Reiner terus memeluk Raina sambil mengusap lembut belakang rambutnya.
"Sssst ... sssttt ...." Reiner seperti sedang berusaha menenangkan bayi yang menangis karena bermimpi buruk.
"Mereka jahat, Rei, sama aku. Mereka enggak sayang sama aku," celoteh Raina semakin terisak.
Kemudian Reiner memegang kedua bahu Raina. Membuat Raina berdiri dan menggiringnya ke sofa dekat sana.
"Kamu yang tenang dulu ya, Tuan Putri," suruhnya pelan sambil mendudukan Raina di sofa. Tangannya masih setia menggenggam kedua sisi bahu kekasihnya itu.
"Sekarang dengerin aku, ya. Lihat mata aku," ujar Reiner. Perlahan berhasil menghentikan tangis Raina yang menatapnya jelas. Mungkin hanya sesekali senggukan yang masih Raina keluarkan lantaran sesak di dadanya.
"Enggak ada orang tua yang jahat sama anaknya. Mereka sangat mencintai kamu, Rain. Seperti yang selalu aku bilang ke kamu, mereka bekerja keras hanya untuk kamu. Demi memberikan hidup yang berkecukupan untuk kamu," lanjut Reiner.
"Tapi aku lebih membutuhkan mereka ada di dekat aku, Rei. Coba kamu bayangin, dari lahir aku selalu dirawat sama para pengasuh. Aku bahkan enggak pernah ngerasain ASI dari mamaku sendiri. Masa balitaku, SD, SMP, SMA, dan sekarang kuliah. Itu bisa dihitung pakai jari aku menghabiskan waktu sama mereka.
Dan yang aku benci sampai sekarang adalah mereka cuma pernah sekali dateng ke sekolah untuk ambil rapot aku. Itupun enggak lebih dari 20 menit. Selebihnya Bik Mirna yang ambil. Segitu jahatnya mereka sama aku, Rei," jelas Raina panjang lebar. Berkeluh kesah tentang apa yang selalu membekas di hatinya. Sakit dan tak terlupakan. Akibat mengatakan ini, Raina kembali menangis.
"Tadi di luar aku sempat berpapasan sama mama dan papa kamu. Dan kamu tau apa yang mereka bilang ke aku?"
Raina menggeleng tidak tahu.
"Mereka minta aku menjaga kamu."
Kalimat tersebut begitu sederhana, tetapi anehnya justru terdengar seperti ada efek yang kuat sampai membuat perasaan Raina berdesir halus.
"Mereka secara enggak langsung ingin kamu selalu baik-baik aja. Mereka begitu peduli sama putri berharganya ... Kamu Rain."
Raina menghapus air matanya. Dibantu oleh Reiner yang juga mengusap bekas basah di pipi tirus Raina dengan sisi ibu jarinya.
"Tapi kamu enggak bohong soal ini kan, Rei?" tanya Raina memelas.
"Enggak, Rei. Demi cinta aku sama kamu, aku enggak bohong sama semua ucapanku tentang orang tua kamu."
Raina terkekeh pelan dan malu-malu. "Di keadaan gini masih aja bisa gombal."
Lantas Reiner memeluk gemas Raina. "Mana pernah sih, aku gombal ke kamu. Semua itu ungkapan hati namanya. Beda sama gombal yang belum tentu setulus ungkapan hati."
"Iya-iya. Aku selalu kalah kalau kamu udah ngeluarin jurus kalimat puitis kamu." Raina mulai membaik. Reiner memang selalu berhasil membuatnya bahagia.
"Besok aku antar kamu ke kampus, ya."
___
Reiner sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Tepat di depan kampus Raina, Universitas Lanister. Suasana di sekitar sana mulai ramai lantaran banyak mahasiswa/i yang juga baru datang menuju gerbang utama kampus.
"Sudah sampai. Nanti aku jemput jam berapa?" tanya Reiner.
"Sekitar jam 3 ya," jawab Raina sambil mengambil totebag hijaunya di jok belakang.
Sebelum keluar mobil, Reiner mendaratkan kecupan singkat di kening Raina sambil berkata, "Belajar yang rajin ya, tuan putri."
"Makasih ya, Sayang, untuk asupan cintanya," kata Raina tersenyum semringah. Lantas Raina hendak membuka pintu, tetapi teringat sesuatu dan kembali mencari wajah Reiner.
"Oh, iya, Rei. Aku lupa sesuatu."
Reiner mengerutkan dahi. "Apa? Ada barang yang ketinggalan di rumah?"
Raina menggeleng. "Bukan. Tapi aku mau kasih tau ke kamu kalau aku jadi model di majalah kampus untuk bulan ini. Ditambah nanti aku juga bakalan jadi model untuk semua poster dan brosur kampus tahun depan," ungkap Raina dengan ekspresi gembira. Seperti anak SD yang sedang menceritakan ke orang tuanya kalau ia habis mendapatkan nilai 100.
Memang seperti itu. Raina yang selalu menceritakan hal apapun ke Reiner. Sekecil apapun itu. Saat Raina kehilangan salah satu barangnya, saat Raina akan membeli sesuatu, dan bahkan semua menu makanan yang akan Raina santap. Semua hal itu selalu disampaikan pada Reiner. Sebab, bagi Raina, dengan begitu dia merasa jika ada orang yang mempedulikannya.
Sebenarnya bisa saja Raina menceritakan hal-hal ini kepada Nana. Namun, terkadang Nana suka meledeknya. Berbeda dengan Reiner yang selalu menberikan tanggapan yang baik dan malah sering bertanya berbagai hal yang Raina lakukan, inginkan, dan harapkan.
Seperti ini contohnya.
"Oh, ya. Kamu hebat. Aku bangga sama kamu. Aku yakin kamu akan jadi gadis tercantik di kampus Lanister. Mereka akan penasaran sama identitas kamu, lalu akan mencoba mendekati kamu. Dan jika itu terjadi, kamu harus membuka diri untuk memiliki banyak teman, ya?"
"Aku enggak perlu teman. Aku cuma butuh kamu, Rei. Lagian juga udah ada Nana. Sahabat aku satu-satunya yang enggak akan pernah jahat sama aku," gerutu Raina. Pasalnya Raina trauma dengan tindakan bullying yang pernah dialaminya saat SMA dahulu. Sebelum itu juga, Raina sering mendapat tatapan sinis dari beberapa siswi di kelasnya. Raina sendiri tidak tahu alasan jelasnya.
Jadi semenjak itu Raina malas untuk memiliki teman. Cukup Nana dan Reiner saja selama ini. Dua orang yang selalu mengertinya.
"Rain ... kita kan, udah pernah bahas soal ini. Enggak semua dari mereka itu jahat. Pasti di antaranya juga ada yang mau berteman sama kamu dengan tulus. Kamu coba, ya?"
"Masakan kali ah, pake dicoba segala." Raina merutuk.
Reiner terkekeh geli. "Jangan gitu dong, tuan putri. Aku saranin ini karena aku sayaaaaang banget sama kamu. Aku enggak mau kamu selalu kesepian setiap kali aku enggak ada." Reiner duduk menyerong ke arah Raina. Salah satu tangannya terjulur ke kening Raina untuk mengusap-usap dengan sisi telunjuknya.
Wajah Raina mendadak bete. "Yaudah, kalo gitu kamu cepetan daftar kuliah di sini biar kamu selalu ada di deket aku. Dengan begitu aku enggak akan kesepian. Ya, kan?"