Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #9

Menyamar Menjadi Juragan

Sejak memutuskan untuk bekerja tetap di toko fotokopi Pak Angah, aku dipindah-tugaskan ke Rancabungur, terpisah dengan si Pepen. Katanya, Pak Angah menerima karyawan baru yang akan training di Cibinong dengan si Pepen. Maklum, si Pepen ini kan, karyawan seniornya Pak Angah.

Di Rancabungur, secara otomatis aku memiliki partner baru, si Momon namanya. Dia masih satu kampung dengan si Pepen, yaitu Blitar. Orang ini aneh. Jika si Pepen cukup pendiam namun ulet dan seriusan —walau kadang-kadang juga suka usil—, si Momon sangat jauh berbeda. Badannya besar tinggi, agak tambun sedikit, tetapi hobinya kalau malam nonton sinetron sampai-sampai bisa nangis menghayati. Kadang-kadang suka memaki-maki lakon antagonis sambil beteriak-teriak histeris, seperti emak-emak.

Dia fasih memanggilku ‘Uda’, tanpa embel-embel huruf ‘k’ (seperti pelafalan kata ‘tidak’) di belakangnya, kebanyakan orang-orang di sini begitu. Mulutnya tak pernah berhenti bicara, bahkan kadang kepada dirinya sendiri. Kepadaku, si Momon suka cerewet, terlebih soal makan.

“Sudah makan, Uda..?”

“Makan dulu, Udaa...”

“Makan lah, Udaaa..!”

Begitu setiap tiga menit sekali jika aku belum juga menyentuh nasi pada saat jam makan tiba. Permasalahannya, dia takut sekali bila nanti pas aku makan, lalu tiba-tiba datang banyak pelanggan, dan dia kocar-kacir sendirian. Kalau aku sudah sangat kesal kepadanya, ku jawab kenyinyirannya itu sambil bercarut (makian dalam bahasa Minang). Herannya, dia malah tertawa terbahak-bahak, “Hahaha... keluar juga!”, soraknya sambil bertepuk tangan.

Aku geleng-geleng kepala melihat sikapnya itu.

Acara TV favorit si Momon ini, selain sinetron adalah pertandingan bulu tangkis. Ku akui dia fanatik. Bahkan dia rela melewatkan episode sinetron kesayangannya hanya untuk sebuah pertandingan bulu tangkis. Aku dipaksa-paksa agar menjagokan lawan dari setiap jagoannya, yang kalau dia menang, maka aku akan dibulinya, walau tak merasa. Tetapi kalau jagoannya kalah, maka wasitlah yang akan dipermasalahkannya. Sebegitu fanatiknya si Momon dengan bulu tangkis, sampai-sampai ketika aku nonton acara bola, dia menyebut gawang dengan sebutan ‘net’.

“Yaah, bolanya kena tiang net!”

Aneh kan, si Momon...

***

Pak Angah adalah sosok yang cukup banyak memberiku masukan-masukan dan nasehat. Kalau aku berbuat salah, atau ada suatu sifat yang baginya tak berkenan, dia akan langsung mengoreksiku, namun bukan di depan orang ramai, tak berbeda dengan kepada si Momon dan si Pepen. Perbedaannya jika denganku, Pak Angah suka memakai kata-kata kiasan, yang meskipun dengan sambil tertawa, itu langsung mengena, tepat sasaran. Aku akan mengerti.

Waktu Pak Angah lebih banyak habis di Rancabungur. Kadang-kadang bisa sampai selepas isya, bahkan sampai jam sepuluh malam, kecuali ada keperluan lain seperti belanja, yang kadang-kadang aku juga suka minta ikut. Kalau di toko sedang sepi pelanggan, kami sering saling bertukar pikiran, atau sekadar berbagi cerita. Yang aku suka dari Pak Angah adalah jiwa dan semangat mudanya yang awet dan selalu membara.

Iduik i darah ang du, Lin!” (Hidupkan darahmu itu, Lin).

Lihat selengkapnya