Sebesar apa pun menyayangi seseorang, suatu saat ada masanya berpisah.
~~~
Kabut menyelimuti rumah kayu berwarna putih itu sehingga tampak samar jika dilihat dari jalan. Rumah masih tertutup rapat, tetapi Mbok Darmi sejak pukul 4 sudah berkutat di pawon. Di dalam pawon yang cukup luas tidak terdapat rak piring. Hanya ada dua tungku yang dibuat dari tumpukan bata merah, sebuah meja cukup panjang untuk menyimpan piring-piring dan gelas-gelas berbahan enamel, juga beberapa peralatan yang terbuat dari tanah liat. Sementara peralatan memasak seperti wajan, dandang, dan panci digantung di dinding pawon. Di sudut pawon ada lemari kayu tinggi untuk menyimpan peralatan makan yang tidak dipakai harian.
Asap tipis mengepul dari cething anyaman bambu berisi nasi di meja yang difungsikan sebagai rak tadi. Sebuah lampu sentir berukuran sedang tergantung di dinding dekat meja sebagai penerang. Di meja itu juga, Mbok Darmi sedang memotong-motong kangkung yang dipetik dari pekarangan. Perempuan paruh baya itu memang rajin dan gemati menanam beberapa jenis sayuran hijau seperti kangkung, bayam, seledri, dan daun bawang di area pekarangan yang berada di dekat sumur dan belakang rumah. Selain itu juga ada tanaman singkong yang sekaligus dijadikan sebagai pembatas pekarangan dengan kebun karet.
Mbok Darmi menambah kayu pada tungku kosong yang apinya mulai mengecil. Dia lalu meletakkan wajan di atas tungku itu. Sementara tungku satu lagi sedang dipakai merebus air dengan panci aluminium berukuran besar. Air itu nantinya bukan hanya untuk minum, melainkan juga untuk mandi Zaitun. Anak itu memang setiap pagi maunya mandi dengan air hangat. Biasanya Mbok Darmi sudah memandikan Zaitun dan Mbah Tarso sebelum berangkat ke ladang.
Cekatan Mbok Darmi mengoseng kangkung bersamaan dengan suara azan yang terdengar dari langgar. Sebenarnya langgar di kampung ini cukup dekat dari rumah Mbok Darmi. Hanya saja karena dibatasi kebun karet dan sawah, jadi harus memutar melewati jalan sekitar 200 meter. Jika mau menerabas kebun, jaraknya menjadi lebih dekat. Dulu, sebelum sakit, Mbah Tarso sering menerabas kebun untuk salat berjemaah di langgar.
"Mbok!" panggil Mbah Tarso dari kamarnya.
"Iyo, Pak, sebentar." Mbok Darmi menunggu beberapa menit sampai oseng-oseng kangkungnya matang.
Tanpa bertanya, Mbok Darmi tahu jika suaminya memanggil pagi-pagi begini karena ingin minta dibantu untuk wudu. Memang Mbah Tarso terbiasa bangun saat azan Subuh berkumandang, sementara Mbok Darmi sedang di pawon. Ya, hal tersebut sudah rutinitas harian. Lima menit kemudian, Mbok Darmi membantu Mbah Tarso untuk duduk, lalu keduanya berjalan ke sumur. Mbok Darmi lalu menimba, sementara Mbah Tarso duduk di kursi dekat sumur. Laki-laki paruh baya itu memang tidak tahan kalau terlalu lama berdiri. Dengan telaten Mbok Darmi membantu sang suami untuk wudu.
"Mbok ...." Zaitun keluar dari kamarnya. Cahaya redup dari lampu sentir kecil di meja ruang tengah menuntunnya menuju sumur.
"Cah Ayu, wis tangi. Ayo, wudu," ucap Mbok Darmi.
Zaitun langsung menurut. Terkadang dia memang terbangun saat subuh. Dia juga terbiasa mengikuti Mbok Darmi salat, walau gerakanya tentu masih banyak yang salah.
Mbok Darmi membantu Mbah Tarso memakai kemeja batik yang biasa dipakai untuk salat. Dia lalu bersiap untuk salat di amben, diikuti Zaitun di belakangnya. Sementara Mbah Tarso salatnya duduk di kursi yang diletakkan di dekat amben. Keadaan membuat Mbah Tarso harus terbiasa salat seperti itu dalam satu tahun ini.
Usai salat dan berdoa, Mbok Darmi mengecup kening Zaitun dengan lelehan air mata. "Mugi dadi wong sukses yo, Nduk. Sing rajin ibadahnya, taat karo Gusti Allah."
Mengingat usianya yang semakin menua, Mbok Darmi sadar tidak akan bisa terus membersamai Zaitun. Dia selalu mendoakan agar Zaitun tumbuh menjadi perempuan salihah yang sukses dan bahagia.
"Aamiin," sahut Mbah Tarso.
"Iya, Mbok. Aamiin." Zaitun mengikuti ucapan kakeknya. Lalu sambil memeluk Mbok Darmi, dia berkata, "Atun sayang Simbok sama Bapak."
Mbok Darmi dan Mbah Tarso tentu saja terenyuh mendengar ucapan polos Zaitun. Mbok Darmi membelai lembut kepala Zaitun. Dipandanginya wajah manis sang cucu. Semakin besar, Zaitun semakin mirip ibunya. Sifat penyayangnya pun sama. Terlepas dari kesalahan yang dilakukan Lasmi, anak semata wayangnya itu begitu menyayanginya.
Tiba-tiba Mbok Darmi merasa bersalah dengan Lasmi. Hal itu karena sampai saat ini Zaitun tidak pernah bertanya atau sedikit pun membahas tentang ibunya. Mbok Darmi merasa Zaitun sudah melupakan Lasmi. Wajar saja, dulu Zaitun ditinggal ketika baru berusia dua tahun. Saat awal-awal Lasmi pergi, Zaitun suka menanyakannya. Bahkan, terkadang Zaitun menangis karena ingin bertemu ibunya. Mbok Darmi mengupayakan berbagai cara supaya Zaitun bisa melupakan sang ibu. Semua dilakukannya semata-mata agar cucunya itu bisa menjalani hidup dengan tenang dan bisa tertawa ceria seperti anak-anak lain seusianya.
"Mbok," panggil Mbah Tarso, membuyarkan lamunan Mbok Darmi.
"Kenapa, Pak?"
"Simbok ndak usah nderes ke ladang lagi. Bapak kasian lihat Simbok capek. Biar Subagio yang nderes."
Mbok Darmi tersenyum, lalu turun dari amben dan mendekati suaminya. "Kan selama ini juga dibantu Bagio, Pak."
"Iya, maksud Bapak biar Bagio sendiri. Simbok nderes di rumah saja, biar ndak terlalu capek."
Mbok Darmi sedikit berjongkok di depan Mbah Tarso. "Iya, Pak. Nanti aku bicarakan sama Bagio," katanya sembari tersenyum. Dia selalu manut dengan permintaan suaminya.
"Simbok mau ke rumah Pakde Bagio? Atun mau ikut." Mata Zaitun berbinar-binar.