah cukup.
“Mba Nay…,” Ica memberikan jari kelingkingnya. Ah, aku ingat tadi gelombang hitam mengunjungiku. Ini gelombang yang sama seperti saat aku membeli baju di Surabaya. Warnanya yang hitam berubah menjadi kelabu, hingga hilang tak bersisa. Aku dan Ica saling mengaitkan jari kelingking, tidak lagi dengan keraguan.
Kami mengobrol hingga lupa waktu, esoknya kami habiskan dengan wisata kuliner. Seperti biasa, makan dengan orang lain selalu terasa lebih nikmat. Makanan penutup hari ini adalah pentol langganan Ica. Ia membeli banyak sekali untuk di makan di kos.
“Gila, aku kangen banget sama ini pentol.”
“Ini emang pentol paling enak di Gresik.”
“Hei Ca.” Ucapku serius
“Ada apa Mba?” Ica berhenti memakan pentolnya yang tinggal separuh.
“Saudaraku mau nikah, aku di ajak Mama kesana bareng. Menurutmu apa aku dateng aja?”
“Perasaan Mba gimana?”