Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #5

Ini Adalah UI!

Subuh-subuh buta, kami tiba di Jakarta. Di palang gerbang terminal itu, aku baca tulisannya.

“Wah, Rawamanyun!”

“Rawamangun, Lin,” koreksi si Capaik.

“Wow!” Aku histeris secara spontan.

Waw-wow, waw-wow, apanya? Bantuin angkat barang-barang!”, teriak Capaik.

“Aku menghirup udara Jakarta, Paik!”

“Paling bentar lagi juga debu...”

Si Capaik mengangkat barang-barang bawaannya ke sebuah tempat duduk-duduk di pelataran terminal. Aku turut. Kami meregangkan badan sebentar, melepas penat-penat selama di perjalanan tiga hari tiga malam itu. Jakarta masih cukup gelap. Namun aktivitas sudah terlihat. Beberapa angkutan umum tampak melesat dan terseok di jalanan, sesubuh ini, seakan takut rezekinya dipatok ayam, meski aku ragu apakah ada ayam yang suka berkeliaran seperti di kampungku atau tidak, di kota besar ini. Orang-orang yang punya toko dan warung, ada yang sudah mulai membuka warungnya. Para petugas kebersihan sedang bersitungkin di jalan-jalan dan terminal. Aku masih terkagum-kagum atas atmosfer baru ini.

“Ngopi, yuk,” ajakku kepada si Capaik yang sibuk mencoba menelpon ibunya, yang belum diangkat-angkat.

“Uangmu tinggal berapa?”

“Dua puluh ribu pas.”

“Ya, sudah”, katanya.

Aku kemudian menyeberang ke sebuah warung gerobak, memesan kopi. Setiap orang yang lewat berusaha ku sapa, kebanyakan tidak menyahut. Aku berharap semua orang tahu, kalau aku baru saja sampai di Jakarta. Sampai-sampai si pedagang kopi jadi bingung waktu ku ajak bicara.

“Jakarta jam segini sudah ramai ya, pak?”

“Iya”.

“Kalau di Solok, kampungku, jam segini masih sepi sekali. Palingan, habis subuh baru ada kedai yang buka”.

“Ooh...”

“Aku baru sampai, pak”.

“Oh ya? Dari mana?”

“Dari Solok, Sumatera Barat”.

“Oo, iya”.

“Makasih ya, pak”.

“Iya, iya...”

Aku kembali ke si Capaik dengan menenteng dua cup plastik berisi kopi.

“Nih, Paik. Kopi rasa Rawamangun, bikinan bapak itu”.

“Enak nggak?”

“Setiap karya tangan itu punya rasa yang berbeda-beda, tergantung dari mana kita menikmatinya. Ayo, untuk merayakan aku yang tidak mabuk laut!”

“Hahaha, ngasal saja ang, Lin. Oke lah”.

Kami berdua minum kopi. Menikmati udara subuh yang perlahan merambat pagi, sembari evaluasi perjalanan, dan tetap ketawa-ketawa. Paginya, aku jadi agak paham kenapa Jakarta adalah kota metropolitan, dan apa itu metropolitan, setidaknya dalam persepsiku sendiri.


Jam setengah tujuh, kami naik mikrolet (sejenis angkutan kota), menuju ke stasiun Pasar Minggu sesuai arahan Ibu si Capaik. Berdesak-desakan dengan berbagai jenis manusia dalam topeng dan kostum profesinya masing-masing. Macet, teriakan-teriakan, segala hingar-bingar yang tidak pernah ku jumpai sebelumnya, tapi pasti akan ku lalui untuk beberapa waktu ke depan.

Lihat selengkapnya