Dari Timur Jauh | From the Far East

Ali Mukoddas
Chapter #4

Bagian 3

“Menurutmu, mengapa aku juga terlibat dalam perjalanan tak jelas ini?” Len berucap.

“Ini bukan perjalanan tidak jelas, Len. Aku tidak bisa menebak kenapa kau terlibat? Baiklah, walau pun tidak jelas, yang jelas aku memiliki teman sekarang. Tapi aku ragu kau akan membantu. Kuharap kau tidak memperumit keadaan.”

“Memang aku seperti orang yang memperumit keadaan? Bukankah di setiap pelajaran kau tahu? Aku tak pernah melihat jawaban orang lain. Aku rumit?”

“Bukan begitu maksudku, Len. Sekarang, kau ceritakan sajalah kejadian sebelum pergi. Apa yang terjadi di tempat Hamster?”

“Aku ragu kau akan memercayaiku.” Kali ini Len dengan wajah masam berpaling. Seperti mengulang kembali kalimat tidak percaya Are.

“Kau akan memperumit keadaan? Ayolah, Len. Tinggal beberapa perjalanan lagi.”

“Kau tidak usah memikirkan perjalananmu. Aku sudah tahu semuanya. Kebusukan Hamstermu itu, proyek dari masa depannya dan, yang tak habis pikir, rupanya dia hanya mempermainkanmu. Dia memperalat kamu, Are. Atau dia memperalat kita.”

Kali ini Are tak menanggapi. Dia tersenyum, lalu tertawa. Len mengerutkan kening. Tidak biasanya Are menanggapi hal serius seperti itu dengan tawa. Begitu pikir Len. Perjalanan mereka memang tidak seberapa kalau diukur dengan apa yang harus dilakukan setelah menerima perintah Hamster. Masih tinggal beberapa perjalanan yang rumit, dan bahkan tidak ada dalam daftar mereka akan melakukan apa, sebab data jelasnya ada dalam Kapsul.

“Kau tertawa?”

Jelas Are tertawa. Tapi yang dimaksud Len, tawa Are terkesan dibuat-buat. Mungkin Are tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi.

“Tidak, aku tidak tertawa. Len, aku sudah tahu apa rencana Hamster. Terkesan lelucon memang. Tapi aku tak percaya. Kau percaya kalau seseorang bisa masuk surga tanpa melalui kematian? Kau percaya kalau manusia bisa menjadi abadi? Kita turuti saja. Aku punya rencana lain. Kalau sebelumnya kita berusaha menegakkan keadilan di kota dan akhirnya kosong, sekarang kita mulai hal lain. Aku sendiri melakukan perjalanan tak lebih dari sebuah pelajaran. Kita bisa bertamasya, Len. Jalan-jalan mengetahui sejarah yang sebenarnya seperti apa. Bukankah kau seringkali tidak percaya dengan sejarah, bahwa pembawa kedamaian si a dan penjahat si b? Memang, sejarah hanya ditulis oleh mereka yang berkepentingan. Tapi inilah kesempatan. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.”

“Kau menganggap semua ini adalah kelas belajar? Ini mengenai hidup mati, Are.”

“Memang demikian. Kita turun lapangan langsung. Jarang-jarang mereka di kota yang menganggap peradaban teknologinya terdepan melakukan uji kebenaran seperti kita. Dan mengenai kejahatan Hamster, aku tidak tahu. Kau tahu lewat buku catatan di kotak meja itu, bukan?”

“Baiklah, itu tidak usah dibahas. Yang perlu dibahas sekarang adalah… kita ada di mana?”

Keduanya memandang ke segala penjuru. Tak ada tempat yang mereka kenali. Bukit tinggi membentang. Tak ada pemukiman. Terdengar deru ombak dari balik bukit. Len menganggap mereka ada di dekat lautan. Are berkecak pinggang. Masih terlihat santai.

“Kita tanyakan pada Kapsul.”

Len lebih dulu mendekati Kapsul putih itu. Ada dua yang bertengger di atas rerumputan hijau kekuning-kuningan dalam keadaan melayang. Belum sempat Len bertanya perihal kedudukan mereka saat ini, Kapsul sudah mendesingkan suara. Seperti bisikan angin yang menyakiti telinga.

“Wilayah Palestin. Keadaan subur. Udara lembap. Seratus meter ke utara laut merah. Kita berada di tahun 1456 sebelum masehi. Misi, mencari kayu panjang yang dipegang seorang pengemuka. Jenis kayu tak terdeteksi.”

