Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #6

Tuan Teddi Dari Korea

Kami duduk di balkon di tingkat dua rumah Mama yang menghadap ke jalan tidak raya, melainkan lebih tepatnya gang. Di sana, kami bisa merokok dan ngopi dengan bebas tanpa dikata-katai kakak sepupu Capaik yang amat anti rokok garis keras, menikmati sore yang aneh bagiku yang baru di tengah-tengah kerapatan perumahan itu. Sesekali, anak-anak kecil, anak-anak muda dan gadis-gadis cantik langsir di jalan, pakai motor dan sepeda. Ada yang sudah mandi. Ada yang baru pulang sekolah. Ada pula yang berjalan kaki saja sambil menggendong adik, atau mungkin malah anaknya.

Lalu kata si Capaik, “Enak ya, nongkrong di sini.”

Kataku, “Ya enak lah, masa’ nggak pula.”

Dia ketawa. Aku juga ketawa. Kami ketawa-ketawa.

“Tumben ang, tidak menelpon-nelpon cewek?”

“Kan di bawah sudah banyak,” si Capaik menjawab sambil sibuk dengan hp nya.

“Hahaha...” ketawaku.

Namun kemudian si Capaik mengajakku menelpon, dia banyak pulsanya. Kami menelpon semua kawan-kawan yang ada nomornya. Menanyakan kabar, memberi tahu kalau kami sangat asyik di sini, lebih banyak memanas-manasi supaya mereka iri. Melalui aplikasi chat, si Capaik mengirim foto-foto kami ke grup yang isinya kawan-kawan kami, alumni SMA. Yang paling heboh si Acong dan Sudirman. Si Acong katanya masih di Solok, belum ke Padang, terus katanya juga pengen ke Jawa, tapi tidak dibolehin sama amaknya, sebab apaknya sedang sakit di rumah, semoga cepat sehat, Apak Acong. Sedangkan si Sudirman, katanya dua hari lagi berangkat ke Pekanbaru, ada semacam pekerjaan di sana. Si Kodod sudah di Bandung, dia nyuruh-nyuruh kami ke Bandung. Ah, kataku, dari dulu Bandung memang kota impian yang paling ingin aku tiduri barang agak semalam, bahkan tinggali, tapi tunggu saja tanggal mainnya, Dod!

Lalu ada si Tilam, bernama lengkap Tilam Rahmat Ivanky, kudengar-dengar nama si Tilam ada hubungannya dengan alas kain yang digunakan ketika dia dilahirkan, alas kain yang mendatangkan rahmat, barangkali. Sedangkan ‘Ivanky’ itu, tidak tahu aku artinya, kurasa semacam kombinasi unik dari nama kedua orang tuanya. Kami di SMA dulu sering memanggilnya ‘Til’ saja, kadangkala teman yang usil menambahkan ‘Ku’ di depannya, sehingga menjadi ‘Kutil’. Tilam, berambut sedikit keriting, sama sepertiku, yang bedanya aku memirang, dia hitam pekat. Aku kurus tinggi, dia kurus rendah. Kabar bagusnya, katanya dia mau kuliah juga di Jakarta, terus katanya; “Nanti kita harus ngumpul!”.

Oke, kami jawab.

Cukup lama saling berbagi kabar, tak terasa maghrib datang melerainya. Aku bergantian ke kamar mandi dengan si Capaik.

***

Keponakan si Capaik namanya Edwar. Waktu itu Edwar masih kelas dua SMA, berarti hanya setahun di bawahku. Anak gaul yang hafal jalanan Depok-Bogor-Jakarta sambil merem. Teman-temannya ramai, sering dibawa ke rumah. Wilayah kekuasaan mereka adalah kamarnya Edwar yang seluas lapangan sepak takraw, dan juga balkon tempat kami tadi duduk. Komplotan ini sama persis gaya-gayanya dengan kami di kampung. Berandal namun penuh sopan santun. Bedanya kalau di kampung, kami adalah sekumpulan orang-orang rada susah tapi banyak akal, sedangkan mereka kumpulan anak-anak orang kaya.

