Rumah kayu dengan keadaan sekitar yang sederhana ramai dengan perkumpulan. Orang-orang mencari cara menyelipkan kepalanya untuk melihat siapa yang menang dalam pertarungan mulut. Perdebatan yang berlangsung lama dan memakan sisa rambut di kepala itu memanas. Anehnya, keramaian tersebut tanpa suara yang timpang tindih atau saling sikut. Mereka sedang menyaksikan, tak ikut berisik memecah pertarungan.
“Ada lagikah orang bijak di tempat ini?”
Seseorang yang menang perang mulut berdiri seraya membelah keramaian. Orang-orang menggeleng. Tak ada yang mengangguk untuk menyatakan bahwa di antara mereka masih ada yang siap menantang. Mereka tak melakukan perlawanan setelah orang yang mereka jadikan orang terbijak di tempatnya kalah kebijakannya.
Semua orang kembali berpencar, menggiati kegiatannya masing-masing. Yang berdagang membawa dagangannya dalam gerobak, lantas menutupinya dengan kain. Dua kayu menonjol yang panjangnya satu meter di pegang erat, berangkat. Yang berladang memegang tongkat panjang tajamnya, penutup kepala di atas rambut diperbaiki lantas menembus panas yang terik.
Ekonomi sederhana, dalam kehidupan hanya ada perkumpulan keluarga, kebutuhan pokok, kebutuhan jiwa, bertebaran jasa dan saling memberi pemahaman antar sesama yang tak mengerti. Kehidupan di tempat sederhana yang dekat dengan kota kerajaan tersebut lumayan berubah cepat. Beberapa dekade perbuatan mereka tak berlandas dan cenderung saling mengibuli. Namun setelah pertarungan-pertarungan mulut yang mereka saksikan, mereka menjadi sedikit paham bahwa hidup adalah menjalani perannya sendiri sebaik mungkin, tak peduli bentuk keras untuk mendapatkan hal baik, karena kebaikan yang tinggi bagi mereka adalah keburukan yang tinggi pula.
Banyaknya perubahan membuat warga sekitar kerajaan juga lebih senang melakukan perjalanan seraya membawa niat masing-masing. Sebagian memang ada kebutuhan berdagang, mengharap keuntungan. Sebagian lagi hanya sekadar bertamasya ingin tahu kasak-kusuk perihal seseorang yang menantang setiap kepala suatu warga yang dianggap bijak.
“Aku bertualang dan mendatangi setiap orang bijak bukan karena sombong dan ingin dikenal seperti saat ini, melainkan aku ingin membuktikan bahwa aku tidak bijak.”
Orang yang selalu berjalan dan mendatangi setiap pertarungan tersebut menyatakan demikian ketika ada seorang yang bertanya, untuk apa kau mendatangi setiap orang bijak dan mempermalukannya? Si yang sering menantang, yang dikenal dengan panggilan Setarcos tersenyum. Baginya, diri tersebut betualang mendatangi berbagai tempat, kalangan, perkumpulan demi perkumpulan bukan karena dirinya sekadar mencari jati diri tentang kebijaksanaan. Dia hanya ingin membuktikan bahwa suara bisik-bisik seperti iblis di telinganya hilang. Iblis itu mengatakan bahwa dirinya adalah orang terbijak di dunia. Setarcos tak percaya. Bagaimana dirinya bijak sedang dia tak merasakan kebijakan. Satu cara untuk menguji dia bijak atau tidak, yaitu dengan mendatangi setiap orang yang dianggapnya bijak.
Dalam perjalanan Setarcos menuju kota kerajaan, di tengah perjalanan, dirinya seperti dihalangi dua cahaya iblis yang membawa buah simalakama untuk menggodanya. Setarcos mundur tak mau tahu apa yang baru saja datang di hadapannya. Iblis mau mengibulinya lagi, atau mau mempersulit keadaannya yang belum sampai pada jawaban bahwa dirinya bukanlah yang paling bijak.
Di beberapa pelosok tak ada lagi orang bijak yang menganggap dirinya bijak dan ingin bertarung mulut, hingga satu-satunya cara mendatangi perkumpulan yang lebih elite adalah di sekitar kerajaan. Tapi, lagi-lagi Setarcos menyumpahi perjalanannya. Karena walau bagaimanapun dirinya berusaha menjauh, sesuatu yang keluar dari moncong telur iblis yang menetas tersebut mengejarnya. Seperti orang gila Secartos berlarian. Walau sebenarnya lari atau tidak dia tetap dianggap seperti orang gila oleh orang sekitar. Orang-orang berpikiran, hanya orang yang waraslah yang tidak akan memilih menyusahkan dirinya dengan pergi ke berbagai tempat hanya dengan pertanyaan, adakah orang bijak di sini? Atau, siapakah orang terbijak di tempat ini? Sebagian orang mencemoohnya.
