Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #8

Sidang Dewan Wali

Apak jelas tidak suka mengetahui keinginanku yang begitu, disangkanya aku tak berniat lagi untuk kuliah, aku pun telah merasa seperti sebagai seorang prajurit yang membelot. Setiap hari beliau menelpon untuk marah-marah. Meskipun aku sudah berusaha menjelaskan, bahwa yang kulakukan ini ada alasannya, tetapi Apak tetap bersikeras menyuruhku agar segera pulang kampung. Sebab aku juga keras, merasa percuma aku akhirnya tidak mau lagi mengangkat setiap telepon masuk dari Apak. Ah, aku jadi benar-benar laksana Malin Kundang yang durhaka. Semua orang tentu mengetahui hal itu, Pak Etek, Pak Datuk, Pak Angah, termasuk Akak.

Suatu kali di hari Minggu, Akak datang untuk berkunjung ke toko, membawa sekotak martabak. “Nih, untuk kalian”, katanya kepadaku dan si Pepen. Akak juga dekat dengan si Pepen, termasuk karyawan yang lainnya, sudah menjadi rutinitasnya sering berkunjung ke toko ketika tak ada kesibukan di kampus.

“Wah, makasih nih, uni, repot-repot segala,” kata si Pepen.

“Libur, kak?”, tanyaku polos.

“Iya, kan Minggu,” jawabnya. “Pak Angah sudah datang?”

“Belum, paling sebentar lagi,” jawabku.

Pak Angah memang setiap jam sebelas datang ke toko untuk kontrol. Biasanya sembari membawa makan siang, setelah itu jalan lagi ke Rancabungur. Akak yang cukup lama di sana tau sistemnya seperti itu. Jam-jam siang adalah jam-jam dimana pelanggan sepi, sepertinya Akak datang di waktu yang pas untuk menanyaiku. “Kamu tidak mengangkat-angkat telepon dari Apak, kenapa?,” tanyanya santai. Si Pepen yang bijak, merasa itu adalah obrolan khusus adik-kakak, segera ke depan, ia duduk di sana sambil berteriak-teriak menggoda cewek penunggu konter hp sebelah. Bangkit pula usilnya.

“Bukannya tidak mau. Tapi kalau hanya untuk marah-marah terus, lebih baik Malin diam, Kak,” kataku.

“Nanti seperti Malin Kundang, loh. Dikutuk, jadi katak! Hahaha...” Akak seperti itu. Dia serius, namun dengan cara yang bercanda.

“Memangnya kamu benar-benar tidak ingin kuliah?”, tanyanya lagi.

“Ya, tentu saja mau. Tapi mungkin tahun ini kerja dulu, refreshing,” jawabku sekenanya.

“Di mana-mana, orang ingin cepat-cepat kuliah dan tamat”.

“Di mana?”, tanyaku.

“Ya, di mana-mana”.

“Di negeri ini mungkin, iya”.

“Tapi kan kita hidup di negeri ini?”

“Terus kalau sudah tamat, ngapain?”

“Ya mungkin akan dapat pekerjaan yang lebih baik, atau terserah dia mau ngapain...”

“Memangnya pekerjaan yang lebih baik itu seperti apa, Kak?” Ini bukan pertanyaan.

“Tapi, Malin, orang terpelajar, yang ilmu-pengetahuannya banyak lebih ditinggikan derajatnya oleh Tuhan di mata manusia.”

Lihat selengkapnya