“Ada satu hal yang ingin kukatakan.”
Kalimat Are menghentikan Len yang sudah mengangkat kaki, hendak melompat ke dalam kapsul. Dia segera turun, menatap Are datar. Matanya mengarah seperti berucap agar Are segera melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.
“Mungkin ini terkesan konyol, Len. Ah, baiklah, aku ingin kau meminum ini dulu.” Are menyodorkan sesuatu pemberian Alya. “Minum separuh, jangan habiskan. Sisakan setengah untukku.”
Len tak mau mengulur waktu, karena ingin cepat kembali, dia tanpa bertanya atau menaruh curiga segera meminum sesuatu yang disodorkan Are. “Ini,” ucapnya seraya mengembalikan botol kecil ke tangan Are. Dari tangannya, dia melihat Are segera meminumnya pula.
Tanpa kalimat lain, Len mengangkat kaki, melompat ke dalam kapsul. Are yang selesai meminum hingga tak tersisa air dalam botol kecil di tangannya memicingkan mata seraya melihat Len.
“Satu hal yang ingin kukatakan belum usai.”
Sumringah Len memalingkan wajah. Dia tertawa getir. “Apa lagi? Tadi sudah.” Dia protes, malah siap mau menekan tombol merah di depannya.
Are pikir itu adalah kesempatannya, di momen yang tepat, juga situasi yang tepat. Dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Hatinya yang entah mengapa gaduh, dan dia berusaha memahaminya, ingin segera membungkam kegaduhan itu. Perihal sesuatu yang sedikit berat di tenggorokannya. Dalam hati, pemuda itu ingin sesegera mungkin. Tahulah bahwa mengungkapkan sesuatu yang tak bisa diungkapkan itu adalah hal yang sulit.
“Len?” Refleks tubuh Are mendekat ke bibir kapsul. “Turunlah dulu. Aku berjanji kita akan kembali secepat mungkin, tapi setelah sesuatu yang ingin kukatakan.” Tangannya menjulur ke dalam kapsul.
Dia ingin membantu Len turun. Tapi gadis yang ingin dibantu menepis. Dengan gerak malas dia turun. Menghembuskan napas. Menatap Are dengan tatapan serius. Are sendiri segera merasakan keringat sebutir jagung bermunculan di bagian badannya. Dia tidak gugup, tapi kaku.
“Apa? Sebaiknya kau cepat sebelum aku tak mau meninggalkan tempat ini. Kalau hanya hal yang tidak penting, kita bisa bicarakan sesudah sampai, Are.”
“Ini tidak penting. Tapi harus kuucapkan. Begini.” Are meletakkan kedua tangannya ke balik kain berajut. “Pernah kudengar ayah berbicara kecil dengan ibumu. Kau tahulah tentang mereka. Tapi, di pembicaraan yang tak sengaja kudengar, mereka berencana menikahkan kita.”
Len terbatuk. Tepatnya dia pura-pura terbatuk seraya berusaha ingin kembali ke dalam kapsul. Tangan Are menariknya. Dia kembali berdiri seraya memasang wajah memerah dan tersenyum manyun. Dalam pandangannya dia menganggap Are sedang bergurau. Tapi seumur-umur, pikir Len, pemuda itu tak pandai membuat humor. Dia ingin muntah.
“Dengar, Len. Kita sudah lama bersama. Itu adalah hal serius. Kau tidak mau bukan menikah denganku? Hanya karena kisah percintaan mereka tandas, lantas ingin meneruskannya pada kita?”
“Terus hanya itu yang ingin kau bicarakan? Are, kita bisa membicarakan hal konyol itu di terowongan. Lagi pula aku tak begitu mempedulikannya. Sekarang kita kembali. Kau hanya mengulur waktu.” Len sungguh tak sabar ingin kembali.
“Jadi kau tak keberatan dan tak menganggap itu hal penting? Tentang kita yang akan dinikahkan?”
Len mengangkat bahu. Jauh hatinya menerima, menganggap santai semua itu. Lagi pula itu hal yang tidak mungkin, pikir Len. Mereka sudah dekat dari kecil bak saudara. Lantas apa yang ingin dipermasalahkan?
“Aku pun demikian.”
Singkat kalimat Are membuat Len terperangah.
“Maksudmu?”
“Seperti maksudmu.”
“Maksudku apa? Ah tidak, bukan berarti aku menerima hal yang tak elite itu, ya.”
“Jadi itu masalah atau penyelesaian bagimu, Len? Kau tak menganggapnya penting, bukan? Ya sudah, kita kembali. Ayo. Atur waktu agar sama. Kali ini seperti pemberangkatan, lebih telat satu menit saja.”
Are membalikkan badan. Pemuda itu tak memerhatikan sikap dan mimik wajah Len yang berubah. Tak peduli langkahnya membawa pada kapsul, hendak melompat. Tapi lompatannya terhenti oleh tarikan tangan.
Sontak Are kaget. Bukan karena dirinya yang hanya ditarik. Tapi tubuh itu telah dipeluk erat oleh seorang gadis yang sungguh tak dapat dia mengerti. Anggap Are kalah telak. Apa artinya percakapan tadi, pikir Are.
“Len?” Pelan are menyebut nama itu. Seperti bisikan angin.
