Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #11

Konflik Batin

Sekembalinya Pak Angah dari kampung, secara otomatis aku juga kembali kepada kodrat lama, yaitu tukang fotokopi biasa lagi. Pak Angah memberikan penghargaan kepadaku atas sudah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Aku bangga. Sebagai hadiah lainnya, katanya aku diperbolehkan libur atau istirahat dulu, tidak apa-apa. Tetapi aku bingung, kalaupun libur, aku mau kemana? Lebih baik kerja saja, pikirku.

Namun tiba-tiba aku ingat janjiku kepada si Capaik, yang entah masih hidup atau sudah mati di Depok sana, sudah lama tidak ada kabarnya. Ku kira mungkin ini kesempatanku untuk main ke Depok. Maka aku izin untuk kesana.

Dengan meminjam motor Bang Teddi yang katanya hari itu tidak akan kemana-mana dan boleh, aku berangkat ke Depok sendirian. Ku ingat-ingat jalan yang dulu, sewaktu aku diantar si Capaik bersama Edwar dan kawan-kawannya dari Depok ke Bogor. Ah, kurasa tak terlalu payah. Setiap simpangnya aku hafal samar-samar.

Dua kali melanggar verboden, dua kali masuk persimpangan yang berbeda namun tibanya tetap di situ-situ saja, akhirnya aku menyerah, ku telepon si Capaik.

“Halo kanciang!”, salamnya.

“Dimana ang, Paik?”

“Di Depok,” jawabnya.

“Sibuk?”

“Sekarang enggak”.

“Aku mau ke Depok, tapi nyasar, nih,” kataku.

“Hahaha, pantas saja ang tidak berani main ke sini, ternyata lupa jalan,” ledeknya.

“Ini sudah bukan daerah kekuasaanku,” alasanku.

“Oke, oke. Dimana posisi ang?”

Aku menyebutkan secara detail posisi terkini ku. Sekitar setengah jam lebih kemudian, tibalah si Capaik dengan tertawa-tawa. Kami terus beriringan ke rumah Mama.

Aku disambut dengan jeweran di telinga kiri oleh Ibunya si Capaik setiba di rumah Mama. Lama sekali beliau mengata-ngataiku.

“Durhaka ang Malin, melanggar janji dengan orangtua!”

“Ampun, Bu, ampun...”, jeritku kesakitan.

“Mau jadi orang sana, wa’ang? Atau sudah? Sehingga tak ada niat lagi mau ke sini?”

“Ada, Bu, cuman belum ada kesempatan”, alasanku.

“Tidak ada kesempatan, atau lupa jalan?”, si Capaik ikut-ikutan sambil ketawa-tawa.

“Alasan ang banyak betul”. Ibunya si Capaik tetap mengata-ngataiku. Setelah rasanya puas, akhirnya beliau mengusap-usap kepalaku, sambil terus mengoceh. Ku pikir itu adalah cara Ibu si Capaik melampiaskan kerinduan kepada siapa saja yang sudah dianggap keluarga bahkan anak sendiri.

Kemudian aku dan si Capaik izin keluar, kami memakai motor matic Bang Teddi. Seperti saat pertama kali di sana, kami tetap tanpa tujuan yang jelas akan kemana, yang penting jalan saja. Pada sekitar sepuluh menit perjalanan, tiba-tiba si Capaik yang dapat ide, berteriak kepadaku.

“Ke Puncak, kita?”

“Terserah,” jawabku.

Tanpa pikir panjang lagi si Capaik menggas sepeda motor ke arah Puncak. Aku memang belum pernah ke sana, katanya asyik. Kami menyusuri jalan besar, kembali melintasi Bogor. Makin lama jalanan semakin menanjak dan berliuk-liuk. Sepanjang jalan ku perhatikan dengan seksama, suasananya amat lain.

Bukan seperti di Alahan Panjang, yang kehidupan masyarakat pertaniannya masih terasa kental dan lebih ke-perkampungan sederhana namun asri, daerah Puncak tampak sudah modern dengan banyaknya bangunan-bangunan bergaya arsitektur ah, entahlah apa namanya... Lalu toko-toko atau rumah-rumah makan dan penginapan milik asing nan menjamur. Setidaknya itu yang tampak olehku. Selebihnya, dinginnya sama. Aku yang hanya memakai kaos oblong waktu itu, sedikit menggigil. Sedangkan si Capaik lumayan, pakai kemeja flanel tebal.

Kira-kira jam empat sore, kami anggap sudah sampai di atas. Aku tidak mau terus lagi, takut semakin kedinginan. Kami mencari kafe yang sederhana saja dengan view yang asyik. Lumayan, itu tidak sulit ditemukan. Lalu memesan mie rebus dan kopi panas-panas. Di sana cukup ramai dengan anak-anak muda. Ada yang berkelompok, berpasangan, macam-macam lah. Ku layangkan pandang ke lembah-lembah jurang nan rimbun di bawah sana, sambil menghirup nafas dalam-dalam, menghayati keindahan yang disajikan instan oleh Sang Pencipta.

“Ini asyik,” kataku kepada diriku sendiri.

Si Capaik tersenyum, kemudian ikut-ikutan memandang lembah-lembah itu.

“Bagaimana menurut ang, Paik?”, aku bertanya kepadanya.

“Keren, Lin,” ujarnya. Lalu dikeluarkan hp nya, mencoba mengambil beberapa gambar, seperti juga yang dilakukan beberapa orang di sana. Memang itu adalah sore yang cukup cerah di Puncak. Langitnya kemuning kemerah-merahan, membias kepada rerimbunan pohon di jurang-jurang, lambat-lambat pawai kabut nun di puncak bukit seberang sana mulai turun memenuhi lembah-lembah itu.

Khusus untukku, aku benar-benar terpesona. Tak lama pesanan kami datang. Udara yang mulai semakin dingin membuatku tidak sabar untuk segera menghajar mie rebus panas-panas. Itu sedikit membantu menghangatkan badan. Sembari makan, Si Capaik mulai membahas persoalan selama aku di Bogor dan dia di Depok.

“Bagaimana Bogormu?”

“Hahaha,” jawabku.

“Kok, malah ketawa?”

“Asyik, lah”.

“Asyik bagaimana?”

“Aku sudah menguasai sebagian, kecuali ke arah Puncak ini dan kotanya, belum.”

“Hahaha...”

“Kok malah ketawa?”, ganti aku yang bertanya.

“Caranya?”

“Cara apa?”

Lihat selengkapnya