Jika suatu saat tidak ada orang yang menoleh ke arahku lagi, aku hanya meninginkan satu permintaan. Yaitu kamu. Biarkan aku datang kepadamu. Dekaplah aku dan genggamlah tanganku seerat mungkin. Sebab hanya kamu tempatku berkeluh
_____
2 tahun yang lalu.
Raina dengan wajah riangnya berjalan menyusuri koridor hendak menyusul Reiner yang harus mengikuti rapat OSIS lagi seperti beberapa hari lalu. Padahal cowok itu sudah lengser dari jabatan ketua OSIS-nya. Namun, integritasnya tetap diakui oleh para adik kelasnya sehingga membuat Reiner masih harus membantu mereka dalam menyiapkan acara tahunan SMA Gentara.
Raina menghentikan langkahnya sembari memasang wajah kesal ketika melihat Reiner yang sedang berdiri di depan ruang OSIS bersama seorang siswi di dekatnya. Mereka tampak sedang membahas sesuatu dengan sedikit saling bergurau. Setidaknya itulah yang mungkin terihat oleh Raina dan menyebabkan kepulan asap keluar dari kepalanya. Lantas Raina menghampiri Reiner tanpa segan.
Raina berdehem. "Udah selesai rapat OSIS-nya?" tanyanya bernada sinis.
Reiner dan siswi di sebelahnya menoleh ke Raina. "Hei, Rain. Ini udah selesai kok," jawab Reiner.
"Yaudah, Kak. Kalo gitu aku coba kasih laporan rapat hari ini ke Bu Mira, ya," ujar siswi yang bernama Tarla itu.
"Oke. Sampai besok, ya," balas Reiner sebelum Tarla beranjak pergi. Lalu Reiner beralih ke Raina. "Kita pulang?"
Raina yang wajahnya masih tampak masam berjalan terlebih dahulu. Diikuti Reiner yang segera menyamai langkahnya. Sadar dengan ekspresi tuan putrinya yang tidak biasa, justru membuat Reiner tersenyum kecil.
"Kamu kenapa sih, Rain? Kok, mukanya ditekuk begitu?"
"Cewek tadi itu siapa?" tanya Raina dengan sinis.
"Kamu enggak tahu siapa Tarla?" Dari pertanyaannya, Reiner sama sekali tidak menduga jika Raina benar-benar tidak mengenal Tarla.
"Emang penting, ya, aku harus tau siapa cewek itu?"
"Bukan soal penting enggak penting. Tapi satu sekolah ini tau siapa Tarla kecuali kamu. Dia itu ketua OSIS angakatan sekarang. Kamu beneran enggak tau?"
"Oh, cuma ketua OSIS. Kirain siapa sampai aku juga harus tau siapa dia. Enggak penting buat aku kalo begitu. Karena bagi aku, yang penting itu ...." Raina sengaja menggantung ucapannya.
"Apa sih, yang penting buat kamu?"
"Yang perlu aku tau cuma kamu milik aku. Reiner punyanya Raina seorang," lanjut Raina tersenyum senang.
Tentu saja pernyataan tersebut praktis membuat Reiner terkikik geli. "Bisa banget kamu, ya, gombalin aku begitu. Dasar bucin. Tapi kenapa tadi muka kamu jutek begitu ke Tarla?"
"Abis tadi kamu sama dia saling senyum-senyum begitu. Aku enggak suka," jawab Raina kembali memasang wajah cemberut.
Anehnya, Reiner justru merasa geli dengan Raina yang sebenarnya tidak sedang bercanda. "Kamu tau enggak, Rain?"
"Tau apa?"
"Tarla itu adalah orang yang berjasa banget sama hubungan kita."
Raina menghentikan langkahnya secara mendadak. Ia menjadi heran dan bingung. "Berjasa gimana maksud kamu?"
"Jadi ... setelah beberapa hari masa orientasi angkatan kamu waktu itu, dia 'kan ngelamar jadi anggota OSIS. Dan kebetulan dia itu satu kelas sama kamu. So, aku minta dia buat jadi mata dan telinga aku. Aku suruh dia untuk cari tahu semua hal tentang kamu," jelas Reiner panjang lebar.
Raina berpikir keras setelah mendengar semua pengakuan Reiner. Sejujurnya kala itu Raina juga merasa jika selalu ada orang yang memperhatikannya dari jauh. Saat sedang makan di kantin atau bahkan saat ia berada di toilet. Raina yakin jika ada yang memata-matainya kala itu. Namun, mana mungkin? Pikirnya waktu itu. Dan inilah jawabannya dari Reiner.
