Dari Timur Jauh | From the Far East

Ali Mukoddas
Chapter #5

Bagian 4

Di dataran dekat Turki, dengan suku ketuhanan yang kental mengagungkan pencipta seluruh alam lewat benda dan sesuatu yang menggiurkan. Di masa para nabi-nabi dikenal, yang sebelumnya ratusan nabi pernah di dengar. Kehidupan damai di suatu waktu, juga tidak di suatu waktu yang lain. Penduduk di dekat daratan itu berkeyakinan bahwa setiap sesuatu memiliki kuasa atas sesuatu yang lain. Di masa itu tercatat seorang utusan dengan batu surga yang kemudian diletakkan di sisi bangunannya. Tapi itu terjadi setelah dua kapsul berpijar, bertengger di tengah-tengah rimba batu dan pasir. Ada satu orang yang menyaksikan kedatangan benda yang tiba-tiba muncul seperti kejut sakit itu.

Are dan Len belum juga sadar, bahwa benda yang membawanya sudah memiliki sistem perjalanan yang sudah dicatat oleh pemilik sebelumnya untuk singgah di mana dan kapan. Ya, kedua kapsul itu sudah dimodifikasi khusus untuk perjalanan lima tahap, yang terakhir menuju tempat asal pemberangkatan. Sebelumnya Are sudah diberitahu tentang penjelasan itu oleh Hamster di ruangan saat mereka meninggalkan Len dengan mata takjubnya. Tujuan waktu di kapsul tak usah diatur untuk pergi ke bagian dunia yang mana, ditambah kecerdasan buatan yang diunggah ke sistem interaksi mutakhir keluaran terbaru di awal abad dua puluh dua.

Dua sosok yang berbeda keluar dari dua benda putih yang diam tak menyentuh tanah. Satu orang yang melihat kejadian itu lari tunggang langgang. Jarang-jarang di gurun pasir ada kejadian aneh seperti itu. Orang yang lari karena menemukan kejadian tak terbantahkan itu berteriak minta tolong. Are dan Len bisa mengerti bahasa orang itu, mungkin itulah kelebihan ramuan yang diberikan kapsul pada mereka. Suatu bahan herbal yang secara tidak langsung dikolaborasikan dengan ilmu pengetahuan, dibuat khusus oleh pabrik penjamin kecerdasan dengan kadar fungsi yang berbeda-beda.

“Sekarang yang harus kau lakukan adalah mendatangi seorang tua yang mendirikan bangunan dari batu-batu dengan sumur air di sisi bangunan itu. Akan ada batu hitam besar yang perlu dibelah. Kau ambil belahan itu, kali ini tugas tersebut bisa diselesaikan dalam perjalanan yang singkat. Aku akan menunggu.”

Itu kalimat dari sistem kapsul yang dinaiki Are sebelum dirinya turun bersamaan seperti Len. Benda yang rupanya sangat jinak itu sejauh ini masih menyimpan rahasia ke perjalanan berikutnya. Itu yang membuat sedikit rasa jengkel karena penasaran akan rintangan yang tak terelakkan bagi Are. Tapi untuk sekarang dia bisa menarik napas lega dibanding dua perjalanan sebelumnya yang membuat napas terasa berat karena dentuman paru-paru yang cepat. Tak ada yang perlu ditakutkan, seperti akan terhunusnya pedang di leher, ditangkap suku tak beradab dan sebagainya, pikir Are. Tak perlu ada yang ditakutkan. Mantap dia bergumam.

“Mengapa kita selalu berada di tempat yang memiliki pasir?” Len menggerutu.

“Karena sejarah besar bermula dari penderitaan, mungkin.” Are menanggapi acuh tak acuh.

Mereka berjalan menuju petunjuk yang diberikan kapsul terhadap Are, ke arah terbenamnya matahari. Perjalanan yang tak begitu jauh dari pemukiman. Tampak ada rasa takjub di wajah Len saat matanya mendapati kegersangan di sebagian besar dataran. Di pemukiman yang tak jauh jaraknya, pepohonan hijau menjulang seperti berlian. Tapi kemilau matahari terlalu terik untuk menikmati semua itu tanpa beranjak, bisa-bisa mereka jadi daging padang yang kering. Mereka berdua berjalan, pakaian lusuh itu tampak kontras sekali dari saat mereka pertama kali masuk ke dalam kapsul. Kalau ditanya mengapa tidak dicuci, mungkin mereka akan berkata, bagaimana mau mencuci, sedangkan sebelum menghampiri genangan air mereka bisa saja terbunuh.