“Tunggu. Kumohon tunggu!”
Suara seorang perempuan memaksa untuk diperhatikan. Dalam gumaman diri Setarcos menyatakan, iblis perempuan yang menampakkan dirinya secara langsung adalah situasi yang sulit, sebab kalau salah kata akan dapat menyinggung dan memberinya kutukan yang lebih panjang lagi.
“Tahukah anda zaman apa sekarang?”
Iblis yang aneh, pikir Setarcos. Si iblis berusaha mengibulinya dengan pura-pura tidak tahu di mana dirinya berlabuh. Dalam pikiran Setarcos ingin menyatakan bahwa sekarang adalah zaman pencarian orang bijak. Tapi pikiran jailnya segera tertutup rapat, itulah yang seringkali membuatnya yakin bahwa dirinya bukan orang bijak, si sikap jail dan tampak keras kepala masih saja bergelantungan di benak dan sikapnya.
Setarcos yang berusaha menjauh dengan berjalan cepat seperti mau berlari, terhenti. Sesuatu yang dianggapnya iblis memegangi penutup tubuhya yang berkibar. Dirinya harus berhenti, sebelum penutup tubuh itu sobek kemudian dia harus berjalan telanjang. Tambah dianggap gila nanti oleh sekitar.
“Tinggalkan aku. Ini zamanku, kau memiliki zaman kau sendiri.”
Di posisi perempuan yang dianggap iblis terdiam, melepaskan genggaman yang mengait di penutup Setarcos. Yang dianggap iblis perempuan tersebut terdiam bukan karena Setarcos tak mau melihatnya, tapi kalimat yang menyatakan bahwa dirinya memiliki zaman sendiri itu memang benar. Dia berpikir Setarcos tahu keadaannya, tahu bahwa dia dan satu lagi temannya dari masa yang lain.
Setarcos cepat-cepat pergi setelah penutup tubuhnya terlepas dari cengkeraman si iblis perempuan. Arah perginya tetap seperti tujuan awal, ke lereng kerajaan, di sana keramaian kota dan penduduk mengelilinginya.
“Kita ikuti saja dia. Memang apa yang telah dikatakannya hingga kau merenggut seperti itu?”
“Dia tahu bahwa kita tak seharusnya berada di zamannya. Kita memiliki zaman kita sendiri. Ada baiknya kita kembali, Are.”
“Sudah kubilang ini bukan urusanmu. Tapi kau memaksa mengikutiku. Cukup hebat juga, ternyata kau bisa tahu aku datang ke zaman ini. Atau jangan-jangan kapsul telah bersekongkol, memiliki sistem tersambung yang membawamu sama persis di waktu yang bersamaan?”
“Akut tak mau berkomentar. Seseorang yang berubah menjadi cerewet tak patut dihadapi dengan tingkat kecerewetan yang sama. Perlu kau tahu, aku mengikutimu bukan karena mengurus atau pikiran lain yang kau pikirkan. Kau harus sadar bahwa semua perjalanan ini tak ada artinya. Semua hanya omong kosong Hamster. Ada baiknya kita kembali menjalani hidup normal. Lelaki separuh baya tadi benar, bahwa kita tak seharusnya berada di zamannya, kita memiliki zaman kita sendiri.”
Sesosok tubuh tak mempedulikan pembicaraan yang membela tujuannya. Dia harus segera mengejar orang yang katanya tahu bahwa mereka tak sepatutnya berada di zamannya.
“Are, kita harus kembali!”
Sesosok tubuh yang lain mengejar ingin menghentikan.
***
Tenda-tenda dengan kain rajutan yang menopang diri pada dua balok kayu mengangguk-angguk. Udara syahdu membuatnya sedikit meronta untuk lepas dari ikatan melindungi panas. Sebagian orang sibuk menawar, sebagian juga sibuk menentukan nilai.
“Nilai suatu barang dilihat dari kegunaannya. Tak sepadan sekali kalau sepatu penemuan terbaru ini diberi nilai lima potong ikan. Menukarnya dengan lebih dari itu aku hargai. Lima potong ikan ditambah setengah karung gandum yang kau bawa.”
