Boleh pergi, tetapi jangan melupakan yang ditinggal.
~~~
Seorang bocah berusia empat tahun keluar dari sebuah rumah kecil dengan dinding kayu bercat putih. Rambutnya hitam pendek sebatas leher. Tangan kanannya mengayun-ayunkan kantong plastik kecil berwarna hitam. Dia terus berjalan hingga kakinya menabrak undak-undakan yang memisahkan teras dengan pekarangan rumah. Dia pun terjatuh dengan kedua lutut menumpu tanah. Beberapa biji kelata berhamburan dari kantong plastik yang dibawanya tadi. Bukannya menangis, bocah itu malah tertawa kecil.
"Ati-ati, Nduk." Sebuah suara bernada cemas menginterupsi dari dalam rumah. Tak lama, Mbok Darmi muncul dan membantu membersihkan celana bagian lutut cucunya yang dilapisi tanah. Rumah ini memang masih berlantaikan tanah.
"Atun ndak popo, Mbok." Atun, begitulah nama panggilan Zaitun. Tingkahnya setiap hari telah menebarkan keceriaan di rumah kecil yang berada di ujung Kampung Jawi. Sebuah permukiman di wilayah pelosok Jambi yang penduduk awalnya ialah para transmigran dari Wonogiri, Jawa Tengah.
Dulunya, perkampungan ini hutan belantara. Pemerintah melakukan deforestasi kemudian membangun rumah-rumah kayu yang selanjutnya menjadi tempat tinggal para transmigran. Transmigrasi tersebut terjadi tahun 1978, ketika pembangunan Waduk Gajah Mungkur pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Saat ratusan transmigran tiba, mereka langsung bisa mendiami rumah-rumah kayu tersebut. Satu buah rumah beserta kebun untuk satu KK. Saat itu pun Lasmi baru lima bulan menikah dengan Subagio, laki-laki pilihan Mbah Tarso. Bersama suami dan ibu mertuanya, Lasmi tinggal di sebuah rumah yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumah orang tuanya.
Lima belas tahun sudah Mbah Tarso dan Mbok Darmi tinggal di rumah kayu bercat putih yang penuh cerita suka dan duka. Kini, cat rumahnya sebagian sudah mengelupas, karena belum pernah dicat ulang. Belum banyak terjadi perubahan sejak dirinya menjadi warga Kampung Jawi hingga sudah memiliki tiga orang cucu perempuan. Masih belum ada listrik dari pemerintah masuk ke Kampung Jawi. Beruntung, beberapa tahun belakangan ini beberapa tetangga yang kehidupannya lebih mapan bisa membeli diesel. Mbah Tarso langsung ikut penyaluran listrik begitu tetangga dekat rumahnya membeli diesel. Sebagai upah jasa, selain uang, pemilik diesel tidak keberatan jika diberi sembako setiap minggunya.
Diesel menjadi sumber energi pembangkit listrik satu-satunya di Kampung Jawi. Hanya saja, pemakaiannya sangat terbatas. Diesel hanya akan dinyalakan sebelum azan Magrib hingga tepat tengah malam. Setelah itu, para warga akan memakai lampu sentir seperti biasanya. Jika suatu waktu diesel masih menyala sampai pagi, berarti ada dua kemungkinan, ada warga yang melahirkan atau meninggal.
Atun memungut biji-biji kelata dan memasukkannya kembali ke kantong plastik. "Atun mau cari biji kelata lagi ya, Mbok." Dia pamit dan segera meninggalkan teras, berjalan lincah melewati pekarangan depan rumah.
"Jangan jauh-jauh, Nduk!" teriak Mbok Darmi. Dia berjalan melewati undak-undakan teras, lalu mematung di pekarangan.
Mbok Darmi memperhatikan Atun yang berjalan menyusuri kebun di sebelah kanan rumah. Seperti rumah-rumah lain di Kampung Jawi, rumah Mbok Darmi dikelilingi oleh kebun yang ditumbuhi pohon-pohon karet. Ya, tentu saja mata pencaharian Mbok Darmi dan seluruh warga Kampung Jawi secara umum adalah menyadap karet, tanaman yang menjadi sumber utama bahan karet dunia.
Selain di kebun dekat rumah, Mbok Darmi juga menyadap karet di ladang. Ladang tersebut juga pemberian pemerintah untuk setiap penduduk transmigran. Biasanya Mbok Darmi menyadap karet bersama Mbah Tarso. Namun, sejak satu tahun lalu Mbah Tarso tidak bisa lagi bekerja. Kedua tangannya lumpuh total akibat terserang rematik. Mbah Tarso sudah tidak bisa melakukan apa-apa, selain membantu mengawasi Zaitun di rumah.
Air mata Mbok Darmi merembes begitu saja saat memperhatikan Zaitun yang berlari ke sana kemari di antara pohon-pohon karet. Empat tahun berlalu begitu cepat. Zaitun tumbuh menjadi bocah kecil yang menggemaskan. Dia begitu ceriwis. Tingkah polos, rengekan manja, dan tawa lepas Zaitun membuat hari-hari Mbok Darmi terasa makin menyenangkan. Kekecewaan dan juga rasa malu akibat perbuatan Lasmi tertutup rapat begitu saja seiring pertumbuhan Zaitun.
Pandangannya lalu menengadah, memandangi matahari yang sinarnya sudah teduh karena sebentar lagi waktu asar akan tiba.
"Las, kowe opo ndak kangen karo anakmu? Atun wis makin tambah pinter." Mbok Darmi bergumam sendiri.
Sudah dua tahun Lasmi merantau ke Jakarta dan belum pernah kembali. Kabar berita darinya pun belum terdengar. Padahal sebelum pergi, Mbok Darmi berpesan agar Lasmi berkirim surat. Namun, belum pernah sekalipun ada surat yang datang.
"Mbok, kulo titip Atun."
Ucapan pamit Lasmi terngiang kembali di telinga Mbok Darmi. Kata titip yang dulu diucapkan anaknya itu begitu menyentuh sanubarinya. Dia berpikir, Lasmi hanya menitipkan Zaitun barang sebentar, lalu segera kembali untuk terus membersamai pertumbuhannya. Setelah berhasil meyakinkan anaknya hingga bisa bertahan selama dua tahun membesarkan dan memberi ASI Zaitun, perempuan paruh baya itu sangat berharap Lasmi pulang dan terus bersamanya, menjadi ibu yang penuh cinta untuk Zaitun.