Dari Ujung Ke Ujung

Mr.Qatam
Chapter #13

Peristiwa Baranang Siang

Ku kira perjuangan kami akan berakhir di Baranang Siang. Setengah berlari kami berlomba-lomba ke sana setelah melihat dari kejauhan palang arah itu, bak menemukan lokasi harta si Karun yang terpendam ribuan tahun. Melupakan letih, melupakan badan diri yang sudah kusut-masai, seperti gembel, demi satu tujuan; mendapatkan konter yang mau menerima hp di sana. Untuk seterusnya dapat ongkos, lalu angkat kaki dari Bogor ini.

Namun kenyataannya tetap sama. Setelah tiga kali keliling, nihil. Tidak ada konter yang kami temui atau siapa saja yang mau membeli hp. Aku benar-benar putus asa, apalagi si Kojek dan si Ca’ang. Lama kami terduduk di atas jenjang sebuah bangunan tempat penungguan bus. Diam-diam.

Tidak lama ku dengar azan dzuhur berkumandang.

“Bagaimana kalau kita sholat dulu?”, ajakku.

“Boleh...” jawab si Kojek pasrah.

“Siapa tau di sekitar masjid sana ada konter. Barangkali tersembunyi.”

“Hahaha....” si Ca’ang tertawa tanpa wajah yang terlihat seperti tertawa. Kami berdiri lagi, menyandang ransel dan carrier masing-masing. Menuju arah suara azan.

Masjid itu begitu megah. Tetapi bukan itu yang saat itu aku senangi, melainkan tempat wudhu’nya. Ku sengaja lama-lamakan di toilet, menunggu orang-orang selesai berwudhu’. Si Kojek dan Ca’ang sama saja, jakun mereka naik turun melihat dan mendengar keciprat air nan bening berkilau itu, mereka pasti juga berpikiran sama denganku. Setelah agak lengang, segera kami ke kran-kran tempat wudhu’.

Alhamdulillah, airnya benar-benar bersih, tawar lagi sejuk. Ku minum sepuasnya dengan gaya pura-pura berkumur. Si Kojek dan si Ca’ang bagai mendapat permata langka yang mahal harganya, seluruh kepalanya basah kuyup, nyaris hampir mandi, lantas kami tertawa terbahak-bahak.

Setelah berpuas-puas dengan air tempat wudhu’, kami mengelap kepala masing-masing, berusaha merapikan segenap penampilan, kemudian beranjak memasuki masjid. Beberapa orang keheranan saja melihat kami, tidak terlalu ku pikirkan. Dalam kepalanya mungkin hanya dia saja, yang berpakaian rapi dan tampak bersih, yang berhak sholat di masjid yang megah itu, atau jangan-jangan mereka memperhatikan malah karena kami tampak gagah dan lain dari yang lain, atau mungkin mereka melihat muka kami bersinar-sinar? Hahaha, aku tertawa dalam hati saja. Bagaimana pun mereka berhak menilai kami, tetapi tak boleh menghakimi.

 

Setelah selesai sholat, kami berkeliling juga sebentar, mencari-cari konter, tanya sana-sini. Tetap tidak ada. Akhirnya kami putuskan untuk menunggu kabar dari hp saja. Mudah-mudahan nanti ada kawan, atau siapa saja yang membalas pesan, dan ada uangnya. Kembali kami ke atas jenjang yang tadi, tempat penungguan bus terminal. Duduk-duduk di sana, mencoba lagi menghubungi kawan-kawan sampai ada yang punya uang untuk kami pinjam, sampai ada. Aku tak tahu sampai kapan, atau bahkan sampai di usir, atau di cegat oleh bandit-bandit terminal ini, yang sejak tadi kulihat selalu tak pernah luput memperhatikan kami.

