Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #3

Jurus Katak I

Masalah katak, bagiku adalah suatu kelucuan. Kuberitahu; aku bukan pemuja katak, ataupun pembencinya. Aku ada di antara kedua pro-kontra itu sendiri, itulah yang aku imani. Kaum pembenci katak adalah yang aku cerna dari lingkunganku. Baginya, katak adalah hewan yang paling luar biasa bodohnya. Mereka memaki-maki katak, dan tidak peduli dengan filosofi katak selain kebodohan. Mereka melihat katak hanya dari luar tempurung, tanpa mau tahu mengapa dan sedang apa hewan itu di dalamnya. Mereka menggunakan istilah ‘cebong’ untuk menamai golongan pengikut katak dan remaja alay yang baru terbit kemaren sore. Aku pun tak menyangkal, bahwa aku pernah melihat hewan amfibi ini di malam hari, mengejar-ngejar lampu setiap kendaraan yang lewat di jalanan, yang pada akhirnya ia membuat dirinya sendiri terlindas dan mati.

Berbeda dengan itu, kaum pemuja katak adalah mereka yang melihat katak dalam perspektif yang lain. Mereka yakin katak adalah hewan yang unik, bisa hidup di dua alam, punya taktik khusus untuk menangkap mangsanya, dan bisa paduan suara, bahkan ketika tertidur di malam hari. Satu lagi, katanya air kencing katak bisa membuat mata lawannya buta, aku tidak tau ini katak yang mana. Aku yakin masih banyak lagi pro-kontra antara kaum pembenci dan pemuja katak ini. Akan tetapi sudah ku bilang, masalah katak, bagiku hanyalah suatu kelucuan dalam empirikku sendiri. Aku pun tidak tau kenapa ini dibahas.

Malam itu, sehabis ngaji dan sholat isya dan makan, aku menghadap ketua. Maksudku Apak, yang sedang didampingi wakil ketua, yaitu Amak. Keduanya duduk di kursi, menonton tv.

“Pak,” kataku.

“Yupss...” kata Apak.

Hahaha tentu saja tidak, aku bercanda.

Tapi, “Hmm...” kata Apak.

“Malin rencana mau ke Jawa...”

“Bagus.”

“Ahaa!” Aku bersorak. Dalam hati.

“Masalah kuliah, bagaimana?”, Apak bertanya.

“Kemaren kan sudah mendaftar SNMPTN, jadi sambil nunggu hasilnya, mau ke Jawa dulu. Nanti balik pas mau pengumuman kelulusan.”

“Perginya sama siapa?”, Amak nanya.

“Sama si Fadli, Mak. Ibunya kebetulan juga sedang di Depok.”

“Ya, tidak apa-apa. Sekali-kali, lihat juga negeri orang, biar tidak seperti katak dalam tempurung,” kata Apak.

“Iya, Pak,” kataku.

“Memangnya kapan?”, Apak nanya.

“Belum tau, Pak, tetapi katanya dalam waktu dekat ini,” jawabku.

“Kamu, ada ongkos?”, Amak nanya lagi.

“Enggak...”

Semuanya diam.

“Hmm, yasudah, nanti Apak usahakan.”

Begitu kata Apak, seperti biasa dengan ekspresi santai, seolah-olah tanpa pemikiran yang berat. Aku suka itu. Tapi juga suka sedih. Maaf, Pak, aku merepotkan terus-menerus. Setelah itu aku izin ke belakang.

***

Sebenarnya, tidak afdhal pula rasanya, kalau tidak membahas keluarga ku. Katak saja aku bahas, masa’ keluarga tidak?

Sedikit saja, ya, aku adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Dua di atasku perempuan, di bawahku perempuan. Terus laki-laki dua orang, terus perempuan lagi, ini yang kembar. Di bawahnya perempuan lagi. Baru yang bungsu laki-laki. Pas, kan? Coba, hitung lagi.

Sebagai anak lelaki yang tertua, aku adalah harapan Apak dan Amak agar bisa membimbing adik-adik (meskipun Akak dan Uni —panggilan kakak pertama dan keduaku— sudah membimbing juga), maksudnya, ya, saling membimbing saja. Kan kalau mau jadi contoh yang baik, kita harus baik dulu, begitu.

Tetapi nyatanya, aku nakal juga. Walaupun di depan adik-adik aku acap sok tidak nakal. Tetapi meskipun agak nakal, di kelas aku ini termasuk di antara deretan murid-murid langganan juara kelas. Beneran. Sampai-sampai di sekolah, guru BK pun tidak percaya kalau aku memang nakal. Sebab pernah sekali aku ketahuan tidak ikut upacara bendera, seperti biasa, nongkrong di warung belakang, sialnya waktu itu, oleh satpam aku langsung diseret ke ruang BK. Sesampainya di sana, setelah lumayan lama duduk tanpa pelayanan apa pun, tau-taunya cuma disuruh masuk kelas lagi sama guru BK.

Guru BK tidak percaya.

Aku juga tidak percaya.

Kemudian tentang mengapa kami ada sepuluh, Apak dan Amak barangkali penganut setia prinsip lama, yakni ‘banyak anak, banyak rezeki’. Jadi dengan itu kami adalah keluarga yang berencana. Mudah-mudahan bisa begitu.

Apak dan Amak sudah berusia hampir separuh abad ketika aku menulis ini. Keluarga kami adalah ‘keluarga siak’, begitu julukannya. Artinya keluarga yang lebih banyak condong ke agama. Aku tidak berani bilang taat agama, karena itu belum tentu, hanya Allah yang tahu, bukan? Tetapi condong ke agama itu mungkin sudah mewakili Apak yang guru mengaji dan penceramah penuh waktu, Amak juga guru ngaji. Sejak kecil, Akak, Uni, aku dan adik-adik sering menjuarai lomba-lomba MTQ. Di rumah ada banyak tropi dan piagamnya, mulai dari antar surau dan masjid tingkat kampung di bulan-bulan puasa, tingkat kecamatan, kabupaten dan kota, bahkan hingga provinsi dan nasional.

Lihat selengkapnya