“Keadaan berubah, zaman melaju begitu cepatnya. Tak terasa, sama tak terasanya ketika seseorang menghirup udara.” Are bergumam seraya memikirkan kalimatnya.
“Tentang perubahan, tentang waktu yang terabaikan. Sekarang abad ke berapa? Alat paling canggih berterbangan di mana-mana. Serba instan, tidak membutuhkan tenaga banyak.”
Kehidupan di kota kecil itu baru dimulai setengah jam lalu. Walau tak ada kesibukan yang benar-benar berarti.
Pagi, di bukit belakang sekolah, Are menunggu Len. Bukit itu tetap asri, dengan pohon rindang seadanya, rumput subur—juga seadanya. Beberapa burung masih dapat dijumpai di bukit itu, tidak terganggu dengan keramaian, hanya beberapa jenis. Padatnya penduduk bumi membuat kelestarian alam berkurang. Tapi bukan masalah bagi kota kecil itu. Hari tetap menyenangkan tanpa burung. Are, hanya dialah yang peduli kelestarian itu, memandang prihatin kotanya, alam yang terus sesak. Harus ada perubahan, pikirnya. Walau pulau dan kehidupan berpetak-petak tampak mengagumkan di atas sana. Itu tak berarti harus tetap sama setiap harinya.
“Rekor yang buruk untuk pagi ini.” Len yang baru datang langsung mengambil topik pembicaraan begitu saja.
Are tidak perlu menoleh, sudah hafal betul dengan kehadiran Len. Gadis itu memang selalu begitu, bukan menyapa, tapi langsung pada apa yang dipikirkannya.
“Jalanan macet total, entah ada apa, tak pernah terjadi sebelum-sebelumnya, aku terpaksa mengambil jalan pintas. Bagaimana, ada perkembangan?” Len mendekati Are yang duduk di batu tempat biasa dia mengamati keramian, kota selalu tampak mengesankan dilihat dari ketinggian.
“Belum, bahkan sekarang kita akan memulainya dari awal. Ada informasi baru yang mungkin menarik hatimu.” Are berhenti sejenak, memang inilah tujuan dia menghubungi Len tadi malam, yang membuat Len penasaran karena Are bilang rahasia.
“Lupakan misi perubahan itu, bagaimanapun akan sangat sulit menegakkan hukum di kota yang tak berhukum.”
Itu penjelasan Are yang pertama, seperti biasa, Len pasti akan membahas hal itu, mengapa proyek penegakan hukum yang kemarin mereka tetapkan harus dihapus, berubah misi? Sebelum Len mengajukan pertanyaan itu, Are lebih dulu menjelaskan.
“Aku menghubungimu karena ada satu hal yang satu orang pun tidak boleh tahu. Ikut aku.” Are berjalan menuruni bukit, mendekati bongkahan batu yang persis berada di lereng bukit itu.
Len mengikuti langkah Are dalam keadaan tak mengerti. Masih dengan tingkah santai, tak ada guratan penasaran di wajah Len yang cerah, secerah pagi ini. Malah dia menatap cuek Are yang berdiri tepat di atas batu itu, tak mengerti. Pengertian itu datang tanpa penjelasan, Are menyentakkan kakinya, terdengar gemuruh di bawah sana. Batu itu bergeser, bersamaan dengan tubuh Are yang masih berdiri tenang di atasnya. Len yang sebelumnya memerhatikan tak peduli terperangah, segera mendekat.
“Bagaimana bisa? Bukit yang sering kita kunjungi mempunyai lubang sebesar ini? Secanggih itu?” Len berucap, tak percaya dia mendapati hal seperti itu di tempat yang sering mereka pijaki.
“Aku tak bisa menjelaskan secara lengkap padamu. Tapi inilah tujuanku, kau akan mendapatkan penjelasan setelah memasukinya. Silakan, perempuan duluan,” ucap Are. Itu penjelasan terakhir, yang nanti akan dilanjutkan oleh seseorang.
Len menggeleng seraya berjalan memasuki lubang itu. Tidak sulit, terdapat tangga besi yang tertanam di dinding terowongan itu. Are menyusul setelah memastikan kaki Len menyentuh dasar lubang. Tangannya yang sedari tadi bersembunyi di balik jaket itu mulai terjulur keluar, menyusul Len.
***
Lubang itu memiliki terowongan yang terus mengular ke perut bukit. Bongkahan batu yang terhampar di atas sana menutup dengan sendirinya, bersamaan dengan terangnya terowongan yang Are lewati. Len terkesan dengan pemandangan perut bukit yang dia dapatkan, diluar dugaan. Len kira Are meneleponnya berulang-ulang tadi malam hanya sekadar keperluan biasa, kebiasaan Are yang kalau tidak ada kerjaan mengganggu waktu lengangnya. Sekarang pertanyaan tadi malam itu terjawab sudah, walau tidak terjawab secara keseluruhan.