Dari Timur Jauh | From the Far East

Ali Mukoddas
Chapter #3

Bagian 2

Desing pedang terdengar ganas mengiris udara. Suasana riuh. Lenguh kekalahan dan seruan meringis segera memenuhi telinga siapa pun yang berada di tempat itu. Di tengah pertempuran yang maha dahsyat, terdapat kapsul putih dengan bagian atas terbelah. Tak ada yang menghiraukan benda itu, semua sibuk dengan lawan masing-maising. Di sela-sela kaki yang beradu, Are merangkak gencar seraya panik. Dia tidak tahu urusannya akan seperti itu. Berada di manakah dia? Suara dengan nada tinggi yang terdengar dari arena pertempuran tidak Are mengerti. Terus menepi, itu yang dia lakukan, hingga sebuah tangan menarik kakinya dengan kasar, menyeret Are untuk kembali ke tengah-tengah kegaduhan.

Masih tak ada yang sadar akan penampilan Are yang berbeda. Kalau saja tidak dalam keadaan seperti itu, mereka yang memerhatikan akan mengerutkan dahi. Siapa pemuda dengan pakaian aneh itu? Dari mana dia? Akan banyak sekali pertanyaan yang ada. Tapi dalam keadaan sibuk, kadang seseorang lengah untuk meneliti sesuatu yang berarti. Masih dalam keadaan merangkak, Are kembali masuk ke dalam kapsul, menutup belahannya serapat mungkin, dan saat itulah peperangan berhenti. Semua mata tertuju pada benda aneh dengan orang terkurung di dalamnya.

“Silakan katakan kalau kau sudah siap ke tempat berikutnya karena sudah mendapatkan sesuatu di zaman ini. Atau kita kembali melanjutkan perjalanan?”

Mesin itu seharusnya menawarkan pilihan, bukan memerintah pergi pada waktu tertentu. Are mengeluh dalam, selain tidak tahu tempat kedudukannya sekarang di mana, dia tidak tahu bahasa mereka. Sekarang berpasang-pasang mata memandangnya, mengetuk kaca dengan hulu pedang. Berseru-seru dengan bahasa yang lagi-lagi tidak Are mengerti.

“Aku tidak mengerti bahasa mereka, sebenarnya kita ada di mana?” Are mencoba bicara dengan kapsul.

“Tekan logo plus pada layar. Penerjemah bahasa dalam waktu cepat.” Benda itu berkomunikasi, Are tidak menyadari hal itu, baru ingat pesan Hamster ketika benda itu mengeluarkan suara penerjemah bahasa. Sebelum mengajak Len ke tempat Hamster, saat Are bertemu untuk yang kedua kalinya, Hamster menjelasakan kelebihan benda itu, yang dilengkapi segala kebutuhan, disesuaikan dengan zaman di mana benda itu berada. Benda itu bisa diajak bertukar pikiran, dengan program tercanggih di masa depan. Hamster menambah kelebihan tersendiri, salah satunya ramuan penyesuaian bahasa. Kapsul menyebutnya penerjemah. Are tersenyum mendapat penerangan hal itu.

“Sekarang, apa yang harus aku ambil dari tempat ini?”

“Carilah seorang prajurit perang. Kau harus mengambil air keabadian darinya.”

“Bagaimana aku bisa mencari seorang prajurit dari beribu prajurit yang ada? Bisakah kau sebutkan bagaimana aku bisa melakukannya dengan cepat, dengan tepat dan baik tanpa terluka?” Are sedikit panik dengan pertanyaannya.

“Kau akan bertemu dengan orang itu. Dia seorang prajurit yang baik dan mudah mengenali seseorang. Prajurit itu beda dari pada yang lainnya. Kalau kau memandanginya dari kerumunan prajurit, dia akan terlihat berbeda di matamu. Obat yang tadi kuberikan juga mendeteksi orang berpengaruh di zamannya. Silakan, anda bisa keluar sekarang.”

Kapsul membelah dengan oksigen meluap putih seperti kabut. Para prajurit perang mundur tunggang langgang, seperti ada raja perang mengamuk. Are keluar dari balik kabut yang ditimbulkan kapsul, sedang kapsul itu sendiri mengubah dirinya menjadi transparan. Kegaduhan yang terhenti itu membuat para panglima berkumpul seperti ada kesepakatan baru untuk penyelesaian perang darah. Mata-mata nyalang menusuk sosok Are. Are mengangkat tangan. Kebanyakan dari yang menatap mengerti, bahwa mengangkat tangan berarti orang itu telah menyerahkan diri.

Are segera mengerti percakapan mereka setelah tadi sebelum keluar dari kapsul meminum air penerjemah. Kejadian yang cukup singkat. Kepala Are tiba-tiba pening. Gelap. Ada yang membentur kepalanya dengan hulu pedang yang terbuat dari tulang. Are tersungkur di tandusnya tanah. Hidungnya mengendus sesak putihnya padang pasir. Angin bertiup kencang menerbangkan bulir halus pasir, membuat para prajurit lain menutup penglihatannya dengan kain.