Edwar orangnya asyik. Teman-temannya juga. Aku tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri. Obrolan kami nyambung, mungkin karena sama-sama anak nakal. Aku sih, tidak terlalu nakal, lah. Yang jadi masalah hanyalah logat bahasa Indonesiaku yang masih patah-patah. Tetapi mereka maklum.

Edwar memanggil si Capaik dengan sebutan ‘Mak Etek’, diikuti oleh teman-temannya, sedang ke aku mereka memanggil Bang Malin. Untuk anak gaul perkotaan seukuran mereka, bisa saja sebenarnya memanggilku dengan sebutan Malin saja, mengingat usia kami tak terlalu jauh berbeda, tetapi toh, mereka tidak melakukan hal itu, atau belum, setidaknya cukup menghargai. Kami saling bertukar cerita, lebih banyak tentang sekolah, tentang bagaimana sistem tawuran di daerah masing-masing. Semua mengalir dengan apa adanya. Tetapi yang paling membuat mereka mengakui, bahwa mereka terkesan dengan cerita kami, adalah pada bagian yang susah-susahnya, yang barangkali tak pernah sama sekali mereka alami. Ketika tetap bisa mau pergi sekolah meskipun tidak ada uang jajan di saku-saku sama sekali, lalu di sekolah hanya modal rokok sebatang dikasih teman, yang meskipun begitu, tetap juara kelas.

Aku dan Capaik juga menceritakan tentang kenekatan perjalanan ke Jawa yang baru saja kami alami, tidak dengan uang banyak, tetap sampai juga. Kisah-kisah itu barangkali bukan apa-apa, sekadar bumbu-bumbu cerita, bahkan mungkin banyak lagi orang yang memiliki cerita seru atau lebih menyedihkan ketimbang kami. Namun kuperhatikan beberapa kawan Edwar tampak khidmat menyimak hingga haru terpancar di raut muka mereka.

“Asyik, ya,” kata salah seorang teman Edwar.

“Sepertinya, kehidupan Mak Etek dan Bang Malin selalu terlepas dari zona nyaman,” ujar teman Edwar satunya lagi.

“Bukan terlepas, tapi kan, setiap orang itu punya definisi nyaman masing-masing, yang suatu saat itu bisa berubah,” kataku.

“Lu, lu itu yang pada terlalu mengandalkan duit orang tua,” si Capaik bersabda tiba-tiba saja. “Makanya lu pada nggak pernah mikir. Apa-apa tau ada, ya kan? Kalau kita, apa-apa harus berusaha dulu, kalau nggak, diakalin gimana supaya bisa. Iya sekarang, bisa lu pada ngebanggain duit orang tua, tapi kalau tau-tau nanti orang tua lu udah nggak ada, gimana?”

Aku mengernyit. Entah tersengat apa, mendadak si Capaik jadi sosok ‘Mak Etek’ yang baik dan benar di depan keponakan dan teman-temannya. Kata-katanya cukup tajam, tetapi tak masalah bagi mereka yang sudah biasa dan bukan baru kenal dengannya. Semuanya jadi diam. Aku jadi diam-diam menahan senyum. Seperti Ospek saja.

Lalu, “Hahaha, kenapa pada diam semua, lu?”, kata si Capaik. “Santai lagi, santai...”

“Kata-katanya nusuk, sih,” kata temannya Edwar.

“Lu sih, Tek...” kata Edwar.

Aku menyulut rokok. Yang lain sama.

Malam itu aku tidurnya di kamar si Edwar, bersama si Capaik dan satu teman Edwar yang tidak pulang, Brian namanya. Aku masih susah tidur, sebab tak terbiasa. Kira-kira jam sebelas malam, hp ku berbunyi, yang ternyata adalah Pak Datuk, salah seorang adik Apak yang ada di Bogor. Setelah kuberi tahu kalau aku sudah di Depok, beliau menyuruhku untuk ayo ke Bogor. Oke, Pak Datuk, kataku, besok aku ke sana.

Lihat selengkapnya