Dari Timur Jauh | From the Far East

Ali Mukoddas
Chapter #6

Bagian 5

Di sebuah kota kecil yang dilingkari beribu debit air dengan listrik bertegangan tinggi selalu menyala, menggerakkan benda-benda. Jalan seperti ular terbang yang terkena kutuk oleh petir menjadi batu, melilit sana sini, tumpang tindih. Bahkan kadang membuat sesat ban mobil, tapi di sana tak ada ban dalam artian yang sesungguhnya, sebab semua mobil dapat melayang setengah meter dari pijakan. Tapi bisa pula tidak bagi orang tertentu, dan itu sedikit sekali jumlahnya. Kemudahan yang melimpah seperti surga membuat sedikit saja orang yang berkeliaran di luar rumah. Sebab butuh apa pun, robot terbang bisa mengirimkannya, baik berbentuk paket, atau bayi. Uang tak lagi dijumpai dalam lembaran, atau koin yang kalau jatuh bergelinding hilang di sela-sela trotoar, tidak. Uang lebih mudah dan rapat di kartu-kartu dan layar ponsel.

Dalam dua puluh empat jam, kota kecil itu selalu berkembang, menggeliat seperti sistem tubuh yang bekerja otomatis memproduksi makanan. Di samping kota kecil maju tersebut terdapat pulau khusus bertani yang dibatasi dengan hamparan air. Tanaman apa saja tumbuh di sana, terlebih gandum, beras dan sagu. Ada kalanya pulau khusus itu seperti dipetak-petak dengan penamaan hutan berdasar apa yang tumbuh di atasnya, seperti hutan jagung, hutan bayam, hutan anggur, hutan padi, dan sebagainya, walau sebenarnya untuk nama sayur-mayur dan makanan pokok lebih pantas dinamai ladang.

Siapa yang tahu situasi serba melimpah itu bisa dilakukan dengan cara yang kejam dan menghilangkan nilai moral, kemanusiaan, bahkan agama-agama? Pulau yang sebelumnya berisi penduduk, digusur habis, dipindahkan dan disatukan pada pulau tertentu secara paksa. Para penjahat, atau pembuat kerusakan—barang sedikit pun—dipindahkan ke suatu tempat orang-orang jahat, juga diberi garis pembatas yang tak mudah dilewati. Sayangnya, walau di kota kecil yang serba kemajuan dan semua orang baik dapat tinggal di sana, terdapat perubahan nilai kehidupan. Di sana setiap orang memiliki hukumnya sendiri-sendiri. Apa? Tak berhukum. Jelasnya, bagaimana penegak hukum mau menghukum kalau orang itu tak melanggar hukum? Bagaimana hukum harus diberlakukan kalau tak ada kerusakan, penyimpangan dan segala jenis yang meleburkan negara sedang semua sudah patuh karena saking baiknya? Di sanalah kemudian dikenal kota kecil canggih seperti surga, kota orang baik yang tak berhukum.

Ada segelintir hukum yang berusaha ditegakkan oleh seorang yang mengaku dirinya pelajar, namanya Are dengan rekannya, seorang gadis. Anehnya, hukum yang mereka terapkan tertuju pada benda mati. Mereka berkutat dan bertekat kuat agar robot tak boleh memanjakan majikannya dalam pelayanan yang berlebihan, karena itu akan memusnahkan eksistensi manusia. Robot tak boleh membiarkan dirinya diberi tanggungan belanja di pasar atau tempat apa pun. Begitu kemuka mereka. Dua sosok berbeda yang kemudian tak didengarkan oleh siapa pun. Peralatan canggih serba tuli, termasuk pembuatnya.

Harapan lain tak bisa dikabulkan seperti di film-film kartun keluaran Jepang. Tak bisa pula disamakan dengan teori dunia sudah terstruktur hukumnya seperti satu tambah satu adalah dua. Are memikirkan hal itu, tentang dunia yang tak pernah dia pahami, tentang siapa yang menciptakan kehidupan dan seperti apa kebenaran yang benar-benar benar? Saat dia kecil, yang tampak adalah rekayasa-rekayasa di sekitar. Itu dia ketahui lewat ayahnya, Sam si pendukung perubahan kota dengan membantu penemuan-penemuan.