Dari kejauhan, binatang dengan dua gunung di atasnya melenguh, mendengar langkah asing Len dan Are. Satu dua dari beberapa binatang bergunung itu sedang mengunyah sesuatu dengan santai, walau tak ada rumput atau apalah di hadapan mereka, kecuali pasir dengan sedikit batu yang bertonjolan. Mungkin mereka memakan batu atau pasir, pikir Len. Imajinasi Len begitu memukau, hingga suatu ketika dia pernah mengharapkan suatu kehidupan tanpa manusia lain selain dirinya. Atau hidup di alam bebas di mana tak ada hukum dan kejahatan yang meresahkan. Atau, meninggalkan peradaban yang seperti surga di kotanya itu dengan tinggal berlayar mencari pulau baru. Imajinasi nakalnya juga pernah disinggahi hal jail tentang masa depan, di mana masa depan itu seharusnya diingat, hingga nanti istilah mengingat masa lalu tidak ada. Demikianlah harapan jail Len, yang tentu dia berimajinasi seperti itu karena berdasarkan kejadian yang tak disukainya. Di kelas sekolah saat pelajaran bahasa, dirinya pernah berdebat dengan gadis seisi kelas, mempermasalahkan bahwa semua setuju segala sesuatu memiliki pasangan dan lawan, seperti siang dengan malam dan sejenisnya. Itulah yang membuat Len beranggapan, kalau ada istilah mengingat masa lalu, berarti juga ada istilah mengingat masa depan. Saat itulah seisi kelas menertawainya. Dia teramat jengkel. Untuk sekarang, dirinya sudah jauh dari rasa jengkel itu, ditambah melihat hamparan pasir seperti sedang berjalan di atas air yang keruh.

Are ditinggalkan berlari-lari oleh Len. Gadis yang tumbuh dewasa dan kecantikannya memukau itu tak pernah merasakan alam bebas seperti yang dirasakannya saat ini. Maklumlah, hidupnya selalu dikurung peraturan, gumam Are mengomentari tingkah Len.

“Kehidupan Len memang terkurung kalau dipandang dari terkurungnya, juga bisa dikatakan bebas kalau dipandang dari bebasnya.”

Len akan menyergah kalau dirinya dikatakan tidak bebas oleh siapa pun dengan kalimat tersebut. Baginya, gadis baik adalah gadis yang nakal, sebaliknya, gadis nakal adalah gadis yang tampak baik. Argumen demikian Len dapat saat mengetahui teman dari temannya yang tampak baik, elok, dan sopan, ternyata memiliki berjenis rahasia memalukan. Sedang Len merasa beruntung dirinya nakal, hingga tak ada seorang pun yang memercainya sebagai pribadi yang baik, di sanalah kebebasan Len.

“Kau tidak lapar, Len?”

“Aku sudah kenyang makan angin. Bersenang-senanglah, kita tidak tahu apa yang ada di depan kita. Sekelompok kanibal atau pemburu pasir.”

Len masih berlayar di langkah mungil kakinya menjejaki pasir-pasir yang seperti berbisik. Are tak mengomentari lebih jauh tingkah gadis di hadapannya. Dia hanya memicingkan mata, berjalan santai mendekati kota. Memang menjenuhkan tanpa melakukan sesuatu, Are ingin mengikuti tingkah Len, tapi urung memikirkan rasa laparnya. Sebelum benar-benar menjauh, Are mengingat kembali letak kapsul mereka dengan melihat ke arah yang sebelumnya mereka lewati.

***

Seseorang yang disegani di tempat itu menyambut dua orang tak dikenal dengan pakaian yang sama sekali berbeda dengan tradisi. Tamu itu mengenakan pakaian yang memudahkan panas membakar kulit, sebagian orang berkomentar demikian. Orang yang disegani tersebut memberi jamuan roti kering, buah manis seperti gula aren, katakanlah itu kurma, dan air manis dari samping rumah.

Adalah Len dan Are kedua tamu itu. Memakan habis hidangan walau dengan keadaan malu-malu. Si penerima tidak menanyakan dari mana dan siapa mereka, kecuali langsung menjamu. Kesopanan atau sebuah moral yang dibuat-buat atau sebagai penghormatan, Are menebak-nebak kejadian yang berlangsung singkat. Bagaimana mereka tidak dicurigai sebagai orang jahat atau apalah dengan kedatangan seraya bertingkah aneh? Saat seorang yang bijak itu melihat kedatangan mereka, matanya mendapati Len sedang bertingkah kekanak-kanakan. Sedang Are tahu bahwa orang yang menjamunya itu keluar rumah karena teriakan seseorang yang lari tunggang langgang setelah melihat kedatangannya. Jelas sekali ada yang aneh dari penyambutan hangat yang didapatnya. Demi menutupi rasa lapar, Are tak mau berpikiran macam-macam. Orang di hadapannya sudah cukup baik.

