Dari Timur Jauh | From the Far East

Ali Mukoddas
Chapter #7

Bagian 6

Tempat yang mereka datangi tidak sekadar gila, lebih dari itu. Sebagian gedung berfondasi langit. Mata seperti tak bisa membedakan antara bawah dan atas.

Sebuah kota, kota yang berada dalam bola cermin. Tak ada satu pun pohon yang tumbuh, tapi oksigen buatan melimpah keluar dari pohon palsu yang berada di pusat kota mengambang. Semua bangunan berjejer simetris, tak ada kabel-kabel yang berserampangan, juga tak ada jalan raya, tak ada batu-bata untuk disusun menjadi gedung, semua adalah materi buatan dari penemuan nanoteknologi. Dinding-dinding super ringan transparan menjulang. Tangga antara satu tempat ke tempat yang lain terhubung seperti selang raksasa dengan tangga mengalir seperti air di dalamnya. Kota itu luas, seperti tak memerlukan gravitasi untuk menentukan arah. Kalau ada orang yang mabuk berat lalu pingsan, saat bangun dapat dipastikan tidak tahu di mana barat, di mana timur, bahkan atas dan bawah bisa saja tak dapat diprediksi.

Di kota dengan teknologi tak terkira yang membuat Len dan Are tampak gila. Kepala mereka serasa akan tertancap ujung gedung yang tak jelas letak atapnya. Cahaya cukup benderang dan tenteram, membuat mereka sesekali harus memicingkan mata. Tak ada kebisingan apa pun, seperti kota mati, tapi semua orang dapat bergerak bebas. Sejauh mata Len dan Are memandang, banyak orang seperti dirinya, tak sedikit pula yang mirip dengan Olympus dan Hamster, bedanya Olympus tak memakai seragam khas yang tak pernah diganti di kota itu. Di sana, semua orang cukup mengenakan satu pakaian, yang bisa membersihkan diri sendiri, bisa digunakan saat mandi, juga bisa mengeringkan diri dalam hitungan jari. Baju yang terbuat dari bahan saduran nanoteknologi itu benar-benar elastis dan tak memerlukan banyak pabrik. Setiap orang cukup membuat baju penanda ciri khasnya masing-masing di pabrik tailor raksasa. Kecuali mereka yang tercipta dari hasil genetika, mereka memakai baju yang sama, berwarna hijau dan ketat, hanya sedikit dan orang tertentu yang bisa lepas dari pakaian tertentu itu. Katakanlah seperti Hamster dan Olympus.

Sesekali Len mengelap wajahnya. Sesekali pula Are seperti Len, bedanya dia tampak kedinginan. Sejenak, saat pertama kali kapsul mendesing dan berhenti di sela-sela gedung temaram di tengah benderangnya cahaya, mereka berdua terpukau dan lebih banyak memandang sekitar sejauh sepasang mata mereka bisa meraup serta melahap semuanya. Olympus sibuk menyembunyikan kapsulnya, kapsul buatannya belum dilengkapi mode penghilang. Makhluk berbulu itu tak tahu betapa terkejutnya dua orang yang diajaknya.

“Kita akan langsung menyelinap mencari badan pengaman kota. Aku tahu mereka menahannya di ruang interogasi bagian atas,” jelas Olympus seraya melangkah dan menepuk-nepuk tangannya setelah berhasil menyembunyikan kapsulnya.

Len dan Are tertoleh, sesekali mata mereka tak melihat wajah atau sosok Olympus. Mata mereka masih lebih sering jatuh pada gedung yang berada di belakang mata seram tersebut. Dinding yang sedikit transparan, bahkan mengilap walau tak dibersihkan bertahun-tahun. Tentu saja, di tempat itu tak ada sedikit pun debu. Are memandang dalam, fokus pada gedung transparan tersebut, mencari celah keburukannya. Bahkan saat dipandang dengan mata tak berkedip, dinding itu tetap menakjubkan, malah berubah seperti air yang bergerak-gerak karena terguncang.

“Kenapa tak kau biarkan kami menunggu di sini? Sementara kau mencari jalan,” tukas Len, kalimatnya terdengar ketus di telinga Olympus.

“Baiklah, sebaiknya kalian jangan beranjak ke mana-mana.”