Terbesit di benak Are, mungkin kotanya perlu dibuat sama dengan terowongan yang dia tempati saat ini, penuh lumut, tampak pecah sana sini dindingnya. Lantai basah membuat jamur air menutupi dinding yang sebelumnya putih bersih. Pikiran ngelantur Are buyar, beralih memandang ke arah Len. Mereka duduk terdiam memikirkan segala halnya masing-masing. Ada ketakutan dalam diri yang baru memijakkan kaki itu. Mereka takut-takut saat keluar, kota kecil mereka benar-benar berlumut seperti adanya terowongan itu.

Hamster, Len menjatuhkan pikiran tentang makhluk yang dikutuknya itu. Pertama kali saat hendak masuk kapsul, gadis itu sudah muak, memaki entah pada apa. Kali itu dirinya tanpa panjang pikir hendak pergi, tapi matanya mendapati tombol di dinding ruangan dekat dirinya duduk. Beberapa menit terduduk bisu, setelah menyaksikan pemuda yang bersamanya lenyap dimakan benda putih lonjong, tombol yang terlihat mencurigakan di matanya itu ditekannya, lalu kapsul yang sama muncul. Saat itulah dia memulai perjalanan dengan kemarahan, berharap kemarahannya itu dapat terselesaikan saat membawa Are kembali lalu menghakimi Hamster. Sekarang dia telah berhasil membawa Are kembali, ke titik awal pemberangkatan, satu jam sebelum mereka berdua pergi ke antar waktu dengan kapsul. Len membayangkan dirinya menemukan wajah busuk Hamster, dia ingin menyumapahserapahinya, tapi yang terjadi di luar dugaan. Saat pertama kali matanya terbuka, dia berpikir dirinya berada di suatu goa. Salah tujuan itu kapsul. Baru dirinya sadar bahwa tempat gelap seperti goa itu adalah terowongan Hamster ketika matanya dapat mengenali garis langit-langit ruangan yang seperti bisa dibelah. Karena sesal dan perasaan tak menentu, dia menjadi lemas, menyandarkan tubuh dengan tangan berada di bibir kapsul yang barus saja membawanya kembali.

Len dan Are tak memiliki rencana lain. Beribu kemungkinan Are prediksi, mungkinkah itu sebuah kesalahan karena belum selesai pada satu tempat yang sudah tersistem sebelumnya? Atau kapsul salah membawa mereka pada zaman lain? Tapi mengapa kedua kapsul itu bisa berada di tempat seperti ini dalam keadaan serempak? Are berpikir keras.

Sementara Are memperhitungkan pikirannya, Len menggeram pada Hamster. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu pada Are, tapi kali itu dirinya mempertimbangkan. Sejak kapan kau berpertimbangan, Len? Gadis itu bergumam.

“Sebaiknya kita mencari cara untuk mendatangi Hamster. Aku mendapati catatan kecil di akhir jurnalnya. Di sana tertulis bahwa rencananya berhasil ketika dirinya mendapatkan sepasang bibit pertama. Aku tak mengerti itu, kukira dia berkhianat, dari itulah aku menyusulmu.” Pelan Len mengucapkan kalimat itu.

Terowongan menggema seperti mengulang suara Len. Sontak kepala Are tertoleh ke wajah gadis yang mengatakan kalimat jujur tapi terdengar bohong. Wajah Are mengguratkan pertanyaan.

“Aku menarik kesimpulan itu bukan dengan kebodohan, Are. Kau memandangku remeh karena aku perempuan? Dia menuliskan semua barang yang diburunya, seperti air keabadian, tongkat, batu dan seseorang untuk dipadukan menjadi satu sebagai senjata akhir. Itu adalah tipu muslihat, banyak sekali kalimat ganjil dan tak masuk akal yang terkesan jahat saat aku membacanya.”