Len mendengar seraya melihat ke arah orang yang sedang melakukan kesepakatan. Beda halnya dengan Are yang sedang kelimpungan mencari sosok orang yang ingin diikutinya. Bagi Are, kalau memang benar orang tersebut tahu bahwa dirinya tak sepatutnya berada di zaman tersebut, berarti orang itu serba tahu. Dirinya harus menemui lelaki yang lari itu. Keramaian pasar yang sesungguhnya tidak begitu ramai membuatnya jengkel. Bukan hanya karena tidak tahu dirinya berada di zaman apa, tapi keadaan yang sungguh berbeda membuatnya harus selalu waspada. Menurut otaknya sendiri, seingat bacaan buku lama yang dipelajarinya, di zaman tertentu ada kalanya peperangan terjadi kapan saja di suatu tempat. Karena sifat buas berburu dan hidup yang masih mengandalkan sumber alam tanpa inovasi sendiri itu lebih keras, pikir Are.
Terpaksa Are harus memerhatikan Len. Gadis itu, sudah diharap untuk tidak ikut malah memaksa. Untuk yang kesekian kalinya dia harus menarik tangan Len untuk cepat. Gadis itu seperti terhipnotis oleh keadaan yang tenteram.
“Samudera yang airnya diam membahana bukan berarti bagus untuk menyelam, Len. Bisa jadi di bawah kedamaian datar tersebut tersimpan kebrutalan ombak dan beribu ikan mematikan yang menunggu. Kita harus cepat menemukan orang tadi.”
“Lepas.” Len berusaha melepaskan genggaman tangan Are. “Bukankah kau bilang ini bukan urusanmu? Terserah aku mau tertinggal atau tak mengikuti maumu.”
“Jika kau sudah memaksa ikut, maka sudah menjadi tanggung jawabku untuk memberimu arah. Ditambah, ibumu seringkali mengingatkanku untuk menjagamu, Bayi.”
Orang yang disebut bayi merenggut, memasang wajah merah. Sontak Are menyadari apa yang dikatakannya seraya melepaskan cengkeraman di tangan Len. Bagaimanapun, Are masih takut terhadap tampang marah Len.
“Baiklah, terserah kau mau bagaimana. Tapi berusahalah untuk tidak menjauh dariku. Kita harus tetap bersama.”
Len yang mendengar kalimat yang tampak mengedepankan penyesalan itu bersorak dalam hati. Jarang-jarang dia berhasil mengalahkan sikap Are tanpa berargumen apa-apa. Tapi tetap hati Len menggerutu, bahwa dirinya terserah mau jauh atau dekat, bukan urusan Are juga. Sudah berkali-kali pemuda itu mengatakan demikian, bukan urusannya. Memang kalau dia jauh lalu berpencar adalah urusannya, sejak kapan? Len tanpa sadar telah menaruh dendam. Bukan hanya satu kali dirinya kalah masalah harus tinggal karena bukan urusannya, tapi sudah dua kali, pertama di terowongan, lalu saat berusaha menghentikan seseorang yang tahu kalau dirinya tak pantas berada di zaman orang tersebut. Len berpikir, bahwa dirinya juga harus melakukan pembalasan dua kali pula. Sudah satu pembalasan.
Pemuda yang mengalah tersebut memberi jalan Len untuk memimpin. “Carilah orang itu, kurasa dia bisa membantu banyak.”
Len menatap datar. Dirinya sengaja tak bicara, hanya bicara lewat pandangan, berharap Are sadar bahwa dirinya tidak mau diperintah-perintah lagi.
“Baiklah, lelaki yang kau anggap serba tahu itu biar aku yang mencari.” Are berjalan seraya memandang sekitar. “Lebih cepat mendapat jawaban, lebih cepat pula kita kembali dan menjalani hidup normal. Bukankah begitu, Len?”
Yang ditanya tak merespons apa-apa. Are khawatir Len tidak hanya sekadar marah. Dia ingin minta maaf, tapi merasa tidak elite minta maaf pada sesuatu yang tampak tak berguna, urunglah pikiran untuk minta maaf tersebut. Bagaimana kalau dia tak punya maaf, apa aku harus merampok maafnya? Are berpikir seraya memasang telinga lebar-lebar mendengar keberadaan Len di belakangnya. Gadis tersebut mengikuti, walau dalam sikap yang dingin.
Di ujung jalan selepas pasar ada sebuah perkumpulan dari para pedagang yang dianggap paling bijak karena mengaku dirinya bijaksana. Are melihat kerumunan tersebut. Di sebuah tempat peribadatan yang tampaknya sakral, atapnya tak terlihat ditutupi kain, melainkan hamparan batu yang lapang, lalu dindingnya seperti guratan bebatuan di dalam gua. Warna tempat itu cokelat kemerah-merahan yang disela-selai warna hitam belang. Sebagian pedagang yang selesai dari berkutat tawar-menawar duduk di tempat yang lebih tinggi, yang berdiri sudah setara tingginya dari yang duduk. Ada tontonan yang tampak seru, pikir Len. Dia hendak mendahului Are, tapi sebuah lengan menghalangnya.