Karena tak mau berdebat, Olympus segera pergi mengikuti saran gadis judes yang tak begitu dipedulikannya. Sepatu yang dikenakan Olympus berubah seperti papan, lantas melesat membawanya ke terowongan bening yang mengular seperti selang itu. Are melihatnya dengan memicingkan mata, mungkin itu yang dipakainya saat pergi ke rumah dan mendobrak pintu, pikir Are. Benar saja, karena saat itu Olympus bisa dengan cepat sampai ke terowongan tanpa ketahuan, berkeliaran di kota kecil Are, dan sekarang si tikus berbulu itu menunjukkan atraksinya.

Sesaat berpikir, ingatan Are jatuh pada kapsul yang ditumpanginya. Bukankah benda itu sudah melakukan lima kali perjalanan, gumam Are. Dirinya harus mengisi ulang bahan bakar.

“Len, sebaiknya kita mencari bahan bakar kapsul untuk berjaga-jaga dari sesuatu yang kita takutkan tentang mereka. Aku yakin, orang yang tinggal di sini sama mengerikannya dengan kota yang mereka buat. Memang terkesan indah dan menakjubkan, tapi pembuatnya tak kalah seram sebagaimana kota ini tercipta. Kota kecil kita saja dibuat dengan tumpahan darah pengasingan orang yang tak mau merelakan tanahnya, entah bagaimana cara berdirinya kota ini, yang jelas kita harus waspada. Seperti Olympus, dia lucu tapi siapa yang tahu kalau hatinya tak selucu wajah berbulunya. Bukankah kau berpikir demikian, Len?”

Len mendengarkan kalimat Are tanpa semangat, dirinya masih menjatuhkan pandangan ke benda sekitar. Untuk yang sekian kalinya, dia merasa hambar karena saat menjadi pemandu mengatakan, “selamat datang di kota menakjubkan yang tak pernah ada, di mana peralatan super canggih hanya bisa ditemui di kota kecil ini”. Sekarang perkataan itu jauh dari kesombongannya membanggakan kota tempat dia tinggal.

“Aku tak tahu kita berada di negeri alien atau dongeng harapan masa depan. Takut kalau kita salah jalan akan masuk ke lubang hitam.” Len berucap dengan pandangan kosong.

“Ayolah, Len. Kita tidak sedang dalam imajinasi Stephen Hawking tentang teori lubang hitam atau tentang waktunya. Bukankah kau yang bersikeras melakukan perjalanan ini, lantas hanya berdiam diri seperti ini?”

Mendengar kalimat Are, gadis yang memasang mata kosong seperti telur semut itu mengalihkan pandangan. Telur semut di matanya menetas, menjadi hitam pekat seperti hendak menarik Are ke dalamnya, melumat dan memberi tahu bahwa dirinya tidak tuli, apalagi melupakan tujuan ke tempat itu untuk apa.

“Kau mulai cerewet. Memang aku tak bisa berpikir sepertimu untuk mengambil tindakan berikutnya? Apa perlu kita berpencar saja, dan kau berangkat lebih dulu? Tidak pernah senang melihat orang menikmati pemandangan? Aku bahkan sengaja membuat kita berpisah dari makhluk berbulu itu agar aku bebas. Kau malah mau mengatur-ngaturku seperti pemandu museum?”

Kali ini Are terdiam. Mulutnya benar-benar bungkam. Tak sudi hatinya dikatakan cerewet, sebab gelar cerewet itu untuk gadis di hadapannya. Tangan Are terangkat, menggaruk-garuk dagu. Tubuh bersih dan kedinginan itu tak gatal sebenarnya, hanya saja mencari alasan agar tak terlihat takut mendengar kalimat Len yang mengaum seperti singa.

Setelah puas memaki dan memandangi seisi kota, Len beranjak meninggalkan Are. Pemuda itu menguntit di samping kiri tapi sedikit ke belakang. Dia membiarkan Len memandu. Memang begitu keras watak gadis ini, gumam Are. Dia tak berani berucap keras seperti yang dilakukan Len saat menyinggung orang yang tidak disukainya, tapi dengan berjalan mengiringi tanpa jarak dekat, itu sudah cukup baginya sebagai bentuk sindiran.

