Sebelum momen lebaran, alangkah baiknya kami saling jujur kepada satu sama lain. Di kepulanganku kali ini, bukan lagi bibir yang bicara tetapi hati pun juga.
Mama dengan geraknya selalu ingin mendekat mengajakku bicara, gelagatnya kikuk. Aku sendiri bingung bagaimana caraku memulainya. Di rumah, malah aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan Oci. Tanpa ku sadari sampai tertidur pulas. Di balik tidurku, aku bisa merasakan sentuhan lembut telapak tangan di rambutku, tubuhku di tutupi oleh selimut. Aku mengintip, ternyata itu Mama saat ia hendak pergi aku memanggilnya.
“Ma, aku minta maaf. Kata-kataku salah, aku nyakitin perasaan Mama.” Mama berbalik menyentuh jemariku.
“Aku bingung Ma, aku merasa seperti kehilangan diri sendiri. Aku juga marah, karena Mama dulu yang bilang gimana pun caranya aku harus sekolah, harus bisa jadi sarjana. Aku uda coba daftar beasiswa, tapi bagaimana biaya hidupku? Untuk SMA aku sampai sering ga masuk atau sekolah tanpa uang saku. Kuliah pastinya butuh biaya lebih banyak. Aku pun memilih untuk kerja yang di tentang oleh Mama, namun ketika aku Nerima uang, Mama jadi terus bergantung sama aku. Kupikir untuk sementara bisa begitu tapi Ma, aku sudah kehilangan diri sendiri juga mimpiku. Membantu keluarga memang mulai, di satu sisi hidupku masih panjang Ma. Aku ingin setidaknya Mama dengerin aku dulu, tanya apa butuhku, bukannya serta merta menumpahkan semuanya di aku.”
“Sayang, Mama bener-bener minta maaf kalau kamu sampai merasa seperti itu. Mama juga egois karena ga mikirin perasaan kamu atau mempertimbangkan kepentingan kamu.”
“Ma, benar Mama pernah menyakiti perasaanku begitu pun sebaliknya. Ini kali pertama Mama jadi orangtua dan ini kali pertamaku menjadi seorang anak. Ga ada dari kita yang paling benar, karena itu ayo kita belajar untuk saling mengerti.” Mama mengangguk memelukku begitu erat. Ia menangis, kali ini karena beban di hatinya telah sirna. Apa yang tak terucap, telah tersampaikan.
Aku melihat gelombang hitam datang, tapi ada yang aneh. Ia tidak tertuju padaku lalu pada siapakah? Apa mungkin itu untuk Mama?
Di gelombang hitam milik Mama, ada film tentang masa kecil Mama. Eyang dengan karirnya yang gemilang, mampu menyirami kebutuhan keluarganya sampai subur makmur. Mama bukanlah seorang anak yang menyentuh kata kesusahan dalam hidupnya. Dari segi materi dan penghormatan bukanlah hal yang perlu ia perjuangkan. Ia sudah terlahir lengkap dengan itu semua.
Naas hidupnya berubah ketika eyang sudah purna tugas. Mama yang tak pernah di bekali finansial planning mulai limbung. Kondisi itu di perparah dengan Mama yang tidak di izinkan bekerja di luar kota dengan alasan khawatir. Mama yang memiliki prestasi dan kesempatan emas lantas mengubur itu semua dalam-dalam. Bagi Eyang sudah cukup satu putrinya bekerja jauh di luar kota, jangan keduanya. Eyang juga tidak membayangkan hidup putri-putrinya akan susah seperti sekarang. Pikirnya apapun yang di minta putrinya terpenuhi sudah cukup, ia lupa bahwa ia tidak bisa selamanya mencukupi kebutuhan putrinya.
Puncaknya ketika Papa tidak lagi berjaya. Semuanya runtuh, kehidupan nyaman menjadi angan-angan. Sekolah anak yang awalnya adalah prioritas menjadi beban yang ditangguhkan. Selimbung itu Mama. Pikiran dan hatinya kacau, hingga ia tak sadar telah menumpahkan beban yang ia pikul pada anaknya.