Seorang yang disegani itu seperti tak punya nama, setiap orang yang memanggilnya dengan sebutan yang berbeda-beda. Lantas siapakah nama orang ini, gumam Are, dirinya sudah selesai bergulat dengan roti.

“Selamat datang di kota kecil kami, anak muda. Kalian seperti kelelahan, tapi kurasa yang satu tidak,” ucap lelaki yang memberi mereka makanan, seraya melihat ke arah Len.

Gadis yang ditatap dua mata itu tersenyum manyun. Meminum air di hadapannya. Mengangguk-angguk senang, entah senang atas apa, orang yang memerhatikannya bingung. Len mendekat di samping Are, berbisik sesuatu di telinganya.

“Sepertinya kita langsung mendapati orang yang dimaksud kapsul,” bisik Len hampir tak terdengar.

Are tersenyum seraya menjauhkan kupingnya dari kepala Len. Dia berpikir Len tidak tahu masalah tujuan mereka. Dari mana dia tahu?

“Kapsul memberitahu hal itu, kau yakin belum tahu?” lanjut Len menjelaskan, seperti tahu bahwa lelaki yang dibisikinya mempertanyakan dari mana dia tahu.

Len kembali duduk manis. Kali ini baru selesai dengan makanannya. Saat itu pula seorang yang disegani itu tersenyum, tampak gemas dengan tingkah Len. Dia berdiri, meletakkan kedua tangan di belakang punggungnya.

“Boleh aku tahu kalian sedang apa ke sini? Sepertinya kalian datang dari tempat yang amat jauh. Pasti ada hal penting. O ya, sebelumnya panggil saja aku Ibra.”

Nada bicara lelaki yang mengenalkan dirinya sebagai Ibra terdengar karismatik. Suara lembut dan pelan itu terdengar bertenaga. Mereka yang mendengarnya terasa harus membungkuk.

“Kami sedang mencari seorang seperti anda. Seseorang yang menjaga rumah keyakinannya. Dan saya yakin hanya anda yang seperti itu di sini,” ucap Are berhenti sejenak. Dirinya merasa kalimat yang selesai diucapkannya tadi terdengar kaku.

“Ya, kami dari tempat jauh, bahkan kalau disebutkan mungkin nama tempat kami belum di kenal. Tapi kami bisa menggambarkan tempat kami seperti apa. Di sana terdapat banyak pulau yang dikelilingi air, pepohonan tumbuh subur dan gunung-gunung membentang,” lanjut Are, matanya melihat Ibra yang hendak duduk.

“Tempat yang kau sebut seperti negeri yang kami tahu. Atlantis, atau sebagian dari kami menyebutnya samudera. Perjalanan yang sangat jauh itu, apa yang kalian inginkan dariku?”

“Sebuah batu. Kami akan menolong anda melakukan sesuatu yang akan menjadi rumah pertama kali di dunia dalam sejarah.”

Percakapan itu berjalan panjang dan terlalu kaku bagi Are. Ibra mengangguk, lantas membawa mereka keluar rumah seraya menunjukkan fondasi batu-batu yang berjejer di atas pasir. Ada kebingungan di wajah Are perihal asal batu-batu itu. Bukankah di sana cukup jauh dari pegunungan? Kecuali mengumpulkan batu-batu di sekitar yang sedikit jumlahnya.

Ibra mengangguk melihat wajah bingung Are. Dirinya menunjuk batu-batu yang tertanam di serakan pasir. Lelaki itu lantas berjalan, mengambil batu yang cukup besar, meletakkannya di sekitar fondasi. Spontan Are dan Len mengikuti Ibra memunguti batu. Mereka tampak kompak, sedang matahari tetap panas membakar pasir, membuatnya tambah gersang.

“Batu-batu ini sudah ada, berjejer membentuk fondasi sejak aku mendapatinya pertama kali. Aku tak tahu batu yang kalian maksud. Tapi aku akan membangunnya agar lebih tinggi. Siapa tahu bisa kujadikan rumah? Dan terlebih, aku tidak mau tahu bagaimana kalian bisa tahu bahwa aku akan mendirikan sebuah bangunan.”

Saat selesai kalimat Ibra, Are menawarkan diri secara tidak langsung untuk ikut membangun. Begitu pula dengan Len, dia tampak semangat. Tepatnya, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan, kecuali suara hati yang tak dapat di tolak, seperti magnet, atau seperti perekat yang bisa menjerat apa saja. Melihat air muka Ibra pun, membuat Len menelan ludah. Bukan karena suka, tapi wajah itu tampak sekali memiliki pengaruh besar terhadap siapa pun yang melihatnya.

Mencari batu di dalam pasir tidak semudah kelihatannya. Kuku di jemari-jemari terasa panas. Ditambah pasir yang memang sudah panas. Mereka harus membebatnya dengan kain, baru bisa menyingkirkan pasir yang menenggelamkan batu. Satu per satu batu terangkat, walau ada satu dua yang bebal karena memiliki batang tubuh yang lebih besar tertanam di bawah pasir.