Kedua tangan Are bersembunyi di saku celana bagian belakang. Len melihat tangan yang tampak kesulitan saat berjalan itu, lantas menyindirnya dengan menyikut pundak Are. Pemuda itu terlempar, hampir terjatuh karena guyonan Len. Cukup setelah itu mereka memasuki eskalator yang mengalir dalam selang transparan berukuran raksasa. Mereka meluncur ke gedung atas, memasuki daerah yang lebih elite. Karena semua tempat yang terlihat simetris, Are dan Len tak lagi bisa menentukan di mana letak mereka naik pertama kali. Atau, satu gedung manakah yang benar-benar dihuni seseorang yang dapat menunjukkan bahan bakar kapsul? Are ingat, dirinya tak hanya memerlukan bahan bakar biasa seperti di kota kecilnya, melainkan antimateri yang perlu diperlakukan istimewa dan kehati-hatian yang besar. Di mana tempat penjual bahan bakar aneh itu, pikir Are. Tidak ada satu gedung pun yang bertuliskan apa dan apa, apalagi bertuliskan tempat penjual antimateri, tempat penjual makanan saja tak mereka temui. Semua tempat bersih, putih, seputih terowongan sebelum berlumut. Begitulah ciri khas buatan masa depan. Semua bahan sekuat baja, tapi lebih ringan sepuluh kali lipat dari benda itu, lagi-lagi karena penemuan termutakhir teknologi pembelah atom.

Benda jenis baru berserampangan. Sampai di lantai atas, koridor yang bening lantainya tapi bergerak seperti eskalator. Mata Len masih tetap terpana. Dari atas, mereka dapat melihat hamparan bawah yang rupanya tidak sesimetris bagian atas. Mungkin orang di zaman ini masih terkontaminasi pemikiran atas lebih baik daripada bawah, pikir Len. Kata terkontaminasinya dilebih-lebihkan agar tampak dirinya terpelajar, walau sebenarnya bisa diganti dengan kata tercemar. Len tersenyum memikirkan kalimatnya.

“Aku tak mau bertanya kita akan ke mana,” ucap Are dengan nada ketus. Sebenarnya dia hendak menanyakan dirinya akan dibawa ke mana?

Len mengerti maksud Are, senyumnya makin mengembang. Mengapa tidak langsung menanyakan saja, malah dengan sindiran kotor kuno, gumam Len dalam hati. Len tak menanggapi kalimat pengekor di samping kirinya. Untuk apa ditanggapi, bukan pertanyaan juga, pikir gadis itu.

“Karena aku tak cerewet, aku harus diam tak bertanya,” lanjut Are meneruskan kalimat sebelumnya.

Jalan penghubung gedung satu dengan yang satunya lagi itu sepi, tapi setelah di ujung koridor kegaduhan terdengar. Seorang berbulu dengan pakaian ketat berwarna hijau seperti terlempar menghantam gedung. Are dan Len melihat kejadian sekilas itu. Mereka segera mendekat untuk membantu si pemakai baju hijau yang terduduk mengaduh kesakitan. Koridor di sana cukup panjang, Len dan Are perlu berlari sedikit mempercepat laju lantai bergerak yang seperti air nan syahdu itu.

“Aku tak apa. Kalian tak perlu membantu si tua ini berdiri.”

Orang yang hendak Are bantu berdiri menolak, menepis tangan pemuda yang sudah separuh membuat dirinya berdiri. Are tak peduli kalimat yang sama logat dan bahasa dengan penduduk kota kecilnya itu. Dia merasa orang yang dibantunya sedang amat payah. Atau, mungkin terlempar dari memperbaiki benda dengan tekanan listrik yang tinggi.

“Dasar benda nakal, sudah kuperbaiki malah aku yang ditendang.”

Gaduh orang berpakaian hijau ketat itu menyodor-nyodorkan palu panjang ke benda berbentuk kapsul yang berada di pojok ruangan, ruangan yang sama putih mengilatnya dengan kota gila tersebut.

“Sepertinya kalian orang baru di sini. Baju kalian, itu amat menyedihkan, bahkan lebih baik baju yang kupakai. Bisa jadi itu adalah pakaian prasejarah yang ada di museum bawah tanah. Kalian mencurinya?”

Are tergugup. Bukankah baju yang dipakainya adalah model terbaru di kotanya. Entah kalau yang dipakai Len, baju kebesaran itu tak cocok dipakai di kota kecilnya. Mungkin baju yang Len pakai yang dimaksud orang ini, pikir Are.

Orang yang Are tolong masih sibuk mengotak-atik benda seperti kapsul tersebut, lantas menarik sebuah kabel berwarna putih. Len tak mau peduli, dia mengamati seisi ruangan. Ruangan yang Len pijaki cukup luas, seluas taman di kota kecilnya. Tak ada yang aneh kalau mengira bahwa ruangan itu adalah lapangan bermain, tapi kalau disebut rumah jelas aneh bagi Len, sebab tak ada tempat duduk, tak ada pintu ke suatu kamar atau tempat tidur, mata Len tak menangkap adanya benda seperti itu.

