Dari tempatku berdiri

Martha Melank
Chapter #4

Sri dan Mas Arifku

“Sudah sampai mana ceritanya?” tanyaku setengah berbisik menghampiri Sri yang sedang serius menonton pertunjukan wayang malam itu dalam kisah Puntadewa.

“Raden Seta jadi bayi kembali atas permintaan Raja dan Ratu. Dia menyusut dan terbagi menjadi 3 bayi demi meneruskan keturunan kerajaan Wirata.” jelasnya dengan mata tetap menatap pada panggung yang dilatari kain putih dan lampu yang menerangi sisi kanan dan kiri yang sengaja dibuat gelap.

Aku berusaha membuat Sri menoleh dan melihat penampilanku malam ini. Disadari atau tidak wanita seringkali berkompetisi dengan wanita lain, bukan dengan pria. Wanita seringkali berdandan untuk wanita lain bukan untuk pria. Karena pria tidak terlalu peduli dengah hal-hal yang tidak penting. Persaingan antar wanita terkadang lebih menakutkan, jika terlihat lebih cantik diantara teman-temannya ada kebanggaan tersendiri. Akupun seringkali demikian. Berdandan hanya demi mendapatkan pujian. Seperti malam ini, aku ingin menunjukkan kepada Sri bahwa aku cantik.

“Sri, kita duduk agak di tengah saja. Disini terlalu dekat, telingaku sakit dengar suara gending.” kataku mengajak Sri berpindah posisi.

“Sudah disini saja. Sudah pas. Ini lagi seru An. Kamu mbok meneng o.” jawab Sri tanpa menoleh malah menyuruhku untuk diam.

“Sri, hari ini aku pakai gincu Ibu.” bisikku ke telinga Sri, khawatir di dengar laki-laki yang duduk di sebelahnya.

Sri menengok sebentar kemudian matanya kembali tertuju pada lakon wayang yang sedang dinikmatinya tanpa mempedulikan warna bibirku yang mejadi lebih merah malam ini. 

Kesal mendapat respon yang tidak sesuai dengan harapanku, kutekuk wajahku. 

“Cantik.” Sri berkata tanpa menoleh. Mungkin paham akan perasaannya yang haus akan pujian. 

Wajahku seketika kembali ceria dan tanpa sadar memeluk badannya yang tidak kecil itu. 

“Sudah to, yang tenang, kita kan ke sini mau nonton wayang.” perintahnya dengan suara setengah ditahan.

“Aku ngga terlalu suka. Tidak seperti kamu.” jawabku sambil melayangkan pandanganku ke kanan dan ke kiri, mencari mata yang aku kenal.

Sri hanya menggelengkan wajahnya melihat tingkahku. 

Prabu Puntadewa kagungan pusaka arane jimat kalimasada. Prabu Puntadewa kena diarani manungsa setengah dewa, kayata Getihe putih, Sipate sabar, ora kagungan mungsuh, lan tansah tresna marang karukunan.” suara ki dalang terdengr dengan jelas di telingaku. 

Cerita Puntadewa ini sebenarnya menarik. Dari semua tokoh Pandawa Lima, Puntadewa karakternya paling aku suka. Dengan semua kelebihan yang dia miliki,sabar, bijaksana, cinta damai, ada satu sisi gelapnya yang di kemudian hari merugikan dirinya sendiri, yaitu berjudi. Ternyata memang tidak ada yang sempurna ya, bahkan cerita wayang yang entah darimana asalnya itu juga dibuat untuk menyadarkan kita bahwa tidak ada yang sesempurna Sang Pencipta. 

Ada tiga sinden dengan kebaya berwarna hijau. Tampak cantik dan anggun, duduk dengan anggunnya tidak jauh dari layar putih. Ingin sekali aku bertanya bagaimana caranya berhias sehingga tampak berbeda dari wajah aslinya. Entah kenapa aku suka sekali melihat riasan. Ingin rasanya cepat besar sehingga dapat mencoba semua alat rias yang saat ini hanya bisa kulihat saja, kecuali gincu bibir Ibu yang baru aku tau cara penggunaannya sebulan yang lalu. Aku sesekali melihat butiran berwarna putih kecoklatan yang Ibu simpan dengan baik di dalam bungkusan kertas yang dilipat dan diletakkan di dalam laci bersebelahan dengan gincu merah kesukaannya yang jarang sekali dia pakai.

Lihat selengkapnya