Dari Naya Untuk Naya

Zsa Zsa Eki Liztyasari
Chapter #30

BAB 30 YANG TAK TERSAMPAIKAN

Acara pernikahan berlangsung dengan khidmat. Mba Ineke pecinta pria Korea garis keras, malu-malu menatap pria yang menjadi suaminya. Sampai malam aku berada di sana ikut membantu sana sini. Begitu kerjaan kelar, kami beristirahat bersama Bude Sri dan Tante Diah.


“Nay, kamu tambah cantik aja.” Seru Tante Diah menepuk pundak.


“Iyaloh, aku sampe pangling sama pas lihat kamu Dateng. Bude kira kamu pacarnya Nara.” Seru Bude tak mau kalah.


“Aku sama aja deh, paling ya cuma agak lebih pinter pake makeup sekarang,” jawabku tersenyum sembari menggeleng.


“Nah, ya gitu. Mamamu waktu dulu masih muda beh, cantik bener. Sekarang kamu kelihatan kayak Mamamu. Oh, kebetulan nih, ada album-album lawas. Itu dek ambil yang warna ijo.” Tante menarik sebuah album. Ia buka di tengah-tengah kami. Ada foto masa kecilku dengan Mba Ineke bersama keluarga sedang piknik di Kebun Teh.


“Kamu tahu Nay, waktu kamu masih kecil, kamu tuh susah banget makan. Tapi Mama sabar mau kamu lari kemana pun pasti dikejar Mamamu sambil bawa piringmu,” tukas Bude Sri.


“Kamu juga kalo tidur suka ngompol sama kayak si Ineke. Dulu kalo Ineke nginep di rumahmu, pasti Mamamu yang repot. Untung, Mamamu telaten orangnya,” kenang Tante Sri.


Hari semakin malam, tamu acara sudah banyak yang pulang. Keluargaku yang mengendarai motor memilih berpamitan terlebih dahulu, tubuh tua Mama dan Papa sudah rentan terkena masuk angin.


Sampai di rumah, Oci sudah ribut lantaran di tinggal sendiri. Wadah minumnya ia tendang tanda murka. Mungkin Oci punya semacam separation anxiety.


Papa dan Nara merebahkan diri di karpet depan TV. Mama duduk bersamaku di ruang tamu.


“Nay, tadi Mba Ineke cantik ya,” Mama mencoba memecah keheningan.


“Iya.”


“Besok balik ke Gresik kayak biasanya?”


“Iya,” sedari tadi aku menjawab tanpa menoleh ke Mama. Melihat responku Mama berdiri, “Nay,” ucapnya dengan nada lirih.


“Mama seneng kamu di sini.” Lantas pergi meninggalkan aku sendiri di ruang tamu.


Ia sakit, aku pun juga. Ada perasaan yang di belenggu. Kami begitu dekat juga begitu jauh. Mencoba meraih satu sama lain, namun tak dapat saling menggenggam. Kami menghindar agar tak saling menyakiti, lantas mengapa kita saling mencari?


Paginya aku berangkat bersama Papa ke Gresik. Seperti saat menjemputku, Papa hanya bicara seperlunya pun masih tak mengizinkanku untuk berangkat dengan bus. Perjalanan hampir tiga jam tetap sudi ia tempuh. Sesampainya di kos, aku tetap memberikan uang bensin padanya.


Lihat selengkapnya