“Aku tahu itu, Len. Lebih baik kita periksa keadaan di luar. Pergi ke rumah kita masing-masing,” ucap Are seraya melangkah menuju pintu keluar. “Ditambah tentang sepasang bibit pertama, aku tak mau memikirkannya itu apa.”

***

Angin yang tetap sama hembusannya, dengan skala kekuatan menerpa yang bisa membuat melayang dedaunan, membelai rambut Len dan menggoyangkan pucuk-pucuk rambut Are yang sedikit berdiri ikal. Kedua sosok itu menuruni bukit, seraya memandang kejauhan yang tak ada satu pun kejanggalan. Hal yang mereka takutkan, takut-takut kota yang mereka datangi bukan lagi seperti kotanya. Sejauh langkah mereka yang semakin mendekat, situasi tetap penuh dengan aktivitasnya. Benda-benda melayang, asap kecil dari pabrik roti yang tetap melambai-lambai, satu dua pohon yang berkelip. Menuju malam hari, langit redup, lampu alam seperti kekurangan tenaga. Mereka berhasil menjauhi bukit dan memasuki lorong-lorong pejalan kaki, melintasi gedung-gedung puluhan lantai dan trem pengangkut makanan pokok dari pulau sebelah.

“Sebaiknya kita tetap bersama, Len. Kau ikut aku, kita bisa istirahat di rumah.”

Len mengangguk, lantas memalingkan wajah melihat tempat hiburan yang ramai dengan berpasang kekasih yang entah merayakan apa. Pantas jalanan macet dari tadi pagi, pikir Len. Sedang ada konser dari instrumentalis terkenal yang mengklaim dirinya lebih baik dari Antonio Stradivari. Dia ingin menyaksikan pertunjukan itu, tapi urung mendapati tangan Are yang menarik tangannya untuk cepat-cepat. Warga kota selalu memiliki hiburan terbaiknya di rumah masing-masing, jarang-jarang bisa keluar rumah berkumpul, apalagi berpasang-pasangan seperti yang dilihatnya, Len berpikir demikian.

“Mungkin kau melihat suatu kejanggalan di sekitar, jangan segan-segan mengatakannya padaku,” ucap Are.

“Sebaiknya kau diam, perhatikan langkahmu. Lagi pula, aku tak perlu kau tarik-tarik seperti ini,” tukas Len seraya berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Are.

Are membuka pintu rumahnya, tak terkunci, juga tak ada siapa-siapa. Memang, di kota kecil itu setiap rumah tak perlu dikunci, tak perlu ada pagar pembatas dengan ujung lancip yang bahkan burung takut hinggap di atasnya, atau merawat anjing penjaga dari kemungkinan penyusup gila yang lupa di mana rumahnya, tak perlu itu semua.

Di ruang tamu muncul pesan video dari alat peninggal pesan penemuan baru-baru ini, ibu dan ayah Are muncul di layar transparan dengan tampilan tiga dimensi.

“Kami pergi ke konser di taman hiburan, Are. Kamu istirahatlah, jangan lupa periksa suhu ruangan, aku tak mau kamu terkena demam merepotkan itu lagi. Selamat sore.”

Are tak mempedulikan pesan yang muncul. Beda halnya dengan Len yang melongo, berpikir mungkin konser yang dimaksud adalah sesuatu yang dilihatnya tadi. Kaki Len berhenti di eskalator kecil rumah Are. Setiap bagian dari rumah di sana memiliki tingkat kemudahan tersendiri, termasuk tangga. Tubuh Len meluncur seperti kapas ditiup angin, semakin tinggi. Lagi pula tak seberapa berat tubuh indah Len bagi tangga bergerak itu.

