Walau keadaan selalu berubah-ubah, mimpimu jangan sampai patah.
Rawat dan bawa selalu ke mana pun kakimu melangkah.
~~~
Zaitun dibuat takjub dengan keadaan kampungnya yang jauh banyak berubah setelah kepergiannya. Kampung Jawi sudah banyak kemajuan. Sebagian besar rumah kayu sudah disulap menjadi rumah dari batu bata. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah masuk ke kampung. Sejak Kardi datang, rumah Zaitun juga dialiri listrik yang disambung dari rumah Ndimin. Hanya saja rumahnya tetap seperti dulu, berdinding putih dari kayu. Di beberapa bagian malah sudah dimakan rayap. Begitu juga dengan perabotan-perabotan berbahan kayu di dalam rumah.
Kenangan-kenangan masa lalu berkelebat dalam benak Zaitun. Walau tak banyak kenangan yang sanggup dia ingat, tetapi semua itu cukup membuatnya rindu. Merindukan kehangatan yang dulu pernah dia rasakan. Dia harap kehidupannya ke depan akan kembali dipenuhi kebahagiaan dan kebebasan. Tak lupa Zaitun menunaikan janjinya mengenakan kerudung.
Kenyataan terkadang berbanding terbalik dengan harapan. Keadaan Zaitun di kampung halaman sungguh jauh dari bayangannya. Dia pikir setelah kembali ke kampung, kehidupannya akan menjadi semakin baik. Rupanya tidak semudah itu bahagia singgah di kehidupannya.
Begitu memulai kembali tinggal di Kampung Jawi, Zaitun semakin sibuk dengan pekerjaan harian yang begitu melelahkan. Setiap pagi dan sore hari dia ditugasi menyirami tanaman sawit dan cokelat yang baru dua bulan kurang ditanam oleh Kardi di kebun. Dia juga tetap memiliki tugas harian seperti ketika tinggal di kota, membereskan rumah dan mencuci seluruh pakaian anggota keluarga. Pekerjaan mencuci terasa lebih berat karena dia harus menimba air dari sumur. Di sela-sela kesibukannya itu Zaitun juga masih harus mencari kayu bakar. Dia bahkan diminta Kardi untuk belajar menyadap karet di kebun. Sama sekali tak ada waktu untuk bermain-main bagi Zaitun.
Harapan Zaitun untuk bisa kembali berkumpul dengan teman-teman sepermainannya seperti dulu, juga tak bisa menjadi kenyataan. Wulan rupanya pergi merantau dan jarang pulang ke rumah. Jadi, Zaitun belum memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya. Sementara dengan teman-temannya yang laki-laki, Zaitun merasa canggung dan tak berani mendekati. Ya, rupanya waktu satu windu telah mengubah banyak hal.
Saking lelah dengan pekerjaan harian yang tiada habisnya, Zaitun seakan-akan sampai tak ada waktu mengurus diri. Wajahnya tampak kusam dan terlihat lelah setiap hari. Pakaiannya juga terlihat kusam dan tak terawat karena sehari-hari banyak menghabiskan waktu di kebun dan dapur. Zaitun juga sulit mencari peluang untuk bisa bermain ke rumah Astuti dan Martanti. Apalagi ke rumah Mbah Sumi yang lebih jauh jaraknya.
Terkadang keberuntungan besar datang ketika ada warga kampung yang mengadakan hajatan. Adat di Kampung Jawi, jika ada warga hajatan, maka setiap orang akan diundang untuk rewang, mulai dari usia remaja hingga para orang tua yang sudah paruh baya. Maka, terkadang kegiatan rewang dijadikan kesempatan bagi Zaitun untuk menginap di rumah kedua kakaknya. Hal itu juga atas permintaan kedua kakaknya yang meminta izin langsung kepada Listi, karena ketika itu yang sering mengadakan hajatan adalah para warga yang area rumahnya tak terlalu jauh dengan tempat tinggal Astuti dan Martanti.
Perihal sekolah Zaitun, tak pernah sama sekali disinggung oleh Kardi dan Listi. Padahal Diar langsung didaftarkan ke SMP terdekat yang berada di kampung sebelah. Zaitun juga ingin kembali melanjutkan sekolah. Namun, dia tak berani meminta. Dia hanya bisa menunggu Kardi dan Listi membawanya untuk pergi mendaftar sekolah. Namun, kapan hal itu akan terjadi? Sementara waktu kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah terus berjalan. Bahkan beberapa bulan lagi waktu ujian akan datang.
Hingga akhirnya sebuah insiden kecil terjadi. Masalah kecil yang membawa perubahan besar untuk kehidupan Zaitun selanjutnya.