Dari Reiner untuk Raina

Rika Kurnia
Chapter #2

Bab 1 - Putri dan Pangeran

Bagaikan sepasang lovebird yang selalu setia dengan pasangannya, akupun begitu dengan kamu. Tidak akan pernah ada yang lainnya hingga semesta yang memisahkan.

___


Raina yang masih setengah sadar, menangkap sosok perempuan yang sudah berdiri di hadapannya entah sejak kapan. Lantas gadis itu mengucek kedua matanya agar gradasi blur di sana hilang seutuhnya. Raina duduk dengan lemas sehabis bangun tidur. 

"Eh, elo, Na. Gue kirain siapa," kata Raina pada seorang perempuan yang usianya empat tahun lebih tua darinya. 

Ariana Sarastika, nama lengkapnya. Sejak kecil sudah biasa dipanggil Nana. Mungkin karena waktu dulu belum lancar bicara, makanya cuma bisa menyebut kata 'Na dan Na'. 

"Kebiasaan banget deh, elo, Rain. Kalo tidur pasti pintunya enggak pernah dikunci. Kalo tadi bukan gue, tapi orang jahat, gimana?" omel Nana seraya berpindah ke sebelah Raina, duduk di sana. 

"Biarin kenapa sih, Na. Nanti kalo Mbak Darmi mau masuk buat bersih-bersih kamar gue, gimana? Males banget gue kalo lagi tidur harus pake buka-bukain pintu dulu," balas Raina sambil menyambar ponselnya di nakas. 

"Biasanya juga Mbak Darmi rapihin kamar elo kalo elonya udah bangun. Enggak usah alesan yang udah jelas ada jawabannya, deh. Cukup bilang 'iya' aja, bisa enggak sih?" Nana tidak mau kalah. 

Memang seperti ini. Jika keduanya sudah bertemu, pasti tidak pernah sekalipun Nana diam saja atas berbagai sikap atau sifat Raina yang sembrono. Entah sudah keberapa kalinya Nana mengomel ke Raina. Dan akan terus begitu. 

Raina senyam-senyum. Bukan karena omongan Nana, melainkan tatapannya yang terus fokus pada layar ponsel di tangannya. 

"Rain, elo dengerin gue, enggak, sih?" tanya Nana setengah kesal. 

Raina terkesiap mencari wajah Nana yang sepertinya tampak kesal. "Eh, iya. Gue denger, kok, Nana sayang." 

Nana melirik ponsel Raina. "Pasti chat dari Reiner, kan?" tanyanya dengan nada tidak suka. 

"Iya. Hehe," jawab Raina, nyengir. 

"Coba mana liat." Nana menyambar ponsel milik Raina. Lalu membaca isi pesan dari Reiner yang membuat wajah Raina tampak berbinar. 

"Akhirnya pulang juga tuh, pangeran elo," lanjut Nana, mendumal. 

Pasalnya, sejak awal Nana tidak pernah menyukai hubungan Raina dengan Reiner. Wanita yang sejak lahir sudah bertetangga dengan Raina itu, selalu saja sinis setiap kali Raina menyebut nama 'Reiner'di hadapannya. 

"Iya, dong. Udah setahun, Na, gue sama Reiner LDR. Coba elo bayangin aja, gimana menderitanya gue selama duabelas bulan, 48 minggu, 365 hari, 8760 jam. Gue enggak sanggup lagi, Na," oceh Raina sambil mendramatisir. 

Nana mendecih. "Buktinya sekarang elo baik-baik aja, tuh. Enggak usah lebay, deh." Nana meraup wajah Raina dengan satu telapak tangannya. 

"Ih, Nana! Apa yang elo liat ini, enggak seperti yang sebenarnya terjadi. Coba aja badan gue transparan, terus hati gue keliatan, pasti hati gue udah enggak karuan, deh, bentuknya." 

"Dasar bucin stadium 12." Nana bangkit bersamaan dengan melempar ponsel Raina ke kasur. "Buruan mandi. Gue bawain elo pancake durian dari nyokap."

Kedua mata Raina melebar sempurna. "Pancake durian? Wah! Udah lama juga gue enggak makan pancake durian buatan nyokap elo," ujar Raina senang. 

"Yaudah, buruan. Gue tunggu di meja makan." 

"Siap, ndoro!" seru Raina sambil berlagak hormat. Sebelum beranjak dari kasur yang bernuansa ungu pastel itu, gadis yang suka makan tetapi tidak pernah gemuk, meraih ponselnya lagi. Membaca kembali pesan dari Reiner. 

Reiner Arkananta

Hari ini aku pulang ke Jakarta, ya. Kemungkinan sore aku sampai bandara. Aku enggak sabar ketemu sama tuan putri cantikku. I love you, Raina. 

Selain itu, Reiner juga mengirimkan foto tiket pesawatnya. 

Qutar Airways, boeing 333. 

___


"Sumpah! Emang pancake durian buatannya Tante Eli enggak ada yang bisa nandingin. Kenapa enggak coba dijual aja, sih?" ujar Raina setelah menggigit sekali sebongkah pancake di jarinya. 

"Jangankan elo, Rain. Gue udah sering bilang ke nyokap buat buka toko pancake gitu. Tapi doi enggak mau. Katanya enggak pede, takut jualannya enggak laku."

"Yah, gimana, sih, si Tante. Gue aja yakin banget kok, kalo pancake ini bakalan laku abis di pasaran. Gue berani taruhan. Kalo enggak laku, gue bakalan botakin rambut!" Raina terkikik dengan ucapannya sendiri.

"Yakali, elo berani botakin rambut. Secara itu bagian tubuh yang paling elo agung-agungkan dari dulu." Nana mencomot apel di ujung meja makan. Mengupasnya dengan pisau, lalu diiris menjadi beberapa bagian, dan disodorkan ke Raina. 

Lihat selengkapnya