“Kita harus berganti baju, menyesuaikan diri dengan orang-orang sekitar,” ucap Are seraya menghalau Len supaya mengikutinya ke sela-sela pedagang yang berjualan pakaian.
Len menurut, menatap Are dengan mata jelalatan. Bukan dia tidak mau diperintah-perintah, tapi apa maksudnya berganti pakaian, sedang Len sudah merasa baik-baik saja dengan pakaian yang dikenakannya.
“Kau tidak melihat orang-orang sekitar yang memandang kita dengan tatapan aneh? Tidak semua hal yang kau anggap baik adalah baik, di suatu kalangan dan ruang tertentu berpandangan lain tentang apa itu baik. Sekarang bergantilah, kita tukar baju ini dengan baju terbaru,” jelas Are.
“Mengganti pada yang lebih baru? Bukankah lebih terbaru pakaian kita daripada baju kuno yang tak berjahit ini? Semuanya serba tali temali. Aku tak terbiasa memakai hal seperti itu, seperti handuk yang terkena lumpur dan gatal.”
Tanpa alasan lain, Are melempar pakaian ke wajah Len. Membuat mulut yang mau protes itu bungkam. Bagaimanapun dirinya harus menurut dalam situasi yang tak bisa diprediksi. Sementara Are berusaha menawar pakaian tersebut, Len membuka baju di tempat penggantian khusus di bilik kecil dekat kedai.
Satu pakaian bagian atas dilempar ke arah Are, Are memberinya ke penjual. Dengan isyarat yang seperti dikuasainya, Are tampak handal dalam menawar.
“Kuberi pakaian yang lebih berkualitas, terbuat dari separuh sutera. Belum ada yang punya hal seperti ini, dan kami ingin memberi tawaran padamu dengan hanya dua pakaian. Maksudnya, pakaian yang kukenakan sekarang akan kita tukar dengan pakaian di kedai ini.”
Orang yang diajak bersepakat hanya manggut-manggut. Sejak pertama kali melihat dua orang dengan pakaian yang dianggapnya bagus tapi aneh tersebut, dia tak bisa berbicara lebih. Datang padanya dan menawarkan pakaian yang sama sekali berbeda, dengan bahan rajutan yang lebih rapat dan benang sekecil rambut membuat orang itu takjub. Belum ada benang sekecil dan bisa dibuat berwarna-warni seperti yang demikian di tempatnya. Sebuah tawaran yang tak bisa ditolak oleh pedagang tersebut.
Len melilit-lilitkan kain tebal yang dilempar Are secara sembarang. Pikirnya, yang penting bisa kuat melekat tak terbuka saat ada angin nakal mencoba menyingkap kulitnya. Are yang melihat penampilan baru Len memasang wajah datar. Segera dirinya mengganti tempat penggantian pakaian, masuk dengan cepat membawa kain yang lebih pendek, hampir sama tapi beda dengan pakaian yang telah dikenakan Len.
Di depan penyedia kain Len mematut-matut diri. Sayangnya tak ada cermin di sana, jadi Len tak bisa melihat betapa lucu dan kuno dirinya. Si pemilik kedai meraba-raba pakaian yang dirasanya amat halus di tangan. Hanya saja bentuk yang beda, serta tak bisa melilit badan seseorang membuat penerima itu sedikit kecewa. Bagaimana kalau tak ada orang yang suka, pikirnya. Tapi dia memilih untuk memakainya sendiri. Ditambah lagi pakaian yang akan diterima setelah Are keluar dari bilik penggantian pakaian.
***
Setarcos menggenggam erat tangan seseorang yang telah menjadi sahabat sepemikirannya. Baru saja, setelah bertarung lama, dengan mengemukakan argumen dari pertanyaan yang terus dikejar, dia berencana pergi ke suatu tempat yang lain, mencari si pengaku bijak lainnya. Bagi penyimak, pertarungan mulut antara Setarcos dengan pedagang bijak masih mengiang di tempat sakral tersebut.
“Menurutmu apa itu manusia?” tanya Setarcos pada si punya tempat. Ini pertanyaan hampir terakhir dari pertanyaan panjang lainnya.
“Manusia ialah yang berpikir.”
Jawaban si pedagang bijak yang dikenal dengan sebutan Pecos membusungkan dada. Pedagang lain yang menyaksikan manggut-manggut. Membenarkan jawaban orang yang dipercayainya sebagai terbijak.