Saat memasuki kamar, udara hangat akan menerpa, seperti yang dirasakan kedua sosok itu, yang melewati pintu kamar tanpa memegang gagangnya, pintu otomatis melambai ke satu arah, udara hangat berhamburan memeluk. Demi menghilangkan rasa lelah, ditambah tubuh lengket dan baju berbau puluhan macam bau, membuat Are membuka pakaiannya, lantas melemparkan kain berajut pemberian Alya ke bak kain kotor yang terbuka. Len melihat tubuh sedikit kekar Are. Tanpa aling-aling Len juga membuka bajunya, sama merasakan gerah dan lengket. Karena beberapa kali mereka sering melakukan hal konyol itu, pantaslah tak ada hasrat yang tumbuh saat melihat bagian tubuh terbuka masing-masing. Are sibuk memerhatikan tubuhnya sendiri yang ditempeli pasir, pemuda itu masuk kamar mandi. Sedang Len, walau tak sekotor Are, dirinya juga membuka celana berbentuk rok pemberian istri Ibra. Ada rasa gatal di pakaian aneh tersebut, pikir Len. Tambah aneh lagi, dia merangkap pakaian yang diberi itu dengan celana yang sebelumnya dia pakai.

“Kau bisa membersihkan tubuhmu setelah aku, Len. Atau pergi saja ke kamar mama sana.” Are berucap dengan mulut terhalangi tirai air yang membuat suaranya seperti bergelombang, sedikit tak jelas.

“Aku akan mandi denganmu.” Kalimat Len terdengar menggoda.

“Kutunggu,” ucap Are seraya tertawa kecil.

“Sebaiknya kau cepat-cepat saja, aku juga kotor, tahu.” Len sibuk melihat seluruh tubuhnya. “Kalau dipikir-pikir, kita seperti kuli bangunan, ditambah seperti mandor yang gagal mendapat pangkat dan gaji dipotong jutaan.”

Are tak menanggapi, sibuk basuh sana basuh sini bagian tubuhnya yang sulit dijangkau. Tangan kanannya menggapai pundak tangan kiri, begitupun sebaliknya hingga dia kesulitan melepas tangan yang terlipat itu. Menyerah karena kesulitan, dia menyandarkan punggungnya ke tembok, lantas menaikturunkan tubuhnya.

Len yang melihat bayangan pintu kamar mandi transparan dari kaca yang diukir, mengerutkan wajah. Hendak menanyakan pemuda itu sedang melakukan apa, tapi mulutnya urung melihat foto keluarga kecilnya bergabung dengan keluarga kecil Are, ibu dan ibunya sendiri tampak begitu akrab. Foto dengan bingkai hitam silau seperti ada sinar lampu itu memiliki kenangan yang panjang. Itu hanya terjadi di tahun-tahun tertentu. Len masih mengingatnya, ketika ingatannya baru bisa melekat, dia ingat kedua orang tuanya menitipkan gadis itu di rumah Are, sedang kedua orang tua Are meninggalkan mereka berdua. Saat itulah mereka bermain bersama, seperti layaknya anak kecil, bedanya Are tak suka bermain hal yang sepele, dia suka bermain teka-teki silang di majalah yang entah dapat dari mana. Sebab majalah dalam bentuk cetak sudah sangat jarang di kotanya, berpindah ke dunia virtual.

Pakaian dalam yang dikenakan Len cukup anggun, dengan postur tubuhnya yang standar dan renjang, pakaian itu tampak tak ada maknanya hanya sebagai penutup, tapi lebih dari itu, sebagai hiasan yang memperindah. Sayangnya Are tak mau tahu tentang itu. Yang terjadi pada mereka seperti kalimat, seseorang hanya bisa melihat sesuatu yang jauh, sedang yang dekat tidak, karena yang dekat disepelekan. Kebanyakan cenderung begitu.

Sampai Are selesai pada pembersihan badannya yang terlihat mengkilap, Len baru masuk dan hampir menabrak Are. Giliran Len mandi, Are bisa melihat postur tubuh Len yang tampak seperti bayangan hitam di pertunjukan sirkus yang pernah diadakan di hari dan tahun tertentu itu. Ya, di kota kecilnya, pertunjukan sirkus tak lebihnya dinasti dan peninggalan yang perlu dikenang. Bedanya, sekarang dia melihat itu di kaca buram, dengan bayangan hitam menempel, seperti menduplikat tubuh asli seseorang di baliknya.

Lihat selengkapnya