Entah butuh waktu berapa lama untuk memperjuangkan predikat ayah, entah medan perang apa yang harus ia lampaui. Kulit ayah tampak legam bermandikan matahari bertolak belakang dengan buah semangka yang ayah tanam, terlihat segar dan sudah mulai berbuah. Aku berjalan di pematang sawah dengan membawa dua rantang tersusun rapi berisi nasi dan sayur nangka kesukaan ayah hasil masakan Ibu. Hampir saja kuinjak tanaman tumpang sari di sepanjang jalan yang aku lewati. Ayah kulihat masih sibuk mengusahakan jalur irigasi untuk petak sawah yang baru saja dibentuk. Lalu kulihat baju penuh lubang yang dipakaikan pada sebatang kayu melintang seperti tangan orang yang terbentang, diombang-ambingkan angin berharap dapat menghalau burung yang datang menghampiri buah semangka yang sudah mulai terlihat di permukaan.
Dengan berhati-hati kususuri jalan setapak yang memang diperuntukkan untuk satu orang itu, bunyi gemericik air terdengar di kanan dan kiri jalan. Airnya jernih sering kulihat ada ikan kecil berenang di dalamnya. Langit pun sedang cerah, gunung Merbabu tampak berdiri kokoh dari kejauhan. Sebentar lagi sampai di saung kecil di tengah sawah yang sengaja dibuat ayah untuk sekedar beristirahat saat dirinya sudah terlalu lelah atau seperti saat ini, makan siang bersama istri atau salah satu anaknya dan kebetulan hari ini yang mengantar makan ayah adalah tugasku.
Ayah turut membalas melambaikan tangannya begitu melihatku melambaikan tangan ke arahnya, berteriak meminta untuk segera beristirahat. Ditinggalkannya pacul dan dikenakannya baju putih yang sudah bertahun-tahun dikenakannya hampir setiap hari.
Tangannya yang kotor dengan tanah dicucinya pada air mengalir yang melewati pematang sawah kami, lalu kemudian menghampiriku dengan senyum lebar di wajahnya, seperti baru bangun tidur, sama sekali tidak terlihat lelah. Kuambil tangan kanannya dan kuletakkan di dahiku.
“Ayah, Ibu masak sayur gudeg kesukaan ayah.” kataku riang.
“Wah, makan enak kita hari ini ya Ani.” tawa ayah menemani tawaku.
Kusiapkan nasi sepiring penuh dan kusisakan sedikit untuk tempat sayur sehingga ayah mudah menyantapnya.
Dan benar saja dugaanku, dalam hitungan menit nasi yang ada di dalam piring lenyap entah kemana sementara nasi di dalam piringku masih belum habis setengahnya.
“Makan itu harus cepat supaya kamu kerjanya juga cepat.” Ayah tertawa melihat mataku membesar melihat piring ayah kosong dalam hitungan tidak sampai lima menit.
“Masalahnya bukan di waktu, Ayah, tapi mulut Ani tidak sebesar mulut ayah.” kataku berusaha menjelaskan.
Ayah tertawa mendengan penjelasanku sambil mengacak-acak rambutku lalu turun dari saung. Kudiamkan dan ikut tertawa bersamanya.
Dinyalakannya sebatang rokok dan pergi menjauh dariku. Tetapi tidak cukup jauh hingga masih bisa melihat dan mendengar suaraku yang kata orang hampir tidak terdengar.
“Kamu kenapa tidak mau sekolah Ani?” ayah bertanya padaku sambil mengeluarkan asap rokok dari kedua lubang hidungnya.
“Mas aja yang sekolah Yah, Ani bantu Ibu saja di dapur. Kalau Ani sekolah Ibu siapa yang bantu?”
“Ayah masih mampu menyekolahkan kamu sama Mas-mas mu. Kamu jangan kuatir.” kata ayah sedikit berteriak, mungkin kuatir suaranya tidak terdengar.
Ayah seolah paham bahwa aku tidak mau memberi beban kepada kedua orang tuaku dengan keinginan yang ini itu.