Hanya kalimat singkat padat itu yang Len dengar. Are tersenyum, dia tahu apa maksud Kapsul. Sebuah tongkat. Yang kalau orang memegangnya memiliki pengaruh bahkan memerintah makhluk tak bernyawa sekali pun.

“Kau tidak suka sejarah, kan, Len? Kau tidak akan pernah tahu apa maksud Kapsul. Sekarang, kau ikut aku.”

Kapsul mengubah diri ke bentuk transparan. Len dan Are berlari ke bukit. Banyak pepohonan aneh di sana. Mereka menyibak, hendak mendekati suara debur ombak.

“Karena kau tidak suka membaca sejarah yang ditulis para pembohong itu, kuperkenalkan padamu daun Tin. Ini pohon bersejarah. Di zaman kita tidak ada. Dan walau pun ada, itu hanya di buku yang tidak kau suka.”

Len tak berkomentar. Jauh dari kapsul, mereka melihat hamparan laut yang membentang. Indah, seperti langit. Lautan yang curam. Pesisirnya tak terlihat. Di seberang, deretan pulau seperti alis perempuan tertutup kabut. Sore hari, mereka juga bisa melihat senja dari ketinggian.

“Kau tidak merasa ada yang aneh, Are?”

Are menoleh. Tetap tenang memandang garisan pulau di kejauhan.

“Laut berkabut di sore hari. Bukankah kabut adanya di waktu pagi?”

“Dunia dan teori di zaman kita tidak sama dengan masa lalu, Len. Itu sebabnya teori-teori orang terdahulu diperbarui, dibantah dan dianggap salah. Semua relatif. Kabut di sore hari tak masalah. Bahkan kalau ada orang lain yang melihat kita, mungkin keheranan dengan apa yang kita pakai. Itu jelas aneh bagi orang yang bukan sezaman dengan kita.”

Len mengangguk. Dia berusaha mengerti. Walau tetap merasa janggal dengan keadaan yang ada. Kebiasaan dirinya dengan hal-hal yang realistis mungkin mempengaruhinya. Sekarang Len menggelengkan kepala. Melupakan akan semua anggapan keharusannya.

Hampir malam, mereka melupakan akan tidur di mana. Apa mungkin kembali ke dalam kapsul? Tidur seraya duduk di dalamnya? Tapi tidak, Are berjalan menuruni bukit. Tidak ke arah laut, tapi ke arah sebaliknya. Mungkin ada rumah penduduk di sekitar pesisir. Menurut sejarah yang dia baca, orang terdahulu bermukim di sekitar air, karena air penting bagi kehidupan. Tentu Len tidak pernah tahu, dia benci sejarah.

“Kita ke mana?”

“Mencari sarang,” teriak Are yang berusaha meninggalkan Len.

Berjarak sepuluh meter, Len tertinggal. Tak ada suaranya lagi. Ada tangan yang mendekap mulut Len. Sementara itu Are tetap menggerutu dengan kalimat tidak jelas, mengejek Len yang lemah, tertinggal, dan sebagainya.

Mendekati perkampungan, Are sadar tidak ada rasa keberadaan Len. Tiba-tiba angin seperti menusuk ke segala tubuh Are. Dia sangka Len sama gesitnya menuruni bebukitan. Demi meyakinkan diri, Are berteriak memanggil Len. Tapi tetap saja, suaranya hanya ditelan angin yang kemudian dibawa ke lereng lembah. Gesit Are berlari, menyusuri langkah yang tadi dia lewati. Dia sadar, sejak tadi hanya berbicara sendiri tanpa tanggapan dari Len. Are lupa, bahwa Len tidak sependiam itu, Len pasti akan banyak bicara. Itu yang dia lupakan. Sekarang dia harus mencari Len. Tujuan pertamanya sekarang adalah ke kapsul. Siapa tahu Len kembali ke sana. Tapi instingnya mengatakan, dirinya harus ke pemukiman penduduk terdekat.

***

Di pasar semua hal dapat dibeli. Tak kecuali budak. Pasar malam kali itu ramai. Baru saja ada seorang pemburu mendapat tangkapan yang segar. Bukan, mereka tidak menangkap hewan yang kosong pikirannya. Tawaran harga dibuka dari tiga puluh koin mas. Semua lelaki bangsawan melongo, berkumpul melingkar, menatap satu makhluk di tengah yang berdiri dengan kedua tangan terikat pada tiang. Tidak bisa bergerak, sedang semua mulut berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra. Tidak dapat dimengerti apa yang mereka katakan. Yang jelas, mereka sedang mempertimbangkan harga yang pas buat sesuatu yang unik.

