Tahun 2014 Masehi, bulan tiga.
Ini adalah sore-sore. Aku lagi ngopi. Iya, dari dulunya memang suka kopi, soalnya enak! Menikmati angin sepoi-sepoi dan santai juga merupakan bagian dari jadwal keseharianku, itu sudah diatur schedule-nya, dan akan kuusahakan sebisa dan sedapat mungkin.
Dulunya, di belakang rumahku, di Solok, merupakan tempat bersantai yang asyik. Sebuah ruang lepas, dibatasi tebing rimbun di sisi kiri kalau menghadap ke belakang, dan di sisi kanannya barulah tembok, dengan tanpa atap. Kalau aku keluar lewat pintu yang ada di sisi kanan, langsung disambut kali kecil (aku menyebutnya banda) dan jalan kecil atau gang dari beton kualitas proyek yang sejajar dengan pagar tembok rumah Pak Etek Jambang, yang di belakang rumahnya ada sebuah tabek (kolam ikan), rimbun dikelilingi pohon kelapa. Tak jauh dari sana, sebuah surau bertingkat tempatku mengaji waktu kecil-kecil dahulu, surau Talang namanya. Setelah itu bershaf-shaf sawah-sawah masyarakat; hijau, sejuk, dan asoy sekali.
Aku, remaja tanggung belasan tahun, duduk di salah satu ban mobil bekas yang sudah ku sulap jadi kursi. Ban-ban bekas itu ada lima, semuanya mengelilingi dua potong drum bekas minyak di tengah sebagai meja. Sederhana saja. Ruangan itu juga berfungsi sebagai ruang tamu khusus aku. Di sana aku santai. Kadang duduk bermenung, kadang tidur-tiduran, kadang-kadang main gitar, nyanyi-nyanyi bersama angin, kalau tidak ada angin, aku bosan lalu mencari teman ke luar, yang biasanya pada nongkrong di pos ronda Simpang, tak jauh pula dari rumah.
Tetapi kemudian, sore ini menjadi ramai di sini. Ada Sudirman, Acong, Asmet, Ca’ang, dan Kodod. Semuanya kawan SMA-ku —yang belum semuanya—, ikut-ikutan pada mau ngopi. Mereka datang sekitar sepuluh menit lalu dengan berteriak-teriak. Dan kau tahu? Suasana tak lagi syahdu.
Kami ngobrol-ngobrol, saling bertanya mau kemana setelah hasil kelulusan resmi keluar. Apakah ada acara coret-coret seragam yang keren —katanya— itu, atau mau mengadakan acara khusus kita-kita saja? Dan lain sebagainya.
“Lin, ang usul lah,” suruh Sudirman kepadaku. Artinya dalam bahasa Indonesia; ‘Lin, kamu (laki-laki) usul dong.”
“Ah, aku menurut saja.”
“...Bagaimana kalau kita coret-coret seragamnya di dermaga danau Singkarak? Kan lebih mantap, nanti ada video dokumentasi begitu, buat kenang-kenangan,” Ca’ang memberi usulan.
“Dokumentasi seperti yang kita buat untuk acara perpisahan, yang tak jadi ditayangkan?” Ujar Asmet, sangsi.
“Itu ulah si Kojek. Katanya kartu memori handycam-nya itu hilang. Sial!” Sudirman ikutan kesal.
“Kan, kawan ang itu...” ujarku sambil menyeruput kopi. Tentang si Kojek ini, nanti kau yang membaca ini akan tahu.
“Tapi usulan si Ca’ang tadi, boleh juga tuh, bisa juga nanti kita buat panggung kecil-kecilan, sekadar untuk hiburan, biar aku sama si Acong yang main. Si Malin juga bisa, tuh,” sorak si Kodod.
“Hahaha, pikiran ang, kalau untuk tampil-tampil itu tidak pernah alfa, ya.” Si Acong menampar kecil bahu Kodod, yang disambut ketawa.
“Wah, wah! Bisa itu, bisa. Kalau urusan izin, biar aku yang urus, iya nggak, Lin? Iya kan, Met?,” kata Sudirman.
Asmet mengangguk. Aku juga. Yang lain juga. Semuanya tampak amat semangat.
‘Tetew! Tetwewewett!Twewewewett!’