Sampai tengah hari, mereka tak berhenti mengumpulkan batu-batu. Kepala Len dan Are menerima kain penutup dari istri Ibra. Sampai tengah hari itu pula, pengumpul batu bertambah, perwakilan setiap keluarga yang ada di sekitar ikut membantu. Sementara yang lain mencari batu, Ibra menyusun batu-batu, serta membuat perekatnya sendiri dari pasir yang lebih halus. Tanpa alat bantu kayu atau kain untuk mengambil perekat, tapi dengan tangannya sendiri. Satu dua keringat yang mengucur ikut tercampur, menjadi bagian dari perekat.

Batu di sekitar fondasi yang lebih menyerupai persegi itu bertumpuk mengelilingi. Are berhenti dari mencari batu, berganti ikut membangun, menata satu demi satu batu. Kegiatan itu diselingi percakapan kecil, tentang batu apa yang dicari Are dan untuk apa batu-batu di susun.

“Aku melakukan ini atas perintah. Membangun sebuah rumah yang akan didatangi orang dari belahan dunia. Bahkan, kupikir kau adalah orang dari belahan dunia pertama yang datang ke rumah ini, walau belum jadi,” jelas Ibra seraya giat menyusun batu-batu. Tangannya belepotan seperti saat mengadon roti.

“Batu ini sudah setinggi dada. Menyusunnya akan tambah sulit. Kita perlu pijakan yang lebih tinggi.” Are berkomentar hal lain terhadap suatu yang dikerjakannya. Baru saja ingatannya jatuh pada karyawan traktor pembangunan gedung yang diarsiteki empat orang terkenal sekaligus.

Saat itulah Are memiliki ide untuk membuat pijakan dari batu yang dikumpulkan, mengambilnya sendiri, juga membuat adonan perekat sendiri, lalu meletakkannya dengan pasir perekat. Keinginan itu segera terlaksana. Sementara Ibra terus menyusun batu-batu, Are membuat susunan lain sebagai pijakan yang bisa dipindah-pindah. Dengan telaten Are membuat hal itu, sekukuh mungkin.

Saat tinggi pijakan yang Are gulati mencapai pinggang, dia menghentikannya. Menunggu matahari yang mulai menurun memadatkan pijakan itu, walau panasnya masih menyengat. Seraya menunggu, Are mengusap keringat yang tanpa sadar membasahi pakaiannya. Dihitung-hitung dirinya tak pernah melakukan pekerjaan seperti itu, apalagi menikmatinya sampai tak sadar diri. Kini matanya berbinar-binar menahan terik, menatap tajam ke segala arah, pada hamparan pasir yang mengeluarkan asap transparan seperti gelombang air. Menunggu beberapa saat, hingga instingnya mengatakan cukup menunggu kumpulan batu berlapis pasir basah itu mengeras, Are menyuruh Ibra agar mencobanya sebagai pijakan. Sebagian mata memandang Ibra yang berusaha menghargai kerja Are dengan menaikinya. Awalnya sempat ragu-ragu, mengangkat naik turun kaki kanan, yang kemudian terus terangkat. Pijakan itu kukuh, Are sempat menyeringai, tapi seringai itu segera pudar. Pijakan ambruk, terpecah seperti kotoran unta yang sudah berhari-hari dicakar serangga jorok. Ibra terjatuh menimpa tubuh Are yang sebelumnya membantu Ibra menaiki pijakan. Sebagian orang yang sebelumnya tidak melihat dengan lengkap kejadian awalnya bagaimana terperangah, berteriak. Sedang sebagian yang melihat dari awal tertawa, ada pula yang mengaduh kesakitan walau bukan mereka yang jatuh, termasuk Len.

Ibra tertawa, terkekeh seraya menepuk-nepuk pundak Are.

“Mungkin inilah saatnya kita beristirahat. Alam menyuruh kita untuk melanjutkan ini besok.”

Are ikut tertawa, tapi getir, mendengar kalimat yang disertai tawa oleh orang yang menimpanya.

“Saya akan mencobanya lagi.” Kalimat Are disertai rasa sesal.

Semua orang pergi istirahat satu-persatu. Matahari menguning, menyemburkan semburat merah di langit. Len merasa kegiatan yang dilakukannya tadi seperti memberi kehidupan. Rasa letih yang membuat tegang otot-otot segera terasa nyaman saat beristirahat. Makan menjelang malam dilakukan bersama di rumah kecil Ibra. Len diberi tempat khusus, agar istirahat bersama istri Ibra. Sedang Ibra memilih di luar bersama Are.

Lihat selengkapnya