“Ayok cepat Mas, nanti keretanya keburu berangkat.” kataku kepada Mas Arif yang sedikit kupaksa mengantarku menemui Sri.
“Sabar to An. Ini sudah yang paling cepat. Memang Sri mau kemana? Apa nanti ndak ketemu lagi?” tanya Mas Anto.
“Itu yang aku ndak tau.” jawabku.
“Jadi itu yang membuatmu panik? Ketidaktahuan?” tanya Mas Arif.
“Sepertinya begitu. Aku lupa menanyakan kapan ia kembali jadi aku merasa harus menanyakan itu karena aku tidak mau setiap hari menunggu tanpa tahu sampai kapan.” jelasku dengan nada cemas.
“Kalau begitu kenapa kamu merasa kamu perlu menunggu?” balasnya.
Aku terdiam memikirkan jawaban bukan untuk Mas Arif tetapi untuk diriku sendiri.
Mencari-cari alasan apa yang membuatku menunggu kepulangan Sri sementara kepergiannya aku ikhlaskan.
Kembali kusadari tingkahku yang kata Mas Arif seringkali bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
“Mungkin karena aku pikir aku ikhlas dengan kepergiannya.” Kataku, entah karena tidak menemukan jawaban yang lebih baik dari ini atau karena waktunya terlalu sedikit untuk berpikir lebih dalam.
“Selama kamu masih menyebut dirimu ikhlas artinya kamu belum benar-benar ikhlas.” Mas Arif tertawa mendengar jawabanku.
“Iya, sepertinya aku harus berlatih untuk itu. Aku masih berharap sahabatku itu kembali walau mungkin tidak dalam waktu dekat.” Jawabku pelan.
Pagi itu matahari bersahabat, tidak terlalu panas. Hamparan hijau di kanan dan kiri jalan yang kami lalui. Perjalanan menuju halte Modjo, begitu kami menyebutnya. Kurang lebih 1 jam dengan sepeda. Mas Arif berbaik hati meluangkan waktunya untuk mengantarku menemui Sri.
“Terima kasih ya Mas mau memenuhi permintaanku dan bikin kamu repot.”
“Kan aku yang menawarkan diri untuk mengantar padahal aku tahu kamu sudah bisa mengendarai sepeda ini sendiri. Jangan mudah meminta maaf nanti maafmu akan tidak ada nilainya.” Suara Mas Arif berlomba dengan suara angin.
Matahari pagi itu hangat, menemani kami menyusuri jalan setapak, melewati sawah-sawah yang hijau membentang. Tampak beberapa orang sibuk dengan bibit padi dan menanam di dalam tanah yang sudah mereka airi sebelumnya, Saat ini aku berada di masa depan. Aku bertanya-tanya 100 tahun lalu apa yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Siapa yang menemukan cara menanam padi untuk pertama kali. Kami mengenal bercocok tanam dari ayah kami, dan ayah kami dari ayahnya pula. Lalu kenapa padi? Kenapa tidak tanaman lain? Dari sekian banyak pilihan kenapa padi yang dipilih untuk dihasilkan dalam jumlah banyak. Kenapa tidak singkong, ubi atau talas?Aku diam cukup lama dan sibuk dengan pikiranku sendiri sambil mataku lalu lalang memandang sekitarku sampai Mas Arif membangunkanku dari lamunanku.
“Mesti sedang berpikir. Kali ini apa yang kamu pikirkan?” tanya Mas Arif sambil mengayuh sepeda.
“Mas tahu saja. Aku sedang memikirkan kenapa padi yang menjadi makanan pokok kita. Kenapa tidak kentang, singkong atau umbi-umbian lain? Toh sama-sama membuat kenyang.” tanyaku sambil tertawa menertawakan tingkah Mas Arif yang sudah hafal dengan kebiasaanku.
“Seperti tidak ada hal lain yang lebih penting untuk kamu pikirkan to An. Seperti nanti kalau sudah dewasa kamu ingin hidup yang seperti apa? Ini kok malah mikirin padi.” jawab Mas Arif menggodaku.
“Nanti saja itu aku pikirkan Mas.” balasku