Dari Syukur Hingga Syakur

Sukma El-Qatrunnada
Chapter #5

Kehilangan Pertama

Kematian, sesuatu yang rahasia dan pasti akan datang. Jika sudah tiba masanya, maka siapa pun tidak akan mampu menundanya. 

~~~


Setiap waktu yang berjalan, meninggalkan harapan dan kenangan. Harapan agar hari esok selalu lebih baik dari hari-hari yang telah terlewati. Kenangan dari setiap kejadian hari-hari lalu yang tak akan terulang pada hari esok. Berharap hanya memiliki kenangan menyenangkan sepanjang perjalanan hidup, tentu saja tak akan mungkin. Yang Maha Pencipta telah menghadirkan segala sesuatu ke dunia ini berpasang-pasangan. Ada siang, ada malam. Ada suka, ada duka. Ada hal menyenangkan, ada pula hal menyakitkan. Semua silih berganti, memberi warna pada perjalanan hidup manusia.

Berbeda dengan Zaitun, baginya kehidupan selalu menyenangkan karena ada Mbok Darmi dan Mbah Tarso yang begitu menyayanginya. Apalagi setelah tahu bahwa masih ada ibu yang juga menyayanginya, meski jarang bertemu. Maka, setiap hari dia lalui dengan penuh keceriaan

Seiring bertambahnya usia, ingatan Zaitun tentang kenangan-kenangan yang sudah dilewati semakin kuat. Pertemuannya dengan sang ibu dua tahun lalu masih membekas di hatinya. Meski ibunya belum datang lagi, tetapi dia akan menunggu sampai tiba waktu bertemu. Sudah satu tahun lebih Zaitun punya rutinitas baru yang sangat disukainya. Sekolah di SD yang tak terlalu jauh dari rumah. Setiap pagi dia selalu bersemangat untuk bersiap pergi ke sekolah. Setiap hari dia berangkat ke sekolah bersama Wulan. 

Pagi ini, Zaitun sudah siap dengan seragam putih-merah. "Ini, Nduk sangune." Mbok Darmi memberikan selembar uang merah bergambar perahu pinisi. 

Zaitun tidak langsung menerima uang itu. Katanya, "Sing wingi ijek, Mbok." 

Mbok Darmi tersenyum. "Dicelengi wae, Nduk. Supaya tabungan Atun banyak."

Bocah perempuan yang rambutnya selalu pendek itu tertawa kecil mengingat celengannya yang terbuat dari kaleng berukuran sedang bekas tempat kue oleh-oleh dari ibunya. Tanpa menanggapi ucapan Mbok Darmi, Zaitun segera berpamitan. Dia menyalami Mbah Tarso yang duduk di kursi teras, lalu menyalami Mbok Darmi. Setelah itu Zaitun melenggang lincah untuk menuju ke rumah Wulan. 

Mbok Darmi memperhatikan gadis kecil kesayangannya sambil tersenyum kecil. Setelah Zaitun tak terlihat lagi, Mbok Darmi masuk ke rumah. Dia memasuki kamar Zaitun, lalu meraih kaleng di dekat bantal. Dimasukkannya selembar uang merah tadi ke celengan. Mbok Darmi cukup sering melakukannya tanpa sepengetahuan Zaitun.

Setiap hari Mbok Darmi memberi uang saku sebesar seratus rupiah untuk Zaitun. Namun, Zaitun tidak pernah menghabiskannya dalam sehari. Biasanya dia hanya akan jajan sebanyak lima puluh rupiah. Sebesar itu sudah cukup untuk membeli sebungkus keripik singkong kesukaannya dan juga gorengan. Terkadang, sisanya dia masukkan ke celengan. Jika tidak masuk celengan, maka sisa uang itu akan menjadi uang jajan untuk hari selanjutnya. Kalau sudah begitu, Mbok Darmi yang akan mengisi celengan Zaitun. Seperti hari ini.

Setelah menutup kamar Zaitun, Mbok Darmi menuju sumur. Dia bersiap untuk melapisi pakaiannya dengan pakaian yang biasa digunakan menyadap karet. Getah karet tidak bisa dihilangkan jika sudah menempel ke pakaian, jadi harus ada satu pakaian khusus untuk "dinas" di kebun. Ketika hendak mengenakan pakaian yang sudah dipenuhi getah karet kering, terdengar suara Mbah Tarso memanggil. 

"Mbok! Simbok!"

Kembali menggantung pakaian "dinas" pada paku di dinding dapur dekat sumur, Mbok Darmi segera ke tempat suaminya berada. 

"Ada apa, Pak?"

"Wetengku loro," jawab Mbah Tarso dengan mimik wajah menahan sakit. 

"Kepengin ngiseng?"

"Bukan, Mbok. Loro tenan iki."

Perlahan-lahan peluh muncul pada kening Mbah Tarso. Kalau kedua tangannya normal, tentu Mbah Tarso sudah memegangi perutnya yang terasa melilit hebat. 

Mbok Darmi menjadi cemas. Baru kali ini dia melihat suaminya tampak begitu kesakitan. "Kok iso, Pak? Ket kapan krosone, Pak?"

"Barusan ini, Mbok. Tiba-tiba langsung sakit."

"Ayo, Pak, Bapak berbaring di amben. Nanti Simbok minta tolong Ndimin panggilkan Bu Bidan."

Mbok Darmi membantu Mbah Tarso berdiri, kemudian menuntunnya ke dalam rumah. Setelah membaringkan Mbah Tarso, dia pun bergegas ke rumah Ndimin. Khawatir tetangganya itu sudah terlanjur pergi ke ladang. Rumah bidan cukup jauh, di kampung sebelah. Jika memanggilnya sendiri dengan berjalan kaki, tentu akan terlalu lama. Selain itu, tentu saja Mbok Darmi tidak akan tega meninggalkan suaminya sendirian.

Saat tiba di rumah Ndimin, laki-laki itu sudah bersiap di atas motor dengan sang istri yang duduk di boncengan. Mesin motornya baru saja dihidupkan. Keduanya memakai pakaian "dinas" untuk ke ladang. Begitu melihat Mbok Darmi datang, Ndimin mematikan mesin motor. 

"Enten nopo, Mbok?" tanya laki-laki berkumis tipis itu dengan raut heran. Tak biasanya Mbok Darmi pagi-pagi datang ke rumahnya.

Lihat selengkapnya