Tanganku tertumpu pada kertas putih milik kakak keduaku, Mas Anto. Dengan tinta bekas yang masih bisa digunakan aku mencoba mencontoh bentuk yang disebutnya abjad. Ada lima abjad yang harus kuikuti bentuknya. Abjad pertama membentuk seperti lingkaran dengan ekor kecil dibawahnya. Satu baris berisi sepuluh deret dengan bentuk yang sama. Lalu dibawahnya garis lurus dengan titik di atasnya. Baris ke tiga dua garis lurus yang saling berhadapan lalu dihubungkan dengan lengkungan di bagian bawahnya. Baris ke empat lengkungan terbuka yang ditutup bagian atasnya dan baris terakhir lingkaran kecil. Total ada lima abjad yang harus kuikuti bentuknya. Kata Mas Anto itu namanya huruf hidup. Huruf yang berdiri sendiri. Ketika dilafalkan tidak ada abjad lain yang mengikutinya. Seperti itu penjelasan yang kuterima darinya. Mas Anto tidak mau mengajari aku melafalkannya sebelum aku selesai menyalin kata yang dia contohkan di tiap barisnya.
Dengan hati-hati kuikuti saja bentuknya. Targetku adalah menyelesaikan tugas. Aku tidak mau sibuk memikirkan apa sebenarnya yang sedang aku kerjakan ini. Toh nanti juga dijelaskan, pikirku. Yang penting bentuknya sama dulu dan selesai.
Baris ke dua kuselesaikan dengan cepat. Sekarang mencoba menyelesaikan baris ke-tiga.
Mas Anto duduk disampingku berbagi cahaya lampu minyak yang di bagian bawahnya diisi dengan minyak tanah. Kami tidak nyalakan kalau tidak terpaksa. Apalagi di situasi sulit seperti sekarang, minyak tanah adalah barang langka. Tapi kami sudah meminta ijin Ibu untuk menggunakan lampu minyak hari ini.
“Jangan terlalu lama, diirit-irit.” begitu katanya ketika aku meminta ijin tadi.
“Buku apa itu Mas?” tanyaku memperhatikan sampul buku berwarna coklat yang sedang dibaca oleh Masku.
“Ini kumpulan puisi. Nanti kalau sudah bisa membaca Mas pinjamkan.”, jawabnya dengan tidak melihat wajahku.
“Puisi itu apa?” tanyaku sambil mataku sibuk menyamakan bentuk dari abjad terakhir yang coba kuselesaikan.
“Puisi itu susunan kata yang tidak membosankan untuk dibaca.” katanya singkat.
“Sudah selesai?” tanyanya tidak lama setelah menjawab pertanyaanku tadi.
Aku mengangguk, memalingkan wajahku ke arah wajahnya yang sedang mengamati tulisanku kemudian beralih melihat wajahku dan kemudian tertawa terpingkal-pingkal.
Merasa sudah menjalankan perintah dengan benar aku kebingungan melihat polahnya.