Sepasang manusia menginjak tanah di tempat yang sama sekali berbeda. Kaki yang halus tanpa urat menonjol itu memijaki hamparan tanah yang tandus. Sedang kaki kekar penuh urat berpijak di daun rumput dan air. Hari yang sama di suasana yang beda. Di hamparan tanah yang tandus baru saja matahari terbenam, dengan seorang yang—benar-benar seorang—berdiri kebingungan. Sedang di rerumputan yang menunggu hangatnya cahaya berdiri seorang yang—juga benar-benar seseorang—mematung tak mengerti. Walau jauh dan hampir tak ada persamaan, mereka tetap memiliki persamaan sebagai seorang yang benar-benar seorang. Angin, bulan, matahari, air, tanah, awan, gunung, pohon dan segala yang ada menyaksikan sekaligus menyambut kedatangan mereka. Tunduk dengan penghormatan yang sunyi dan hening. Instrumen reranting dan gesekan dedaunan dimulai. Tak lupa pasir bernyanyi dipandu angin. Kupu-kupu pagi berdansa, sebelum menuju ke bunga-bunga yang berbahagia dengan terpaan cahaya, juga menyambut ceria.
Hanya itu sebagai permulaan, di mana segala cerita, sejarah, hukum alam, ingatan bahkan waktu mulai bisa dikendalikan. Raja bumi masih hewan liar, tapi akan segera tunduk sebagai saksi sejarah. Itulah waktu saat-saat rumah pertama didirikan, makanan pertama dimakan, dan cerita pertama dimulai. Cerita dengan dua sisi yang berbeda seperti mata uang. Walau kemudian akan banyak sekali hal mitos dan menakjubkan yang sampai pada waktu demi waktu. Hingga awal dan akhir tak bisa dibedakan.
Mulai saat itu, ingatan lebih penting dibanding hal apa pun. Tidak ada buku yang akan merangkum cerita tersebut. Tak ada peninggalan yang bersifat materi untuk menyatakan keberadaan awal mereka, hanya ingatan, itu saja. Sebab piramida belum dibangun, gunung belum mereka taklukkan. Lautan masih terlalu agresif dan pemarah untuk diselami. Gelombang serta gigi ikan yang serakah menganga di mana-mana.
Kisah mereka bukan sekadar petualangan lalu terjebak menjadi yang pertama di muka bumi. Yang memiliki kaki kekar dengan urat biru tanpa alas berteriak seakan mengoyak pepohonan. Yang memiliki kaki lembut, bisu, seakan menyuruh diam angin yang risau. Lalu pertanyaannya, dari mana mereka berdua datang dengan sisi yang berbeda tapi memiliki kesamaan? Apakah dunia seabstrak rasa dan sekadar angan lalu tak perlu dicicipi asal-usulnya? Dua sosok itu adalah awal dari akhir dan akhir dari awal. Aku di sini sebagai pencerita, tak akan banyak komentar, apalagi membawa keaku-akuan untuk menghakimi jalannya cerita. Aku tak menjadi apa-apa, selain sebagai saksi untuk kehidupan agar terus berjalan melingkar seperti jam yang tak ada akhirnya, berputar mencari angka untuk berhenti. Hanya sebagai pencerita, jadi jangan salahkan aku dengan kejadian-kejadian yang sudah tertuliskan. Silakan dengarkan dengan saksama. Kalau kalian penasaran dari mana aku mendapatkan kisah ini, maka tanyakanlah pada akhir dari cerita ini.