Sepanjang perjalanan, aku berusaha menolak untuk tidur, baik secara disengaja ataupun tidak sengaja. Aku usahakan untuk tetap terus terjaga. Ini demi perjalanan yang baru saja terjadi, dan nyata!
Bus berhenti di tiap-tiap rumah makan langganannya, kuperhatikan waktu persinggahan itu pas sekali dengan jadwal perut lapar. Di tempat persinggahan pertama, kami kaget. Sebab walaupun sudah merasa irit sekali, tetap saja, kena lima puluh ribu berdua, buset! Ku pikir, salahnya dimana, ya? Ah, tapi ya sudahlah, namanya juga di jalan. Tak mau ambil resiko, setelah itu kami memutuskan untuk stok makanan ringan dan instan saja, barangkali dapat untuk mengganjal-ganjal perut, menghemat pengeluaran di jalan. Jangan sampai, nanti setiba di Jakarta, tidak ada uang lagi buat ongkos. Aku sungguh tak mau terlunta-lunta.
Di rumah makan kedua, ketika mau turun dari bus, aku mendengar desas-desus dari belakang. Informasi itu ternyata dari seorang bapak-bapak yang duduk dua kursi di belakang kami. Bahwasanya, di rumah makan ini katanya mahalnya sama saja dengan yang sebelumnya, tetapi, kalau mau nambah bisa gratis, namun tidak pakai lauk, cuma nasi kuah dengan sayur saja. Aku langsung dapat ide!
Begitu turun, ku instruksikan kepada si Capaik untuk menunggu. Kemudian aku pergi ke deretan toko di sisi kiri rumah makan. Alhamdulillah, ada yang jual kertas pembungkus nasi. Ku beli sebanyak seribu duit, di kasih empat lembar, lumayan.
Si Capaik nanya, “Buat apa?”
“Sudah, tenang saja. Nanti lauknya berdua, ya?”
Si Capaik masih bingung kelihatannya, raut mukanya menerka-nerka. Setelah mengantri cukup lama demi menumpang membersihkan badan-diri sekenanya di kamar mandi rumah makan tersebut, kami kemudian segera memesan. Kalian pernah, kan, makan di rumah makan Minang? Segala macam lauk ditaruh di meja, nanti mana yang habis atau kurang, itu akan di hitung.
Aku ambil ayam yang agak besar, ku bungkus dengan kertas bungkus nasi tadi. Si Capaik yang kaget melihat kiri-kanan, takut malu. Tidak sulit menemukan karet, di lantai juga banyak. Aku pilih dua, setelah rapi ku masukkan ke dalam tas si Capaik.
“Ayo, makan,” kataku.
“Dasar gila!,” desis Capaik tertahan. Mukanya yang sembab sehabis tidur di perjalanan, ditambah dahi mengerut dan sedikit merah karena malu, membuatku ingin tertawa.
“Bagi laukmu, lauk yang ini buat nanti.”
“Terus, nanti nasinya?”, Capaik nanya.
“Itu.” Aku nunjuk ke arah bar tempat ‘nasi tambah’ gratis yang dimaksud bapak-bapak tadi. “Nanti kita bungkus juga.”
Tercengang sesaat, si Capaik kemudian tertawa sembari tak henti-hentinya geleng-geleng kepala.
Selesai makan di sana, bus berangkat lagi. Sepanjang jalan, malam itu, aku dan si Capaik masih tertawa-tawa mengenang kegilaan yang baru saja ku lakukan. Si Capaik yang mendadak ngefans pada diriku, nanya, “Sejak kapan kiranya ang jadi bocah jalanan?”
“Barusan,” jawabku.
“Hahaha...”
“Hahaha...”
Begitulah.
Besoknya pagi-pagi, kami putuskan untuk cuma ngopi. Dengan masing-masing satu roti yang di stok kemaren, dan rokok, sudah begitu mewah untuk sampai siang. Kami sudah memasuki Sumatera Selatan pagi itu. Untuk makan siang, kami gunakanlah nasi yang dibungkus kemaren, walau sudah agak sedikit rasan, berubah rasanya, tetapi itu keren.
***
Melewati suasana sepanjang jalan lintas Sumatera Selatan, aku jadi ingat waktu kecil dulu, kala belum sekolah, rasa-rasanya usia tiga atau empat tahun. Aku pernah ke Palembang, berdua dengan Amak, kalau tidak salah kala itu dengan menaiki bus AKAP Manila. Yang paling jelas ku ingat adalah saat aku ketiduran, kemudian begitu bangun, tau-tau seisi bus kosong. Aku nangis, mencari Amak yang sebenarnya sedang sholat maghrib. Lantas aku dibujuk sama sopirnya, diajak ke kursi depan, dikasihnya aku hiburan untuk memain-mainkan klakson.
Tiba-tiba seorang ibu-ibu masuk bus sambil sewot, diikuti penumpang-penumpang lainnya. “Sabar kenapa, Pak Sopir!”
Sang Sopir malah berkata, “ini anak siapa nih? Main-main klakson.”