Dari Syukur Hingga Syakur

Sukma El-Qatrunnada
Chapter #6

Hari-hari Tanpa Bapak

Kehilangan mampu mengubah kehidupan seseorang. Namun, sejatinya kehidupan itu memang tentang datang dan pergi. 

~~~


Sejak kepergian Mbah Tarso, Zaitun melewati hari-harinya seperti biasa. Setiap hari usai sekolah dia bermain bersama teman-temannya, lalu sore hari mandi bersama di belik. Terkadang Zaitun dan teman-temannya juga akan berpetualang ke kebun-kebun untuk mencari rongsokan atau barang bekas. Di kebun-kebun karet mereka akan menemukan botol kaca dan botol plastik bekas cuka untuk mengentalkan getah karet. Biasanya para petani karet menggunakan cuka yang dicampur air untuk mengentalkan getah karet ketika sedang ngangket. Jadi, nantinya karet-karet yang sudah terkumpul pada batok-batok kelapa akan diambil dan dicetak pada wadah atau liang berbentuk persegi panjang yang dibuat di sekitar kebun atau ladang karet.

Barang-barang bekas akan ditukarkan kepada penjual mainan keliling yang biasa disebut tukang kreweng. Disebut tukang kreweng karena mainan-mainan yang dibawanya boleh dibayar dengan barang-barang bekas yang bisa didaur ulang. Tukang kreweng biasanya seminggu sekali datang ke Kampung Jawi.

Selain mencari rongsokan, Zaitun dan teman-teman juga suka mencari kayu bakar bersama. Tentu saja mereka juga akan sekalian mengumpulkan biji kelata. Lalu sesekali mereka akan bermain ke sawah untuk memancing atau sekadar bermain-main. Zaitun paling suka menangkap ikan cetul.

Keseruan bermain dengan teman-teman membuat hari-hari Zaitun selalu dipenuhi warna dan tawa, meski sudah tidak ada lagi seorang bapak di sisinya. Zaitun tidak merasa kesepian. 

Berbeda dengan Zaitun, Mbok Darmi selalu merasa kesepian sejak kematian suaminya tercinta. Mbok Darmi mulai jarang menyadap karet di kebun. Bahkan, tanaman sayur di pekarangan sudah jarang dirawatnya. Perlahan kondisi kesehatan Mbok Darmi mulai menurun. Bukan hanya raga, melainkan kondisi kejiwaannya juga. Apalagi ketika sedang sendiri, dia menjadi linglung.

Perlahan-lahan kondisi Mbok Darmi makin memburuk. Zaitun pun merasakan perubahan perempuan kesayangannya itu. Beberapa tetangga dan kerabat kadang datang ke rumah untuk melihat kondisi Mbok Darmi. Mereka semua merasa kasihan, apalagi terhadap Zaitun. Hampir semua yang datang mempertanyakan keberadaan Lasmi. Seharusnya di saat Mbok Darmi sakit, Lasmi datang. Namun, tak ada yang tahu bagaimana caranya agar bisa mengabarkan keadaan Mbok Darmi kepada Lasmi. Tidak ada yang tahu alamat Lasmi di Jakarta. 

Suatu malam, Zaitun terbangun. Ruangan gelap gulita. Zaitun langsung memanggil Mbok Darmi dengan sedikit teriakan. Dia juga minta agar segera dibuatkan air panas untuk mandi pagi. Zaitun mengira sudah pagi, karena dia biasanya terbangun ketika Subuh. Memang di rumah itu tidak ada alat penunjuk waktu. Selama ini Mbok Darmi menentukan waktu hanya dengan melihat arah matahari.

Biasanya Mbok Darmi terbangun ketika penerangan dari diesel dimatikan. Pertanda sudah jam 12 malam. Namun, malam ini justru teriakan Zaitun yang membangunkannya. Mendengar panggilan Zaitun, Mbok Darmi segera menggendongnya. Sejak Mbah Tarso meninggal, Zaitun memang meminta untuk tidur bersama.

Tak disangka Mbok Darmi justru seperti orang linglung. Dia tak segera menyalakan lampu sentir di meja seperti biasa jika terbangun tengah malam. Dia justru berjalan mondar-mandir sambil terus menggendong Zaitun. Mbok Darmi beberapa kali memutari meja, lalu menuju kamarnya. 

"Turun, Mbok, turun," kata Zaitun mulai ketakutan dengan tingkah Mbok Darmi yang terus berjalan mondar-mandir di kamar.

Lihat selengkapnya