Yang dipanggil namanya dengan suara halus tak peduli. Dia semakin erat merengkuh Are. Perlahan Are membalikkan badan. Mereka sungguh berpelukan. Jauh rasa Len, dia memang sejak dulu ingin bersama Are. Sikap dingin yang dikenalnya berubah saat melakukan perjalanan. Ditambah, perasaannya yang tak menentu saat di rumah Ibra. Alasan dia menangis bukan sekadar menangis begitu saja, tapi salah satunya karena Are. Dia merasa menemukan watak Are yang sesungguhnya di sana. Sungguh Len berharap pemuda itu mau mengerti. Kedekatan seorang gadis, baginya, adalah sebuah tanda karena ada rasa suka. Tapi Are tak pernah mau mengerti. Dan percakapan tadi, sungguh membuat dadanya bergetar, buncah. Len berusaha menutupinya.
“Aku jengkel, Are. Aku marah. Aku bahkan sering melakukan tingkah aneh agar kau mengerti. Tapi sampai detik ini, kau malah tetap tak mau peduli. Aku sudah berusaha bersikap biasa sebiasa mungkin. Menganggap kita hanya teman dan sahabat terdekat. Tapi aku tak mau berbohong masalah rasa. Tentu aku tak mau dekat barang seinci pun denganmu kalau tak ada rasa suka dalam diri ini. Lantas mengapa kau tak pernah mau mengerti?”
Are terdiam. Dia benar-benar mematung. Matanya mengerjap-ngerjap padahal tak terterpa debu atau angin. Dirinya pun melingkarkan tangan dalam keadaan ragu. Jauh hatinya pun sama seperti yang diucapkan Len.
“Aku terpaksa berbohong dalam banyak hal, Are. Membuatmu gagal melakukan perjalanan sendirian pun tak lain karena aku tak mau jauh denganmu, tak mau ketinggalan apa yang telah kau lalui. Entah, aku hanya ingin selalu dekat-dekat denganmu. Sekarang, biarkan aku membuka semuanya. Biar sering kuusir pikiran tentang rasa ini dengan menyatakan, aku dekat denganmu semata karena orang tua kita dekat. Tapi kali ini kau telah membuatku benar-benar tak bisa menahan. Kau tidak lucu sama sekali. Mencoba membahas bahwa pernikahan adalah masalah, tapi kau sendiri ingin mengungkapkan sesuatu, bukan? Katakan, Are. Katakan kalau kau juga suka padaku.”
Larut Len dalam perasaannya. Dia sudah berusaha menjadi perempuan yang beda dari lainnya. Tidak lebai, tidak pula tampil dengan dandanan dan operasi kecantikan untuk mendapat perhatian. Lagi-lagi alasannya hanya karena Are. Laki-laki itu mungkin akan merasa risi dengan perempuan yang tidak percaya pada dirinya sendiri. Melakukan ini-itu untuk membuat wajah menarik, tentu seperti memasang topeng dan menyembunyikan kebenaran. Len ingin utuh mendapat perhatian Are tanpa alasan seperti itu.
Pemuda yang dihujani ungkapan tersebut belum juga menanggapi. Hatinya sedang gaduh. Tenggorokannya ingin mengiyakan segala apa yang Len harapkan. Tapi bagaimanalah dia, dia berusaha untuk tak terbawa suasana. Perihal kebenaran bahwa dirinya juga suka Len, itu benar. Tapi merusak persahabatan tak dia harapkan, hingga berani mengumpat diri. Sejauh penyocokan diri, ketakutan itu sama dengan apa yang Len lakukan. Mata Are basah. Pupilnya kembang kempis menahan air yang terasa hangat di dinding matanya.
“Katakan kalau perkataanku ini benar. Katakan kalau semua yang kita lalui memiliki kesan. Atau kau benar-benar sekeras es? Hentikan, aku tidak menangis.” Len melepas pelukannya.
Gadis itu berbalik badan. Selangkah menjauh dari Are. Are sendiri entah seperti patung gajah. Kalimat yang ingin dia ucapkan selalu tercekat seperti mau muntah tapi tak muntah-muntah. Pelan, dia malah memasukkan kedua tangannya ke balik kain kasar itu lagi. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin. Dia malah yang tak menyangka kalau hal yang ingin diungkapkannya sudah didahului Len. Kalau dia memaksakan untuk mengucapkannya, hal itu terkesan mengulang kembali. Duplikat kalimat sungguh tak etis sekali menurut Are. Jadilah dia hanya diam tanpa bahasa.
Lihatlah siang yang seperti memukau. Orang yang berjalan dengan ranting kayu seimbang, sesekali melihat mereka dengan tatapan tanya. Sebagian berpikir mereka sedang bermadu kasih. Sejoli muda. Sedang betapa kelunya Are. Dia tetap tak bisa memaksakan kata. Malah tingkah bodohnya membuat tubuhnya mundur, berpangku pada bibir kapsul.
“Lupakanlah, mungkin kau memang tak merasakan ketertarikan padaku. Kau menganggap aku perempuan setengah lelaki yang mustahil bisa menangis dan bersedih. Tapi telah dua kali kau mendapatiku menangis, bukan? Ayo kita kembali.” Len melangkah tak peduli. Sisa-sisa basah di ujung matanya, dia usap habis dengan punggung tangan.
“Len…,” ucap Are pelan hampir tak terdengar.