Demi memenuhi ajakan si Capaik tentang lomba perebutan kekuasaan wilayah perantauan itu, aku lalu melaksanakannya dengan menyamar jadi tukang fotokopi. Bukan kebetulan, lingkunganku di Bogor memang pada bergerak di bidang usaha itu semua. Kadang-kadang aku bantu-bantu di tempat Bang Teddi. Kadang-kadang di tokonya Pak Datuk yang di Cilebut sana. Lebih seringnya di toko Pak Angah yang bersebelahan dengan toko tempat Bang Teddi ‘Korea’. Di toko Pak Angah aku bisa leluasa belajar dengan si Pepen, namanya, karyawan senior Pak Angah, yang asli Blitar. Orangnya santai tapi pasti, cukup pendiam kalau tidak sedang usil, baik lagi suka bagi-membagi ilmu, dan tidak songong dan tidak sombong.
Dua bulan di Bogor, itu waktu yang tidak sebentar. Aku jadi sudah hafal separuh bagian wilayahnya. Hafal cara dan gaya orang-orangnya, hafal tatakrama dan cara bergaul di sana. Hafal jalan-jalan tikus, hafal tempat-tempat biasa razia kendaraan sebab aku belum punya SIM, dan hafal kode nomor trayek, atau jurusan angkot. Yang paling ku hafal adalah jalan dari Citayam, Cibinong, Cilebut, Bojonggede, hingga ke Bantar Kambing, Rancabungur, dan Ciampea. Sebab, itu adalah pusat pergerakanku, yaitu rumah Pak Angah, Pak Datuk, dan Pak Etek serta toko-tokonya.
Aku biasa begerak sendirian. Tetapi kadang juga janjian. Misalnya waktu pertama kali ke rumah Pak Etek yang di Ciampea, aku janjian dengan Akak. Dia waktu itu masih sedang menempuh pascasarjana di sebuah Universitas di Bogor. Jadi aku naik angkot dulu ke kampusnya, kemudian dari sana kami terus ke Ciampea. Aku menginap enam hari di rumah Pak Etek, sedangkan Akak cuma sehari di sana, karena masih harus ke kampus.
Pak Etek, sebagaimana Apak, juga adalah tipe orang yang keras dengan penerapan yang berbeda. Beliau adik kedua Apak setelah Etek ‘Gadang’, di bawahnya barulah Pak Angah dan Pak Datuk. Hidup keras perantauan sudah dirasakannya sejak tamat SMA. Tidak diragukan lagi, caranya mengajariku juga cukup keras.
“Orang Minang itu, Lin! Kalau merantau, bodohnya hanya sehari, yaitu pada saat pertama kali datang. Setelah itu, harus cerdas, cerdik, bijak mencari peluang, dan tentunya berpandai-pandai. Begitulah seharusnya orang Minang. Kalau tidak, ya, tidak akan hidup,” ucap Pak Etek, kala kami sedang duduk di sebuah pelataran di kawasan kampus IPB, kampus hijau nan rindang, sekembali dari urusan Pak Etek ke toko salah seorang temannya, yang aku diajaknya.
“Asal wa’ang tau, dulu, Pak Etek bercita-cita ingin sekali kuliah di sini,” beliau berkisah. Dirapikannya kerah kemeja santainya. Asap rokok kreteknya mengepul. Sorot tajam matanya menerawang, menembus dedaunan rimbun pohon-pohon besar yang menaungi seantero Kampus Dalam, lepas sampai ke awan altocumulus di bentangan langit Bogor yang cukup cerah hari itu. Aku menyimak dengan seksama.
“Hmmhh...” Pak Etek melengus. “Tapi, waktu itu Pak Etek hanya bisa berangan-angan...” beliau tertawa kecil, seolah menyembunyikan kekecewaan atas apa yang tak bisa dicapainya.
“Kenapa, Pak Etek?”, tanyaku ragu-ragu.
“Ah, jangankan untuk menyambung kuliah, Lin, untuk makan sekali sehari saja waktu itu, susahnya minta ampun. Di rumah, kadang kami hanya menggasak ubi pemberian tetangga.”
Aku menanggapinya dengan tertawa sedikit. Tidak begitu heran. Jangankan di zaman Pak Etek, aku terakhir mengalami hal itu ketika kelas dua SMA, di tahun yang sudah canggih juga. Kehidupan keluargaku, tidak jauh berbeda dengan kehidupan keluarga Nenek (Ibu dari Apak) zaman dulu. Serba ‘pas-pasan’.
Pak Etek berkata lagi:
“IPB, Institut Pertanian. Nama yang bagus, bukan? Harusnya setiap lulusannya berguna bagi negara kita yang agraris ini, yang maritim ini. Bukan begitu, Lin? Kan, begitu?”