Bulan puasa merupakan hari-hari yang penuh lembur dan melelahkan, aku diberi istirahat seminggu setelah hari raya Idul Fitri tahun 2014 Masehi. Itu adalah hari-hari yang lumayan, asyik. Aku baru membeli Smartphone Android, dan sedang gencar-gencarnya berhubungan melalui beragam aplikasi dengan siapa saja yang aku kenal dan anggap kawan.
Melalui tuan Android yang bisa memperkecil dunia, aku jadi sadar sudah begitu banyak ketinggalan informasi. Aku melewatkan acara coret-coret seragam tanda kelulusan (yang bagiku tidak penting sama sekali), acara itu tak jadi seperti yang kami rencanakan di rumahku dulu. Aku melewatkan reuni angkatanku di SMP dan SMA bulan puasa kemaren (padahal baru tamat), aku melewatkan acara nikahan kakaknya si Asmet, aku melewatkan putusnya kisah cinta si Toni dan si Ressa yang sudah dibina sejak SMP katanya, aku melewatkan banyak, bahkan aku melewatkan lagu yang diputar Angela, mantanku itu sore kemaren, yang kebetulan kami berteman di suatu aplikasi chat, di sana biasanya lagu yang diputar dapat tampil di bilah status.
Ku akui aku belum bisa seutuhnya melupakan dia itu. Meskipun begitu aku tidak berusaha menghubungi dia yang kutahu sudah punya orang lain sejak lama, meskipun aku punya kontaknya. Buat apa? Aku lebih banyak menanyakan kabar dan posisi terkini kawan-kawan dekatku. Semuanya menjawab; baik, alhamdulillah. Ku ketahui mereka ternyata banyak juga yang merantau. Ada yang bekerja, ada yang kuliah. Namun ada juga yang masih menganggur di kampung sana. Ada yang banyak tanya ketika aku ‘chat’, ada yang histeris di telepon, ada yang biasa saja, ada juga yang jutek dan sombong (biasanya jenis ini adalah kawan yang tiba-tiba sudah jadi bos beneran, atau lolos jadi aparat, atau masuk universitas keren menurut dia, atau mungkin memang sedang sibuk dengan hal masing-masing).
Semua kawan ternyata sudah tahu tentang keberadaanku di Bogor. Katanya si Capaik yang bilang. Si Capaik sendiri sudah sampai pula di kampung beberapa hari yang lalu bersama ibunya. Yang paling dan selalu histeris dari kesemuanya adalah Sudirman. Katanya dia masih sedang di Pekanbaru. Dan ingin ke Pulau Jawa juga katanya, ke Karawang, tapi belum tahu kapan. Seperti kawan-kawan yang lain, dia juga menuntut untuk bertemu kalau nanti sudah di Karawang. Oke, kubilang. Kutunggu.
Tengah malam, pada satu hari dalam minggu-minggu itu, ada nomor baru meneleponku. Maksudnya nomor itu tidak terdaftar di kontakku. Aku belum tidur, masih sedang candu berselancar di dunia maya. Aku tidak tahu ini nomor siapa. Tapi lalu ku angkat;
“Halo, Assalamu’alaikum...”
“Kumsalam,” jawab orang itu. “Oii baruak, dima ang?” (Oii monyet, dimana engkau?)
Antara kaget dan terkesan. Aku kenal suara si Monyet ini.
“Wa’ang, Kojek?”
“Ku kira lupa ang sama aku. Masih hidup ang ternyata?”
“Hahaha...”
Ternyata memang, itu si Kojek, seorang kawan erat konco palankin-ku yang pernah aku sebut-sebut di awal. Dulunya aku dan si Kojek ini pecah kongsi karena suatu masalah sepele pada waktu kelas dua SMA, lalu sejak saat itu tidak pernah lagi berkomunikasi, sampai malam itu.
“...Aden nio ka Jawa,” (Aku mau ke Jawa) katanya.
“Tempat siapa?”, tanyaku.
“Nah, itu yang aku belum tau.”
“Terus?”, tanyaku lagi.
“Terus?”, dia balik nanya.
“Kok malah balik nanya?”, aku nanya.
“Aku mau ke tempat ang saja, boleh?”
“Siapa yang melarang?”
“Hahaha, mantap kalau begitu! Tapi, ada pekerjaan kan?”
“Ada, banyak,” aku tidak yakin, sih.
“Serius, lah? Aku berdua, sama si Ca’ang.”
“Aman...”
“Oke, lah. Sebenarnya, kami sudah di jalan. Hampir di Bakauheuni.”
“Hah? Terus kenapa baru nelpon wa’ang?”
“Hahaha..”
“Kebiasaan lama, tak ubah-ubahnya, wa'ang...”
Setelah membaca salam, dia menutup telpon. Sebentar, aku jadi bingung. Memang ku dengar-dengar dari Pak Angah, bahwa Pak Datuk, Pak Etek dan rekan-rekannya yang lain-lain sedang ada butuh orang untuk di toko fotokopi. Tapi, tidak ku sangka si Kojek akan ke sini juga. Masalahnya, aku yang sudah bosan, rencananya akan pindah mencari kerjaan lain, di Jakarta, atau di Bekasi, yang siapa tahu bisa cocok denganku atau setidaknya kenyamananku tidak tergadai. Tetapi kalau memang si Kojek dan si Ca’ang mau ke sini, apa mereka mau nanti aku tinggalkan begitu saja? Jangan-jangan nanti jadi malah salah paham lagi. Aku terus berpikir dan berpikir, dan bingung.
***
Soal si Kojek yang mau datang ke tempatku bersama si Ca’ang mau mencari pekerjaan, sudah ku bilang kepada Pak Angah, dan Pak Angah menyampaikan pula kepada Pak Datuk dan Pak Etek, sudah. Beberapa hari setelahnya, sampai jugalah mereka berdua —sesuai arahan dan peta yang aku berikan lewat telpon dan pesan— di Rancabungur, dengan tampilan yang kusut-masai.