Itu adalah suara hp bututku, tandanya ada yang nelpon. Oh, ternyata si Capaik. Aku angkat, ya...
“Haaa... Assalamu’alaikum!”
“Kumsalam, Lin! Dima ang?” Terjemahannya: ‘Kumsalam, Lin! Dimana kamu (laki-laki)?”
“Di Ancol!”
“Serius lah...”
“Di rumah.”
“Ramai?”
“Iya, ramai.”
Kedengarannya si Capaik sedang di jalan. Suaranya tidak jelas lagi mendesau-desau.
“Tunggu den di situ, den sadang jalan ka Ancol !”(Tunggu aku di sana, aku sedang di jalan ke Ancol).
“Apa?”
“Tunggu di sana!”
“Oh, yo lah.” (Oh, ya sudah)
‘Tuut tuut tuut...’
Telpon diputus.
Capaik juga adalah salah satu teman SMA-ku. Sejak kelas tiga, aku lebih sering bersama dia, selain juga sama Sudirman, Acong, Ca’ang, Asmet, Kodod. Namanya sih aslinya Fadli. Memang, kalau di Minang, bahkan juga di seluruh Indonesia mungkin, panggilan akrab buat seseorang itu bisa bergonta-ganti, gimana enaknya saja. Kadang-kadang julukan pun bisa seenak perutnya, bisa karena hobi, sesuai kebiasaan, mirip dengan tokoh terkenal, dan lain-lain. Kadang-kadang dari Fadli, bisa jadi Padli. Terus disingkat jadi Pat, Pat, Pat, lama-lama jadi ‘Pek’. Dari sana jadi Capek. Nah, karena si Fadli ini besar di Pariaman, mungkin akibat logat di sana, orang memanggilnya ‘Capaik’, atau karena banyak yang memanggil seperti itu, aku jadi ikut-ikutan.
Begitu juga kasusnya dengan yang lain. Si Dodi, yang nama aslinya Dodidani, jadi Kodod. Si Dedi, jadi Koded. Zaki, jadi Kojek. Aldi, jadi Ca’al, lama-lama jadi Ca’ang. Namun ada beberapa kasus kalau untuk nama dengan akhiran ‘ad’ dan ‘at’, semisal Ahmad atau Rahmat, yakni bisa jadi Ramek, bisa juga Ramaik, itu sesuai aksen daerahnya. Jika di Solok yang aksen-nya totok kasar dan lurus-lurus bulat padat, maka jadilah Ramek. Tetapi kalau di Pariaman atau Agam, atau di daerah dengan aksen yang cenderung memiliki cengkok, kemungkinan akan jadi Ramaik. Sedangkan si Ahmad yang tadi bisa kepada Amad, Amaik, bahkan Memed dan Asmet. Kalau si Acong, itu aku yang kasih julukan. Pada mulanya disebabkan oleh permainan gitar bass dan penampilannya mirip seorang pembetot bass di acara festival band yang pernah aku tonton. Sedangkan Sudirman, julukannya Sudir Gagap atau ‘Sudie Gagok’, karena dia gagap kalau sedang bersemangat.
Ada juga yang lain, seperti Zal Lambok (Zal Lembab) dan Win Taduah (Erwin Teduh), sebab gayanya yang cool atau dingin-dingin seperti tiang listrik di malam hari. Can Kaniang (Can Jidat), keningnya lebar. Jon Sakau, pernah mencoba minum racun tikus sebab frustasi. Begitulah untuk kemudian orang-orang tersebut dikenal lingkungan karena julukan-julukannya.
Kembali ke si Capaik yang tadi sedang di jalan naik motor ke rumahku, tapi belum sampai-sampai juga. Padahal jarak rumahnya di Ampang Kualo —waktu itu dia tinggal dengan etek (bibi) nya—, dengan rumahku hanya membutuhkan waktu sepuluh menit lari-lari 40, maksudnya dengan kecepatan 40km/jam pakai sepeda motor. Itu pun sudah termasuk tikungan dan persimpangan.
“Mana si Capaik? Katanya sudah jalan,” tanya si Asmet.
“Biasa, anak manusia. Palingan tadi sedang mandi, bilangnya sudah jalan,” kata Sudirman.