“Kalau boleh tahu, kita berada di abad ke berapa?” Are memberanikan diri menyela pekerjaan orang di hadapannya.

“Semua orang tahu bahwa sekarang awal abad ke dua puluh dua. Aku tahu aku tak begitu ramah pada orang baru. Tapi kalian benar-benar aneh.”

“Perkenalkan aku Are dari abad ke dua puluh satu. Dia Len,” ucap Are seraya menunjuk ke arah Len.

“Sebut saja aku si tua yang malang, pembantu di rumah ini.”

Beberapa saat setelah mengatakan kalimat tersebut, si pemakai baju ketat hijau terdiam. Seperti memikirkan sesuatu yang rumit, kepalanya tertunduk dan sedikit mengangguk-angguk tapi pelan. Telinga panjangnya terangkat seraya bergerak-gerak.

“Abad ke dua puluh satu? Kalian dari abad ke dua puluh satu?!”

Sontak orang yang mirip Hamster dan Olympus itu membalikkan badan. Dengan cepat dia melangkah, lalu meraba tubuh Are. Sedetik kemudian berpindah, meraba tubuh Len. Len berteriak seraya berlari mencari perlindungan di balik tubuh Are. Si tua yang malang tak peduli, dia ingin meraba dan merasakan kealamian tubuh yang berada di depannya.

“Maaf aku telah membuat kalian takut. Kalau memang benar kalian dari abad itu, kalian adalah manusia sempurna yang tidak terkontaminasi bahan kimia. Tidak seperti aku yang tercipta dari hasil genetika dan kelakuan kotor manusia di abad ini. Ah, tapi bukankah baru beberapa jam lalu alat mesin waktu mutakhir dipatenkan? Kalian mencoba berbohong karena mencuri baju prasejarah itu, kan?”

“Malah kami tak mengerti apa yang kau bicarakan. Sebelumnya, apakah kau tak memiliki nama seperti Olympus dan Hamster?” Are tertawa getir seraya mengucapkan kalimatnya.

“Bukankah bentuk dan rupa kalian sama?” Len menambah.

“Sebenarnya aku punya nama. Segala makhluk di dunia ini seharusnya punya nama.” Orang berbulu itu memalingkan pandang, matanya tertuju ke lantai yang transparan dan putih.

Len melongo di atas pundak Are. Dia masih takut kalau-kalau si berbulu merabanya lagi. Sementara kedua bahu Are dicengkeram oleh tangannya. Makhluk macam apa yang tak bisa menjaga sopan santunnya, pikir Len. Mungkin makhluk berbulu itu tak tahu perbedaan jenis kelamin.

“Aku menamai diriku seperti apa yang aku sukai. Majikan rumah ini tak pernah memanggilku dengan nama, melainkan sampah. Sebaiknya aku tak perlu mempedulikan nama yang kalian tanyakan. Panggil saja aku si tua sampah. Atau si tua malang seperti yang kukatakan sebelumnya.”

“Bukankah ini rumahmu?”

“Bukankah ini tak lebihnya lapangan hampa?” Len menimpali kalimat Are.

Orang yang memaksa dirinya dipanggil si tua sampah sigap menekan dinding. Seperti rekahan bunga matahari di pagi hari, sofa, meja, kamar tidur, dan pintu-pintu pembatas beserta dindingnya bermekaran.

“Ini adalah rumah majikanku. Bukan lapangan.” Si tua berucap ringan. Kedua tangannya tertimpa di bawah perut buncitnya.

Len dan Are takjub. Tanpa sadar, ada sebuah kursi yang muncul tepat di belakang Len, dia terduduk setelah ujung kursi membentur bagian belakang lututnya. Are ikut terduduk karena tertarik oleh tangan Len. Segera mereka berdua ribut, sedang sepasang mata berbulu yang melihatnya tertawa kecil.

“Mesin waktu. Kalau memang benda itu sudah bisa mendatangkan kalian, berarti sudah mendapat lisensi, tapi bukankah baru beberapa jam lalu? Dan nama yang kalian sebutkan tadi? Hamster, ya, dia adalah penemu mesin tak masuk akal itu. Dia termasuk yang beruntung tidak menjadi sampah pembersih rumah seperti aku.”

“Kau mengenalnya?” Are berucap seraya berdiri.