Perang usai begitu saja. Are segera terpangku di atas punggung kuda putih, terikat ke pelana. Tidak jelas siapa yang telah menaikkannya ke atas hewan berlari cepat itu. Ada seorang prajurit yang memegang tali kekangnya. Are tetap tak sadarkan diri, hingga pada paruh perjalanan ada badai pasir yang membuat rombongan itu harus berhenti. Are terbangun dengan mata mengerjap-ngerjap. Matanya terasa silau. Hal pertama yang dilihatnya adalah seorang pemuda dengan wajah keras dan mata tajam menyala. Perawakan yang tegas. Tapi Are tahu bahwa orang di hadapannya masih muda, paling tidak seumuran dengan usianya sekarang.

“Menunduk. Berlindung pada balik hewan-hewan yang ada. Tutup kepala kalian dengan kain!”

Are mengerti bahasa lantang yang diserukan berulang-ulang itu. Pemuda yang ada di hadapannyalah yang memandu prajurit lain agar berlindung. Are mencoba untuk tidak membuka percakapan pada keadaan yang demikian.

Ada sehelai kain yang segera menutupi kepalanya. Dalam beberapa detik yang singkat, badai pasir segera menutupi tubuh mereka. Menunggu beberapa menit. Hingga badai itu selesai menimbun tubuh yang bagian atasnya bersembunyi.

“Siapa namamu?” Itu adalah kalimat pemuda yang menahan Are. Dia bicara di balik kain, kepalanya bersandar pada kuda putih itu.

“Are, namaku Are. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Are bertanya tapi tak ada jawaban. “Kau seorang panglima?” lanjutnya.

“Banyak hal yang terjadi. Kita tunggu sampai badai ini berlalu, lalu aku akan melepaskanmu.”

“Kau belum menyebutkan namamu,” protes Are.

Pemuda itu segera menepuk tubuh kuda yang disandarinya. Kuda itu segera berdiri, dan dia melepaskan kain penutup kepala yang melindunginya dari badai. Are tak bergerak, ada sesuatu yang ganjil di benaknya. Raut wajah pemuda yang ada di hadapannya sungguh tanpa sadar telah membuatnya ingat sesuatu.

“Ayolah. Kita harus bergegas sebelum matahari terbenam. Keadaan di tempat ini akan berubah dingin, tentu tidak menyenangkan istirahat dengan suasana seperti itu.” Pemuda yang belum menyebutkan namanya itu segera menaikkan Are ke atas punggung kuda.

“Apa kau senang dengan keadaan seperti ini?” Are mencoba berbicara, memancing percakapan berikutnya.

Tetap tak ada respons dari pemuda itu. Dia tetap fokus melangkah. Memandangi jalannya rombongan. Sesekali melihat matahari yang mulai merendah ke ujung barat.

“Kau senang dengan perang?”

Perkataan are dijawab dengan tatapan oleh pemuda itu. Wajah yang tampan untuk ukuran seorang prajurit. Sangat dermawan dan berkarisma. Are malah berpikir mungkin dialah orang yang dimaksud kapsul. Seorang prajurit yang berbeda dari pada prajurit yang lain. Are ingat kalimat terakhir kapsul yang mengatakan, bahwa orang yang akan ditemuinya itu memberinya sebuah jalan untuk penyelesaian misi pertamanya.

Are diam tidak berkata-kata lagi. Dirinya mencoba menikmati perjalanan yang tidak pernah dia lewati sebelumnya. Suasana yang aneh. Belum beberapa hari lamanya, Are sudah merindukan suasana kota kecilnya. Sebenarnya tidak pada kota kecil itu, tapi pada seseorang yang selalu menemaninya. Apa kabar Bulen, gumam Are.

“Namaku Alya. Kau sebut saja begitu.”

Setelah beberapa lama diam, akhirnya pemuda itu menyebutkan namanya. Are melongo, mengalihkan pandangannya pada pemuda yang memegang kuda putihnya.

“Aku tidak begitu suka dengan orang yang banyak tanya. Diam lebih baik. Kalau sesuatu harus disampaikan, itu akan disampaikan pada waktunya. Kuharap ini menjadi perhatian.”

Pemuda itu menatap Are. Matahari sebentar lagi terbenam, membuat siluet kekuning-kuningan yang menutupi pandangan saat melihat ke arah barat. Are menyipitkan mata demi melihat raut wajah pemuda itu. Tampaknya suasana hati pemuda itu mulai membaik.

“Tentang perang ini. Bagaimanapun harus terjadi. Sudah ketentuan alam. Kami merebutkan kekuasaan, sumber daya alam, dan tentu saja keadilan. Selalu ada hal kontra di dunia ini. Kau ada di pihak siapa hingga menanyakan apa aku senang dengan perang?”

Pemuda yang bernama Alya itu mempercepat laju kuda. Semua prajurit bergegas. Benteng kerajaan sudah terlihat, tinggal beberapa mil lagi.

“Aku tidak berada di pihak siapa pun. Maksudku, aku tersesat di sini. Cukup panjang kalau kuceritakan. Dan kau, atau orang yang ada di masa ini tidak akan percaya dengan apa yang aku ceritakan.”

“Kau cepat sekali mengambil kesimpulan,” potong Alya.

“Maksudku,” ucap Are mencoba memperbaiki kalimat yang akan disampaikannya. “Maksudku ini semua di luar akal pikir manusia. Baiklah, aku ini dari masa depan. Aku terhenti di masa ini dengan satu tujuan.”

Lihat selengkapnya