Agak ke tengah sedikit berani tidak?” tanya temanku Sri
“ Arusnya sedang deras, aku tidak berani.” Kataku sedikit berteriak
“ Payah kamu, aku saja kalau begitu.”, kata Sri sambil berjalan melompati batu demi batu. Entah darimana datangnya keberanian itu, aku saja yang melihatnya seperti hendak menarik tangannya dan membawanya kembali ke bibir sungai tapi aku tahu dengan sifat Sri yang keras melebihi batu sungai, aku hanya membuang-buang tenagaku.
“ Aku mandi di sini saja.” Kataku mencari batu yang biasa aku duduki setiap aku mandi disini.
Bulan ini seharusnya akan sering hujan, tapi dalam minggu ini baru dua kali hujan. Anita memberanikan diri untuk mandi di sungai yang airnya jernih itu bersama dengan Sri.
“ Ani, kamu sudah pernah ke Jakarta belum?” Sri bertanya dengan suara agak keras memastikan suaranya tidak kalah dengan aliran sungai.
“ Belum Sri. Kamu?” tanyaku
“ Aku mau berangkat besok Sabtu dengan Bapakku Ni.” Kata Sri dengan nada senang. Aku tidak sempat melihat wajahnya karena sibuk membenarkan jarik ku.
“ Wah, senangnya. Ya mbok aku dijak.” Balasku menggoda Sri walaupun aku sadar pergi ke Jakarta adalah sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi di hidupku.
Sri pun menyadari itu lalu kami berdua pun tertawa.
Setelah cukup lama kami menghabiskan waktu bermain di sungai, Sri kemudian kembali menghampiriku dan mengajakku pulang yang segera kuiyakan.
“ Malam ini kamu mau ikut nonton wayang di rumah Pak Carik” tanya Sri kepadaku.
“ Aku belum tau Sri. Kalau Masku mengijinkan mungkin aku bisa ikut mereka. Kamu ikut?” aku bertanya balik.
Sri menjawab pertanyaanku dengan mengangguk. Enaknya jadi Sri, sepertinya dia bebas melakukan apapun yang dia mau tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari siapapun. Tidak sepertiku yang berjalan satu senti dari rumah harus mendapat ijin baik ayah, Ibu atau kakakku. Mungkin karena Sri anak sulung dan orang tuanya sibuk mengurus ke empat adiknya yang masih kecil-kecil.
Dan aku kurang begitu mengerti kenapa Sri menginginkan kehidupan yang aku jalani.
“ Kamu enak, banyak yang sayang. Sementara Ibuku mungkin lebih sering kehilangan sendok daripada aku.”, katanya tertawa saat aku mencurahkan kekesalanku saat ayah melarangku pergi bermain selepas Magrib.
“ Kalau aku jadi ikut, aku nanti cari kamu di sana. Dudukmu pasti paling depan to?” kataku saat kami berpisah jalan. Dijawab dengan tawa riang khas Sri. Tidak pernah bersedih, selalu membuat orang tertawa, ada saja polahnya. Sri lebih tua 2 tahun dariku. Wajahnya ayu tapi perangainya seperti laki-laki, kuat dan tidak mudah dikalahkan. Sering kulihat dia berdebat atau berkelahi dengan laki-laki yang mengganggunya ataupun mengganggu teman wanitanya. Mungkin karena dia tidak punya tempat untuk mengadu sehingga mau tidak mau dia hanya punya dirinya sendiri untuk dia andalkan.