Andai makhluk yang berdiri terikat di tiang itu mengerti apa yang dikatakan orang sekitar, dia akan mendengarkan hal yang seperti ini:

“Yo, harga awal tiga puluh koin mas. Sudah ada satu petaruh lima puluh koin mas. Siapa lagi? Kami cari harga yang tertinggi.” Suara si penjual menggelegar.

“Lima puluh lima koin mas.”

“Enam Puluh…,” nyeletuk yang lain.

Dan seterusnya, penawaran itu terus berlangsung. Ada yang datang dengan keadaan mabuk menawar sepuluh koin mas. Semua orang tertawa.

“Barang seperti itu tidak ada menariknya. Seperti hewan purba. Saya bertaruh sepuluh,” ucap lelaki mabuk seraya menegak tuak.

“Enam puluh tiga….”

Sebuah suara melesat menghentikan tawa. Para penawar kembali serius. Ada sebagian kelompok yang hanya berhitung dengan situasi. Ada yang bertaruh pula akan pertaruhan itu, bahwa yang berdiri di tiang itu nanti lakunya tak lebih dari delapan puluh koin mas. Ada pula yang bertaruh harganya nanti lebih dari itu, tersebab kulit yang halus dan paras yang memukau. Maka timbullah spekulasi. Tidak berniat menawar dengan sungguh-sungguh, hanya sekadar untuk mengalahkan lawan petaruh.

“Delapan puluh.” Satu kata dari seorang lelaki paruh baya di kelompok kanan bertaruh.

“Taruhan tertinggi delapan puluh. Ada lagi yang lebih tinggi?”

Semua orang saling bertatapan. Koin mas sebanyak itu cukup untuk membeli dua bidang tanah. Mereka harus berpikir benar. Sementara itu, sesuatu yang berdiri di tengah arena taruhan harga tak mengerti, baru saja dia sadar dari biusan daun kecubung. Kepala makhluk itu pening.

Setiap tangkapan yang disangka liar dan aneh di tempat itu dianggap hewan. Dan pakaian hewan yang terikat di tiang itu benar-benar aneh bagi mereka, seperti pakaian purba. Tapi sekarang hewan itu malah berteriak memanggil nama seseorang. Tapi juga tidak ada yang mengerti bahasa hewan tangkapan itu.

“Seratus!”

Sebuah suara melesat dari kegelapan. Berpasang mata tertuju ke asal suara. Seratus koin mas cukuplah membeli satu padang rumput beserta kambing-kambingnya. Penjual mengerutkan kening. Wajah hitam penjual itu seperti tak terlihat di remangnya kegelapan yang hanya diterangi satu obor di atas tiang sesuatu yang dipertaruhkan.

“Siapa?!”

“Seratus!”

Kata itu tergema kembali. Penjual bergumam, baiklah, seratus.

“Penawaran tertinggi seratus koin mas. Ditetapkan…”

Belum sampai pada ujung kalimat, ada yang menyela dari kejauhan dengan arah sebaliknya dari suara sebelumnya.

“Dua ratus.”

Semua mulut ternganga. Seorang pemuda dengan pakaian yang sama anehnya muncul. Entah dari mana pemuda itu datang. Penetap harga berlari menyambut pemuda itu. Sebagian orang menganggap pemuda itu membual, sebagian lagi menganggapnya, mungkin dia putra kerajaan yang menyamar pergi ke pasar.

“Saya bertaruh dua ratus koin mas. Bagaimana? Boleh saya membawanya sekarang?”

Sebuah kotak dari kuda putih diturunkan. Pemuda itu membawa kuda. Tak salah lagi, dia pangeran kerajaan yang menyamar. Semua orang mundur. Penentu harga tanpa menutup taruhan tertinggi langsung menerima. Koin emas di kotak diambilnya. Kemudian melepaskan hewan tangkapannya yang terikat di tiang.

“Gadis yang manis. Kulitnya begitu putih terawat. Rambutnya indah. Kau mendapatkannya dari mana?” tanya pemuda yang tampaknya benar-benar anak raja itu.

“Saya menemukannya di lereng bukit. Terima kasih karena sudah mau memberi tawaran tinggi, karena tak mudah menangkap hewan liar tak bertuan,” ucap penjual berwajah hitam itu. Kemudian terburu-buru pergi membawa kotak koin, sebelum pemuda itu berubah pikiran, pikirnya.