Lantas Raina berbalik dan hendak bergegas menuju suatu tempat. "Eh, kamu mau kemana?" Reiner berhasil menahan lengannya dengan pelan.
"Aku mau samperin Tarla yang kamu bilang itu."
Reiner mengernyit bingung. "Mau ngapain?"
"Mau ngucapin terimakasih ke dia karena udah mau disuruh-suruh sama kamu buat ikutin aku dan bikin kamu jadi pacar aku," jawab Raina terkesan polos.
Yang lagi-lagi membuat Reiner terkekeh geli.
"Ya, ampun, Rain. Kamu tuh, ya." Reiner mengelus pipi Raina dengan sisi telunjuknya.
"Lho, emangnya kenapa?"
Reiner mengambil jemari Raina dan digenggamnya. "Kapan-kapan aja, ya, bilang terimakasihnya. Sekarang kita pulang aja. Nanti kesorean. Oke?"
Raina mengangguk. Lantas keduanya kembali berjalan menyusuri koridor. Baru beberapa langkah, Reiner tampak seperti kesakitan pada bagian kepalanya.
"Kamu kenapa, Rei? Ada yang sakit? Atau kita mau ke klinik sekolah dulu?" tanya Raina cemas saat menyadari ketidaknyamanan Reiner.
"Aku enggak apa-apa. Kayaknya cuma kecapean aja karena harus siapin acara pensi beberapa hari lagi. Aku sering begini kok, waktu aku masih jadi ketua OSIS dan banyak kegiatan," jawab Reiner yang tetap saja tidak bisa menyurutkan wajah cemasnya Raina.
"Kamu yakin? Kalo gitu besok-besok kamu enggak usah ikut kegiatan OSIS lagi deh. Aku enggak bisa kalo kamu sampai sakit begini," pungkas Raina tak terbantahkan.
"Iya, tuan putri. Yaudah, yuk, kita pulang." Selalu begitu, Reiner yang tidak pernah membantah Raina.
___
"Rei?!"
Raina memanggil Reiner dengan suara yang kencang. Karena sekarang mereka tengah berada dalam perjalanan di atas motor.
"Iya. Ada apa?" Reiner membuka kaca helm-nya dan menjawab dengan setengah berteriak.
"Aku boleh nanya enggak, sih?"
"Nanya apa, sayang?"
"Sebenarnya apa, sih, yang bikin kamu suka sama aku? Padahal di sekolah banyak cewek cantik yang deketin kamu. Emang sih, aku lebih cantik dari mereka. Tapi, ya, aku cuma mau tau aja langsung dari kamu," cerocos Raina tanpa mengecilkan nada suaranya sedikitpun. Bahkan, urat biru di lehernya tampak jelas terlihat ketika ia berbicara.
Pertanyaan Raina ini memancing Reiner untuk mendengkus geli.
"Sekarang aku tanya sama kamu. Kenapa kamu mau nerima aku sebagai pacar kamu? Padahal katanya banyak cowok ganteng yang selalu ngantri buat dapetin kamu. Tapi kenapa kamu pilih aku?
"Kok, malah jadi main tanya-tanyaan sih, Rei. Kalo begitu enggak akan ada yang jawab. Terus aja begini sampai nobita lulus SD," gerutu Raina mengerucutkan bibirnya ke depan.
Reiner tertawa geli. "Boleh enggak sih, aku berhentiin motornya dulu terus cubit pipi kamu."
"Jangan dong. Itu namanya tindakan kriminal karena termasuk tindak kekerasan dalam pacaran," kata Raina asal.
Tidak peduli dengan istilah apapun itu, Reiner tetap menghentikan motornya ke tepi jalan. Lalu ia turun dari motornya menghampiri Raina yang masih duduk di bangku belakang. Reiner mencubit pelan kedua pipi Raina.
"Hal yang begini yang bikin aku jadi tambah takut," ucap Reiner memandang wajah Raina begitu dalam.
"Takut kenapa?"
Reiner lebih mendekatkan dirinya ke Raina. Lantas menelusupkan kedua tangannya yang terjulur sampai ke belakang kepala Raina.
"Takut kehilangan tuan putrinya aku," ujar Reiner dengan nada yang amat lembut.