“Seharusnya makhluk ciptaan seperti kami saling mengenal. Tapi saat ada yang gagal, kecerdasan yang mereka harapkan tidak terpenuhi, kami akan menjadi sampah, lalu diperbudak seperti diri ini. Hamster adalah makhluk seangkatanku yang berhasil meningkatkan kecerdasannya melebihi komputer, hingga berhasil menciptakan beberapa penemuan. Dulu dia adalah master penemu dan terjenius. Setelah masanya tua, lahir hasil genetika-genetika yang melebihi kepintarannya. Dia terabaikan, hingga namanya terangkat kembali setelah menemukan mesin waktu beberapa jam lalu. Kudengar dia memiliki rahasia yang hanya sedikit orang mengetahuinya.”

Ruangan hening. Len duduk santai mendengarkan, sedang Are memandang ke arah lain, ke tempat tidur yang putih seperti kapas, pintu kamar mandi dengan desain kota-kotak sederhana, serta meja bundar putih seperti kaca yang menyerupai jamur payung.

“Mungkin ini yang dinamakan kebetulan serangkai. Kalian datang ke tempat ini, dan aku baru saja menemukan ciptaan yang rumit. Majikan rumah menyuruhku memperbaikinya. Kalian bisa membantuku menarik kulit benda keras itu? Aku harus memeriksa penyebab matinya daya di benda itu.”

“Maaf, kami tak ada waktu untuk itu. Sebenarnya kami datang untuk mencari sesuatu yang bisa menambah tenaga mesin waktu. Mungkin kau tahu di mana tempat seseorang yang menjual antimateri?” Are bertanya, sekaligus menolak tawaran memberi bantuan.

“Antimateri? Benda berbahaya itu tidak diperjualbelikan. Kalau kalian tidak mau membantu biarlah, berarti kebetulan yang lain bukan untuk kalian. Pergilah!”

“Aku hanya berharap ada bantuan, kalau kau seramah Hamster, tentu kau akan memberi tahu kami tujuan berikutnya.” Are coba memaksa dengan kalimat perbandingan yang dilebih-lebihkan.

“Datanglah ke gedung bawah dengan moncong rumah prisma segitiga.” Ketus si berbulu berucap, ada nada kecewa di sana.

“Terima kasih.”

“Kuharap kau tak menipu kami.” Len menimpali kata terima kasih Are.

Mereka menjauh, meninggalkan rumah kubus simetris itu tanpa membalikkan badan.

“Carilah yang bernama tuhan, dia serba tahu!”

Are dan Len hanya mendengar kata terakhir dari teriakan si berbulu yang malang di tengah koridor. Mereka tak lagi peduli. Cukup kata terima kasih penunjuk kepedulian mereka atas arah yang masih sulit dipahami di bagian mana gedung dengan moncong prisma segitiga berada? Tahulah, kota yang mereka datangi tak sekecil kota tempat mereka tinggal.

Dari ketinggian ratusan meter, gedung yang dimaksud pembantu rumah itu dapat terlihat. Are berpikir untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi untuk mencarinya.

***

Setelah berputar-putar menghabiskan waktu beberapa jam, Len dan Are menemukan gedung dengan moncong prisma segitiga. Cukup sulit untuk memasuki gedung tersebut, mereka harus berbohong menjadi kelinci percobaan di gedung itu. Orang yang menanyakan dan mendapat jawaban demikian tersebut mengernyitkan dahi, lantas membiarkan mereka masuk karena memang di gedung tersebut sering kedatangan hal-hal aneh, ditambah pakaian aneh yang sama sekali berbeda tersebut, sontak semua penjaga percaya. Tak jadi hal aneh lagi semisal yang datang benar-benar makhluk astral.

Tempat yang mereka datangi dengan melihatnya dari ketinggian langit—yang saat ke ketinggian itu hanya menginjakkan kaki di eskalator transparan secepat angin lantas sampai—tersebut menyambut dengan hangat. Saat itulah mereka dapat membedakan siapa saja yang hidup di tempat itu. Pekerja dengan pakaian sama, Are melihat pakaian itu kebesaran bagi pemakainya lantas bisa menyesuaikan diri dengan tubuh kecil si pemakai. Bukan hanya takjub, Are seakan berada di dunia yang akalnya tak bisa menjangkau.

Tanpa menyadari ada yang datang beberapa langkah dari tubuh Are dan Len berdiri, seseorang menyikut mereka, membuat Are dan Len terbanting telungkup di lantai putih bening tersebut.

“Kalian harus hati-hati berdiri di tempat ini. Sedikit saja lengah, kalian bisa terjatuh ke gerigi mesin yang belum sempurna.”

Lihat selengkapnya