***

Di sebuah tempat, di mana perempuan diperjualbelikan. Budak bisa ditemukan di pasar-pasar. Kekuasaan lelaki. Are berjalan sempoyongan. Dia yakin Len tidak begitu jauh darinya. Sekarang dia malah ingat perkataannya sendiri, dia ragu kalau Len membantu, dia hanya akan membuatnya bertambah berat beban. Mencari kayu yang dimaksud kapsul untuk didahulukan apa mencari Len? Are berpikir cermat. Masalah Len, Are yakin dia bisa menjaga dirinya sendiri. Len itu cerdas, gumamnya.

Sambil menanyakan keberadaan Len pada orang yang dijumpainya di sekitar pemukiman dan pasar, Are terkenang pada kalimat Garet, ibu Len.

“Jaga dengan baik sahabatmu, Are. Tante percaya kau bisa berteman baik dengan Len, seperti aku berteman baik dengan ayahmu.”

Ya, ibu Len adalah sahabat ayah Are. Are pernah mendengar, bahwa persahabatan Garet dengan Sam, ayahnya, pernah membuahkan cinta. Tapi keduanya terlalu berpedoman pada hukum persahabatan, maka cinta itu tak ada artinya selain cinta terhadap sahabat. Singkat cerita, Garet dan Sam memilih pasangan masing-masing, mereka menikah pada hari yang sama. Are dan Len tak lebihnya dekat karena persahabatan orang tuanya. Sekarang, apa yang akan Are katakan kalau Garet menanyakan keberadaan anaknya? Are berpikir, dirinya harus menepati janji. Intinya, dia akan mencari Len terlebih dahulu, sebelum mencari apa yang diperintahkan kapsul.

Dari kejauhan, Are mendapati keramaian. Seperti orang yang selesai berkabung.

“Maaf, Tuan. Apakah tuan mendapati seorang gadis dengan pakaian aneh seperti saya?”

Orang yang ditanyai Are memicingkan mata. Memandang dengan tajam pakaian Are.

“Kau juga bagian dari gadis aneh itu? Baru saja ada seorang pemuda kaya membawanya.” Orang itu berucap seraya berusaha pergi, tak mau tahu.

“Ke arah mana, Tuan?” tanya Are sedikit berteriak, orang yang ditanya tetap menjauh.

“Ke arah padang rumput,” ucap orang itu tanpa memalingkan kepala.

Are bergegas pergi. Dia tahu padang rumput yang dimaksud. Tapi mengapa ke padang rumput, bukankah di sana…? Pikir Are. Seperti ada denyut listrik yang disentuhkan ke kepalanya, Are sadar. Apalagi yang akan dilakukan singa kalau sudah mendapatkan mangsanya? Tambah cepatlah langkah Are. Sekarang dia setengah berlari.

Benar saja. Are mendengarkan desau suara Len. Tapi suara itu terdengar parau. Angin alam bebas menerpa begitu kencangnya. Malam dengan terpaan separuh rembulan tanpa tertutup awan begitu tenang dan terang. Are meneriaki nama Len.

Ada yang lari mendekat ke arah Are. Sebuah kuda putih berlari ke arahnya. Sebelumnya Are ingin berlari, tapi dia sadar bahwa itu hanya seekor kuda. Kuda itu berhenti tepat di hadapannya. Are coba menaiki punggung kuda itu. Kuda penurut memberi kesempatan punggungnya di duduki.

Dari atas kuda yang berlari mendekat ke arah Len, Are melihat Len tertawa-tawa. Persis seperti orang gila. Pemuda yang telah mendapatkan Len di pasar tadi bersumpah serapah. Memaki dirinya yang mendapatkan gadis gila dengan harga mahal. Malah, pemuda itu ingin lari, tapi Len memegangi pakaiannya. Are turun dari kuda. Berdeham. Pemuda malang itu dilepasnya oleh Len. Tanpa berkata lebih lanjut, pemuda itu lari tunggang langgang menghampiri kudanya, kuda yang sebelumnya Are tunggangi. Pemuda kurang beruntung itu pergi menjauhi Len dan Are.

“Jadi, sekarang kita bermalam di mana?” ucap Are.

“Di sini.”

Len membiarkan tubuhnya ambruk di daun rumput, masih dalam keadaan tertawa-tawa. Are tersenyum. Dasar gadis gila, umpatnya.

“Di sini, bersama gadis gila yang baru saja memakan korban?” Are mengejek, matanya memandang langit yang ungu dengan taburan bintang. Hatinya sedikit lega, karena hal yang dikhawatirkannya sudah menguap. Tidak perlu takut mengingkari kalimat dari bibi Garet.

Lihat selengkapnya