Untuk yang kedua kalinya terowongan itu didatangi dua kapsul secara bersamaan. Seluruh ruangan putih benderang. Untuk yang kedua kalinya pula satu orang dari satu kapsul turun memijaki lantai yang bersih berkilau seperti kaca.
“Bagaimana ruangan ini kembali bersih?”
Dari dalam diri masing-masing yang keluar dari kapsul bertanya-tanya. Mereka belum begitu mengerti tentang persamaan waktu, di mana mereka bisa saja pergi satu detik dan kembali pada detik berikutnya sedang mereka telah menjalani kehidupan berhari-hari di suatu tempat yang lain. Mereka tidak mempercepat atau memperlambat kepulangan seperti sebelumnya, jadi tak heran keadaan tetap seperti keberangkatan awal, sebelum saat kembali dari perjalanan mendapat batu, mereka memperlambatnya satu jam.
Di waktu yang tepat, tentu ada Hamster di ruang kerjanya. Are segera melangkah mencari seseorang. Tempat yang bersih menandakan keberadaan penghuninya, pikir Are.
Di kursi yang sebelumnya diduduki Len saat pertama kali sampai, kini kembali diduduki lagi. Len merasa lelah. Semuanya dirasa tak bisa dimengerti. Tentang kehilangan si hewan berbulu yang bernama Olympus, tentang penjelasan Hamster yang tidak jelas apa maksudnya. Jelas, itu hanya pamer kecanggihan masanya saja, pikir Len. Dan kini dirinya benar-benar bingung, kalau terowongan kembali seperti semula, berarti Hamster juga ada. Kalau Hamster ada, mengapa harus repot-repot ke masa depan mendengar penjelasannya dan melihat-lihat hal yang membuatnya merasa kerdil dan ciut? Sungguh Len ingin kembali ke kotanya, tidur di ranjangnya yang empuk.
“Are, sebaiknya kita kembali. Aku lelah. Lupakan tentang perjalanan, tentang terowongan dan mimpi aneh ini.” Len mengucapkannya dengan nada suara yang lemas. Tubuhnya duduk tak semangat meletakkan dagu di atas telapak tangan yang dijadikannya penyangga. Matanya seperti memberat, tampak sekali dia sedang pusing.
Are tak mempedulikan ajakan Len. Dia sibuk memasuki ruangan, melengak-lengok memastikan keberadaan seseorang. “Hamster?!” Dia berteriak memanggil. Tak ada yang merespons.
Len dalam keadaan yang tak begitu semangat memastikan keberadaan seseorang, matanya menangkap sebuah buku bersampul putih kukuh dengan ketebalan jari kelingking tegeletak di atas meja ruangan. Buku itu menutupi satu tombol yang sebelumnya digunakan untuk mengeluarkan kapsul dari bawah lantai. Len hanya menatap lelah buku itu, tak ada niat untuk menyentuhnya.
Are masih berteriak-teriak tapi dengan nada yang dipelankan memanggil Hamster. Tetap tak ada suara tanggapan dari panggilannya. Terowongan itu memiliki banyak ruangan, dan tak mungkin dia memasuki keseluruhannya yang memiliki pintu pengaman tersendiri. Terowongan di setiap jalannya pun serba sama seperti labirin. Karena merasa memang tak ada siapa-siapa, Are kembali ke ruang utama, di mana ada Len yang duduk tercenung menatap ke sebuah meja bundar putih bening.
“Tak ada siapa-siapa. Apakah kau mendengar sesuatu, Len?”
“Aku mendengar suaramu yang bermain petak umpet.”
Are mendekat ke arah meja. Tubuhnya berusaha mencari sandaran. Tepat pada saat mendekat, Are menatap wajah Len yang memandang kosong ke arah meja. Are mengikuti pandangan kosong tersebut, lantas matanya menangkap sebuah buku. Dia pikir Len sedang ingin mengambil buku tersebut dengan memandangnya, berharap buku itu bisa terbang dan berada di depannya. Ah, itu sihir imajinasi.
Di sampul buku itu tertulis rapi kalimat, aku tahu buku ini akan kamu baca. Are membaca kalimat yang menghiasi sampul. Tulisan tangan yang sederhana berukuran besar seperti judul dari buku itu memperjelas sekaligus memperburam pertanyaan.
“Kau ingin membaca buku ini?” Are melempar buku yang diambilnya ke arah Len yang sedang tak siap menerima lemparan.
Len tergagap dan jatuh dari atas kursi karena benda terbang yang memutus lamunannya. Are tertawa kecil. Pemuda itu tak mau membantu Len yang sedang kesusahan berdiri. Len kembali ke atas kursi, menaruh mimik marah pada Are yang melemparinya sesuatu. Tapi tak ada niat untuk membahas sesuatu, apalagi meladeni Are bertukar mulut.
Kembali tercenung menopang dagu. Len berpikir, seharusnya dia menjadi seorang yang bebas tapi berarti. Tentang hidup, dia menginginkan hidup yang bisa dikenang, tidak seperti tikus dan semut yang mati tanpa sesuatu yang berarti. Ingatan Len melayang ke beberapa kejadian dalam perjalanan. Kepalanya sadar seraya mengulang kesadarannya dengan pertanyaan. Bukankah baru beberapa jam lalu dirinya berada di suatu tempat yang amat jauh? Di zaman yang telah lama lampau? Tapi apakah orang di kehidupan lampau itu mati dalam keadaan yang berarti? Mereka mencapai kehidupan akhirnya dengan sempurna? Len mempertanyakan semua itu. Kepalanya memberat, membuat dagunya sesekali terlepas dari topangan.
Untuk kesekian kalinya dagu itu lepas dari topangan, matanya kembali mendapati buku yang sebelumnya berada di atas meja. Aku tahu buku ini akan kamu baca, gumam Len. Tangannya pelan menggapai buku yang berada dekat di bawahnya.
Perlahan Len membuka buku itu. Terjejer tulisan yang semua hurufnya tersambung dalam setiap satu kata. Len berpikir itu buku Hamster. Di zaman yang super canggih dan elite masih mencatat sesuatu dengan kertas? Len mengerutkan dahi membuka cepat semua halaman. Hanya terdiri dari beberapa halaman yang terisi tulisan, sisanya bersih dari tinta hitam. Kembali Len membuka lembar halaman pertama setelah sampul.
“Len, mungkin aku sudah menjelaskan masalah bagaimana Hamster menemuiku dan meyakinkan diri ini untuk mengikuti kemauannya.”