Nah, dugaanku sepertinya benar. Kulihat, bandit-bandit terminal itu sepertinya membicarakan kami. Tampaknya dua orang seumuran denganku, salah satunya membawa ukulele bermotif tengkorak dengan mawar merah berdarah-darah. Dan ada satu orang lagi, kelihatan lebih dewasa. Ketiganya berbadan kerempeng, dengan celana jeans kumal sobek-sobek dan kaos dengan jaket jeans sobek-sobek pula di luar. Dari masing-masing saku celananya melingkar rantai-rantai kecil ke belakang. Di beberapa bagian di hidung, telinga dan bibir mereka terlihat tindik dengan aneka variasi.

“Ang lihat itu, Jek?”, kataku kepada si Kojek sambil memainkan mata ke arah bandit-bandit itu.

“Preman-preman itu?”, tanya si Kojek.

“Dari tadi mereka mengamat-amati kita,”

“Jangan-jangan kita mau di peras?”, selidik si Ca’ang.

“Pura-pura tidak tahu saja, beres...” kata si Kojek enteng.

“Pura-pura tidak tahu bagaimana? Jelas-jelas mereka mau memangsa kita,” si Ca’ang sewot.

“Ang takut?”, tanya si Kojek ke si Ca’ang.

“Bukan takut. Tapi kesal! Sudah tahu dari tadi kita sudah jalan kaki jauh, berkilo-kilo meter, tidak dapat-dapat konter untuk menjual hp. Sekarang malah akan kena mangsa pula,” ujar Ca’ang dengan alasan yang tepat.

“Memangnya menurut ang mereka tahu dan mengerti itu?”, tanyaku. 

“Itu yang lebih sial lagi. Mereka tidak tahu!”, si Ca’ang ini, aku tidak tahu dia bercanda atau serius. Tapi tampangnya cukup serius. Si Kojek menahan tawa, aku juga, agak terlepas sedikit.

“Sudahlah... Kalau begitu, setibanya mereka di sini, kita kasih tahu saja, kalau kita sudah habis kena sial hari ini. Kalau mereka tidak menerima alasan atau bergelagat macam-macam, kita hajar saja, orang kan ramai di sini,” ujarku.

“Memangnya ang berani?”, tanya si Kojek.

“Enggak...” jawabku. Si Kojek benar-benar menyembur tawa sekarang, si Ca’ang juga ketawa, sedikit.

 

Dua orang bandit yang tampak seumuran, berbicara sebentar kepada yang lebih dewasa, lalu yang dewasa mengangguk-angguk, selanjutnya mereka berjalan ke arah kami, sedikit ragu-ragu. Sedangkan yang satunya, yang lebih dewasa masuk ke toilet terminal tak jauh dari tempat mereka nongkrong, membuatku semakin curiga, pasti dia sedang mempersiapkan sesuatu di sana. Aku awas. Si Kojek melengah-lengah pura-pura tidak tahu. Si Ca’ang bersiap-siap, kemungkinan besar untuk kabur.

“Dia sudah dekat,” desis Ca’ang.

Ku lihat semakin mendekat, wajah keduanya ternyata tidak terlalu seram-seram amat. Lebih seram wajah gerombolan anak-anak ‘lem’ di Pasar Raya Solok dari pada mereka, menurutku. Lalu;

“Ehm...” si Bandit yang rambutnya berbigen kuning di ujung-ujung poni mendehem.

“Bang...” kata yang satunya lagi, bandit yang punya piercing sebesar lubang tikus di kedua daun telinga, tangannya dengan hangat terulur sambil tersenyum. “Dari mana'?”, tanyanya. Irama dan aksen Sunda-nya kental.

“Err... Dari Solok, Bang,” reflek saja aku menjawab begitu. Lalu menyambut tangannya, bersalaman. Mereka berdua bergantian menyalami si Kojek dan si Ca’ang, sambil tak lepas-lepas tersenyum. Kami berpandang-pandangan, sambil ikut tersenyum.

“Solok? Daerah mana itu, Bang?”, mereka bergabung duduk dengan kami.

“Daerah Sumbar, Bang,” sambung si Kojek yang masih tersenyum-senyum.

“Sumbar? Oo Padang, nya'?”, ucap Bandit-Piercing-Besar, memastikan kepada rekannya.

Lihat selengkapnya